Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Selasa, 27 November 2007

Pentas Tari Malino

>>Pentas Keliling Yayasan Batara Gowa di Bali<<

Bertempat di Jaba Pura Kahyangan Tiga, Yayasan Batara Gowa Makassar menggelar karya tarinya.









Banjar Teges Kanginan Ubud malam itu tak ada tanda-tanda akan ada acara pagelaran. Anak-anak berlarian di jalan, beberapa orang tampak bergerombol di balai banjar, empat orang anak muda nampak asyik ngobrol di warung kopi.

Saya yang sampai di Teges pukul 19.30 mulanya agak ragu; benarkah di banjar ini malam ini (Selasa, 27 November 2007) akan ada pentas dari Yayasan Batara Gowa Makassar?

Keraguan agak hilang saat saya melihat baligho besar di parkir pura yang menginformasikan pentas tari Ma’lino. Tapi saya tak langsung masuk ke Pura yang letaknya berhadapan dengan balai banjar itu. Saya masuk ke warung kopi dan ngobrol dengan anak muda yang tengah asyik ngopi. Dari obrolan saya tahu bahwa mereka bukan dari banjar Teges tapi dari Sukawati (sekitar 15 menit dengan kecepatan 60 km/jam). Mereka memang sengaja datang ke Teges malam itu untuk menonton pentas tari dari Makassar.

Saat serunya kami ngobrol, tiba-tiba dari arah pura, terdengar suara gendang bertalu-talu. Kami pun menghentikan obrolan dan bergegas ke pura. Orang-orang yang tadi tampak bergerombol di balai banjar juga sudah tak ada lagi.

Setelah melewati pintu pura dan masuk pelataran pura saya terkaget. Bila di halaman pura (tempat parkir) tampak sepi, tapi di dalam pura bagian jaba (pelataran) sudah penuh sesak dengan orang.

Jaba Pura Kahyangan Tiga yang bentuknya amphitheatre itu disesaki dengan penonton anak-anak, bapak-bapak, ibu-ibu hingga kakek-kakek. Tampaknya malam itu warga banjar Teges semuanya meruah di jaba pura. Seandainya ada juru absen, barangkali total orang yang hadir mendekati 400an orang. Mereka berdesak hingga di dua pintu masuk ke pura.

Seperti layaknya menonton pertunjukan tari tradisi yang acap digelar di jaba pura ini, mereka menonton dengan santai dan riang. Anak-anak duduk di barisan depan ditemani ibu mereka, di barisan belakang bapak-bapak dan orang yang sudah tua duduk sanati sambil merokok. Di Bali, Jaba pura biasa digunakan untuk mementaskan tari-tarian tradisi yang bersifat hiburan/menghibur. Areal pura memang dibagi menjadi tiga; pelataran, tengah dan dalam. Di setiap areal memiliki kode etik tertentu untuk mementaskan seni pertunjukan. Untuk tari yang bersifat ritual sakral hanya dipentaskan di areal dalam, yang sifatnya semi sakral dimainkan di tengah dan yang hiburan di pelataran. Pertunjukan yang bersifat hiburan tak boleh dimainkan di areal tengah dan dalam. Begitupun sebaliknya.

Di atas panggung tampak 3 lelaki bermain gendang, 1 lelaki bermain seruling dan 1 wanita yang memainkan kecrek. Mereka duduk di lantai beralas tikar pandan. Tak ada lampu warna warni layaknya di gedung pertunjukan. Penerangan yang dipakai sangat natural; bulan purnama dan tiga lampu petromaks.

Irama rampak dan dinamis menggugah orang-orang untuk berdatangan. Tak seberapa lama, Ketut Rina – seniman asal banjar Teges -, memulai acara dengan membacakan informasi seputar pagelaran yang akan dilangsungkan. Semua berlangsung dengan santai dan ringan, tak ada kelihatan ceremonial opening ataupun apa.

Yayasan Batara Gowa dari Makassar dengan dukungan Yayasan Kelola akan mementaskan dua nomor tabuh (musik) dan tiga nomor tari-tarian, demikian informasi yang saya dapatkan.

Mengawali pagelaran, musik Tunrung Rincik dimainkan. Suasana kompak dan bersemangat sangat terasa saat melihat dan mendengarkannya. Para pemain gendang yang memainkan gendangnya dengan rampak dan ritmis membuat para penonton larut. Anak-anak tertawa saat melihat pemain gendang begitu bersemangat dan ekspresif. Nada riang dan cepat serta “terlihat lucu” barangkali akrab dengan suasana keseharian warga desa.

Selesai musik Tunrung Rincik, dilanjut dengan tari Tondokku. Tarian yang dibawakan oleh 5 orang perempuan ini lebih terasa suasana “Melayu”-nya, baik musik maupun gerakannya. Tak heran bila bapak-bapak di belakang saya bercakap-cakap dengan bahasa Bali menerka-nerka asal tarian ini.

Hanya memakan waktu kurang lebih 11 menit tarian ini usai, kemudian disambung dengan musik Doleng-Doleng. Penelusuran terhadap berbagai unsur kemungkinan musikal dari vocal dan kecapi, menyuguhkan keunikan dan kesegaran tersendiri. Suara-suara yang kadang meninggi dan tiba-tiba merendah seakan mengajak pendengar ke muasal daerah penciptaan: Makassar.

Suguhan musik yang segar, disusul dengan tari Pajoge Macening. Lima perempuan bugis yang menari dengan anggun, selaras dengan kostum yang dikenakan. Tentu berbeda dengan gerak tari Bali yang lincah. Tapi itu tak menyurutkan penonton untuk terus menikmatinya. Vocal pemain gendang dan penyanyi wanita yang melatari menjadi daya tarik tersendiri. Celetukan-celetukan pemain gendang yang terdengar lucu, menggugah penonton untuk tertawa.

Seusai Pajoge Macening kemudian diseling sebentar dengan permainan musik. Tak seberapa lama, lima orang penari perempuan muncul. Dengan gemulai mereka menarikan tarian Ma’lino. Tarian yang terinspirasi dari tarian klasik Makassar yakni tari Pakarena.

Bagi saya ini menarik, saat adanya pertemuan tarian klasik Makassar di tempat yang biasanya disuguhkan tarian tradisi Bali. Betapa tidak? Ada perbedaan gerak, ritme dan nuansa yang sangat berbeda. Bila tarian Pakarena ditarikan – meski dalam bentuk baru – penuh dengan kelembutan dan gemulai, sedang tari-tarian yang biasa diapresiasi warga desa adalah tarian yang ekspresif, ritmis dan lincah. Setidaknya dengan adanya pementasan tari Malino dari Yayasan Batara Gowa Makassar ini membuka wacana warga dengan keberagaman Indonesia yang beraneka namun tetap satu ika yang mempunyai kekhasan masing-masing.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Iya pak ya, seharusnya kita lebih banyak lagi melihat keanekaragaman bangsa kita, biar kita saling menghargai dan saling mencintai. Tapi orang Bali kayaknya emang istimewa ya, rela datang jauh2 bwt nonton acara kesenian seperti ini, angkat topi deh!

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan