Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Senin, 31 Desember 2007



"Letting go the hardest thing you can do as a parent.

You have to settle with the past, engage in the present, and belive the future"

(taken from Cheaper by The Dozen part 2)

Melepaskan adalah hal tersusah yang dilakukan saat kau menjadi orang tua.
kau mesti sudahi masa lalu, mengikuti masa kini dan percaya akan masa depan.

SELAMAT TAHUN BARU 2008




Jumat, 28 Desember 2007

Re-Intro

>> Tentang Waktu <<

Meski berkutat dengan "waktu" bukan berarti saya lagi narsis dan ngulas balik karya saya yang terakhir "Waktu antara Kau dan Aku".

Tapi ini sungguh-sungguh soal waktu.

Tak terasa, 2007 sudah di ujung tahun dan sebentar lagi pecahlah 2008. Padahal sepertinya baru kemarin tahun 1980. Lalu apa yang akan kita kerjakan di tahun 2008? Masihkah bernostalgia dengan yang telah dilakukan kemarin, bulan kemarin atau tahun kemarin-kemarin?

Bila teater adalah cerminan kehidupan manusia maka semestinya di tahun 2008 akan ada "sesuatu yang baru" di tubuh teater!

Apa?

Entahlah. Barangkali proses kreatifnya, bentuk penyajian, isi, teknik bermain atau apalah. Tentu ini adalah pekerjaan rumah bagi para pelaku teater bila sadar bahwa waktu cepat berlari.

Televisi, handphone dan internet sudah menjadi bagian dari manusia sehari-hari. Perubahan terjadi hampir tak terkendali. Lalu?

Ngomongin Teater Sekarang!


Kamis, 27 Desember 2007

Menimpakan Kesalahan karena Kebodohan!

>> Semacam kritik <<

Saya pikir bukanlah hal baru saat pelaku teater mengeluhkan bahwa teater tak laku jual. Kemudian ujung-ujungnya menyalahkan: penontonnya yang kurang apresiatip dan melulu itu-itu saja, sponsor enggan mendekat dan pemerintah yang tak pernah mau menggubris.

Benarkah faktor kesalahan ada di pihak masyarakat, sponsor atau pemerintah?

Mari kita telisik satu persatu.

a. Masyarakat

Pada dasarnya masyarakat butuh tontonan. Tengoklah di pasar-pasar tradisional saat tukang jamu dan sulap membikin atraksi, tak sedikit orang berkerumun untuk melihat. Lihat juga betapa masyarakat begitu semangat nonton pertunjukan-pertunjukan seni tradisional. Juga beberapa kelompok teater profesional yang "telah berhasil" menggaet massa fanatiknya dan membuat tiket box habis terjual.
Jadi benarkah masyarakat yang salah?
Atau pelaku teater sendiri yang lemah?

b. Sponsor

Asumsi bahwa pihak swasta selalu memperhitungkan untung dan rugi barangkali itu benar. Saya pikir wajar saat seseorang memberikan sesuatu maka dalam hitungan bisnis sangat diperhitungkan; apa keuntungan yang dapat diperoleh oleh saya?
Seberapa besar pengaruhnya bagi omset, saat saya - sebagai sponsor - mensponsori sebuah pertunjukan.
Tentu pihak swasta akan sangat mempunyai banyak pertimbangan saat menyetujui untuk mensponsori sebuah pertunjukan.

c. Pemerintah

Asumsi bahwa pemerintah tak mau menggubris seni pertunjukan saya pikir tak selamanya benar. Saya pikir disetiap pemerintahan baik kota, kabupaten, propinsi maupun pusat menganggarkan dana untuk kesenian. Meski pada ujungnya tak maksimal keluarnya dana dan terkadang hanya dikeluarkan untuk membiayai "seniman itu-itu saja". Tapi bukankah pemerintah telah mengalokasikannya?
Yang jadi pertanyaan; sejauh mana pelaku teater diketahui kiprahnya oleh pemerintah?

Mending, daripada menyalahkan ketiga "oknum" diatas mending mari kita salahkan "pelaku teater"nya saja!

Kenapa?
Memangnya loe siapa?

Senin, 24 Desember 2007

Mencari panggung, aktor, penonton, pengamat dalam pentas teater malam mingguan

>> Tulisan oleh Sudarmoko <<

email penulis
bunyirantau@yahoo.com


Seburuk-buruknya sepak bola, masih ada suporter yang setia.

Seburuk-buruknya suporter sepak bola, masih ada pembeli tiket di tribun utama.
Seburuk-buruknya stadion dan tribun utama, masih ada managemen dan penyandang dana.
Seburuk-buruknya manager dan penyandang dana, masih saja ada komentator yang mengkritiknya.
seburuk-buruknya apapun dalam sepak bola, setiap minggu sore tetap saja ada yang ditandingkan.
Sedangkan seburuk-buruknya teater....?

Bulan-bulan ini memang acara teater banyak sekali diadakan di kota Denpasar. Namun sayang gebyarnya masih kalah sama acara tahunan menyambut tahun baru. Jika dihubungkan dengan tahun baru, apakah pentas teater bulan ini juga merupakan salah satu acara penyambutannya. Saya harap tidak.

Ngomongin pentas teater, saya jadi tertarik untuk ngomongin bola. Mungkin karena saya penyuka olah raga tersebut. Ada hal yang menarik dalam dunia sepak bola jika kita lihat dari sudut kacamata sebuah tontonan atau panggung pertunjukkan. Udah keok, suka berantem, olah raga kelas pinggiran, ngga ada yang berbakat, ngga ada sentuhan bisnis dan intertaimen, ngga pernah juara, banyak komentator, stadion rusuh, jarang ada yang cantik, cowok gondrong, uang cekak, tapi anehnya sepak bola tetap saja menjadi suguhan tontonan yang menarik meski dengan berbagai sisi keburukannya. Apa yang menjadi sepak bola begitu stabil dan konsisten sebagai sebuah tontonan ?

Saya pikir jawabannya adalah loyalitas orang yang terlibat di dalamnya. Loyalitas yang begitu besar, hingga terlalu sayang seorang pemain untuk tidak bermain. Terlalu sayang seorang penonton untuk tidak menonton. Terlalu sayang seorang komentator untuk tidak komentar.

Sebuah proporsi loyalitas yang sangat proposional. Semua tidak diharapkan untuk menjadi pemain. Semua tidak diharapkan menjadi pelatih, penonton tugasnya hanya menonton, yang rusuh tugasnya hanya tawuran, yang suka nimpuk hajar wasit. Komentator bebas megkritik apa saja dan siapa saja. Kritik managemen, kritik gaya permainan, kritik penonton, kirik wasit, kritik pelatih, bahkan mengomentatori para komentator sendiri.

Tapi apa yang membuat semua itu tetap berjalan?

Yang membuatnya tetap berjalan adalah pertandingan itu sendiri. Pertandingan yang setiap minggu sore sudah ditentukan tempat mainnya. Di mana lagi kalo bukan di lapangan stadion.
Pertandingan sepak bola tidak berubah jadwal dan tempat pertandingannya. Ngga pernah berubah di lapangan tenis seumpama. Atau di sirkuit sentul misalnya. Kalo masalah waktu, kadang memang ada yang bermain di hari rabu sore. Namun tidak ada yang bermain setiap hari.Coba bayangkan jika bermain setiap hari. Fisik pemain, stamina wasit, otak pelatih, uang dan waktu penonton, bahan kritikkan komentator akan terkuras dan tidak akan menjadi suguhan tontonan yang menarik.

Saya pikir teater juga sama seperti itu. Dia hanya tumbuh seperti jamur dimusim hujan yang tiba tiba hilang ketika musim kemarau datang. Ngga bisa disalahkan jika akhirnya para pelaku, penonton, dan pengkritik lenyap begitu saja ketika musimnya sudah mulai reda.

Andai saja ada jadwal rutin minggun sore, (semoga malem minggu)
Andai saja ada stadion khusus pertandingan.

Teater, jaga ritme!

*moko,
penonton keliling yang males keliling

menggagas event teater

>> Tulisan oleh bunyirantau@yahoo.com <<

Belum selesai resensi pentas teater Gatel, kaum resentor (hehehe) harus disibukkan untuk menuliskan pentas teater di sastra. Sungguh bukan pengamat yang baik, jika melewatkan pentas di sastra tersebut. Keduanya bisa dianggap sebagai event teater, meski jujur keduanya tidak digagas oleh komunitas teater profesional.

Saya sendiri bingung jika harus menyebutkan siapa sebenarnya komunitas teater profesional di Bali. Tidak bermaksud menyinggung, mungkin karena saya hanya seorang penonton yang malas jika tiap hari harus datang menyaksikan pertunjukkan teater. Di kedua event tersebut ada salah satu hal yang menarik untuk dibicarakan (sekali lagi tidak bermaksud memperkeruh keadaan), bahwa event yang satu muncul akibat dari event yang lainnya. Mungkin bisa disebut sebagai hukum kausa prima ato hukum sebab akibat.

Event Gatel merupakan event tahunan yang memang digagas oleh unit kegiatan siswa dengan bantuan Institusi pendidikan di atasnya. Saya yakin bahwa pihak sekolah membantu total acara tersebut. Berbeda dengan Gatel, even yang ada di sastra benar-benar dadakan. Bahkan saya tidak tahu apa nama event tersebut. Pada awalnya saya pikir even Lesehan Budaya, sebuah event khas Fakultas Sastra.

Saya pun yakin kalau acara yang digagas oleh Poerbacaraka ini, tidak sepenuhnya disupport oleh institusi di atasnya. Padahal sastra merupakan pihak yang paling kompetent untuk ngobrolin ruang ini, tentu saja selain ISI Denpasar. Sudah barang tentu jika secara kualitas dan kwantitas acara Gatel lebih bagus ketimbang acara di Sastra. Dugaan ini mungkin lebih awal dan tidak mendasar, tapi setidaknya begitu perkataan temen saya yang kebetulan menyaksikan keduanya.

Masalah event teater di Bali, adalah masalah padatnya waktu yang mungkin jauh lebih banyak dibadingkan dengan daerah lain, mungkin termasuk Jakarta sekalipun. Justru hal itu menjadi masalah, karena setiap kelompok teater akan semakin takut untuk memproduksi dan
mementaskan karya dalam panggung sendiri. Kalo dalam bahasa Umbu disebut "solo run".
Semakin banyaknya event yang ada, akan semakin membunuh kreatifitas sebuah kelompok untuk belajar tentang management teater dan beaya produksi sebuah pementasan. Kenapa hal tersebut bisa terjadi, satu hal yang paling biasa dalam produksi pementasan adalah
budgeting pementasan dan hal itu butuh serang pimpinan produksi yang handal. Sedangkan bagi kelompok teater yang ikut dalam acara event model di atas, yang menjadi kendala adalah mencari aktor dan sutradara, bukan mencari uang produksi. Belom lagi proses latihan
yang cenderung dadakan. Gampang banget seorang aktor mengubah karakter tokoh yang dipentaskan, karena dia main di dua pementasan misalnya. Kemaren begitu bagus memerankan orang jahat, di pentas selanjutnya jadi gagap ketika mementaskan orang baik. Belum lagi
masalah properti yang apa adanya hanya karena uang produksi minim.

Terlepas dari masalah kendala di atas, alangkah baiknya jika ada event teater yg benar-benar digagas dengan baik dan profesional. Ngga ada yang sakit hati jika tidak lolos seleksi. Ngga ada lagi anggapan terbalik bahwa team selektor dihubungkan dengan strata pendidikan
(masak sma harus menyeleksi anak kuliah). Ngga ada lagi masalah keuangan yang minim dan mencari keaktoran karena pihak panitia menyediakan budget pendanaan buat pementasan.
sebuah event teater yang bagus adalah sebuah event dimana para pelaku teater, penonton dan kritikus menjadi satu bagian yang ketiga2nya saling diuntungkan.

Jika dalam ruang musik ada Woodstock, mungkin ngga dalam ruang teater ada event seakbar itu. Jika tidak Woodstock setidaknya ada Soundrenaline untuk event teater. Alangkah bangganya jika melihat Diaz (SMU 2), Ayang (Poerbacaraka), Ibed (Jogja), Bob (creamerbox), dan pelaku teater lainnya menjadi nabi baru dalam panggung teater, seperti ketika Santana meraungkan suara gitarnya dan berteriak "...and we did not realize what we were in for!"


teater, butuh event!

Jumat, 21 Desember 2007

Matinya Tukang Kritik

>> Lagi-lagi mencari kemungkinan <<


Denpasar di bulan Desember banjir event teater. Sama seperti hujan yang bikin bandang di mana-mana. Ini anugrah atau petaka?

Pelaku, penonton pun penggembira bersorak-sorak, juga bersungut-sungut, mengikutinya.

Saya jadi "merasa" punya teman untuk berbuih-buih berbincang teater. Sayang kadang, bahkan sering, buih itu menggelembung dan menguap jadi kentut. Ga ditulis siiih...

What? lalu dimana tukang kritik?


Bila ada monolog "Matinya Tukang Kritik" maka memang kah di Denpasar, tukang Tulis kritik telah mati? lalu bagaimana cara meniupkan napas bikinan ke tukang tulis kritik?

Sebuah peristiwa teater tanpa kritik, tak akan jadi matang. Tak ada yang menuliskan akan jadi hambar dan menguap lenyap.

Rabu, 19 Desember 2007

Threesome* Estetis: Teater, Tari, dan Sulap (bag. 2)

>> Tulisan oleh Heru Gutomo <<

Sambungan



Dedy yang memiliki nama besar dalam jagat ilusi Indonesia, kenyataannya tak memiliki kemampuan dalam olah tubuh (tari). Kalaupun dia melakukannya, tak memberi nilai estetis lebih pada pertunjukannya. Demikian halnya Romy, tak jauh berbeda. Damien, yang terang-terangan mengaku menduplikasi total gaya David kenyataannya lemah baik dalam bidang tari maupun teater. Padahal ia menyebut gaya pertunjukannya adalah sulap teatrikal. Damien tak mampu mengolah dengan baik antara alur cerita, penokohan, dan karakter yang harus dibangun. Pada tari, ia nampak begitu lemah karena tubuhnya tak mampu berbicara. Hanya mata yang nampak ia tekan maksimal untuk membangun karakter. Sayang, usaha ini pun sering gagal. Dalam pertunjukannya, Damien memiliki penari khusus. Ya namanya penari, tentu gerakannya begitu indah. Tapi, ketika Damien masuk dalam cerita, justru tarian dari penari menjadi tidak indah lagi. Di titik ini, karena tidak menarik lagi maka boleh mengalihkan perhatian sebentar, sambil menunggu ilusi apa yang menjadi eksekusi. Secara teatrikal dan tari, menurut saya, ketiga pesulap kita gagal!

Kelemahan ini menunjukkan diskriminasi dalam threesome yang mereka mainkan. Jika David mampu menggabungkan ketiganya. Mampu memberikan porsi yang seimbang antara tari, teater dan sulap menjadi satu kesatuan pertunjukkan. Tidak demikian dengan ketiga ilusionis Indonesia. Bahwa mereka berangkat dari sulap, ternyata menjadikan porsi estetis yang tidak seimbang. Bahwa parameter keberhasilan pertunjukkan nampaknya sebatas pada bagian melakukan trik ilusi. Sementara yang lain hanya pelengkap.

Sementara dalam pertunjukkan David Copperfield keberhasilan pertunjukkan adalah gabungan ketiganya. Baik unsur tari, haruslah benar-benar menari. Unsur teater adalah benar-benar mengolah cerita, tokoh, maupun karakter. Dan unsur ilusi yang membuat penonton berdecak kagum. Dan ini tidak dilakukan para ilusionis Indonesia.

Saat menyaksikan penampilan teatrikal ala Damien di KickAndy, pikiran usil saya pun tiba-tiba bekerja. Bahwa sering para pesulap berusaha menjadikan teater dan tari dalam pertunjukkan mereka. Gagal sih, tapi setidaknya mereka sudah mencoba. Namun saya belum melihat ada orang yang berangkat dari dunia tari, kemudian menjadikan teater dan sulap sebagai pelengkap pertunjukkan. Dari kelompok teater pun demikian (sepanjang yang saya pernah saksikan, dan saya tau), belum ada pesulap yang mengaku bahwa sebenarnya dia awalnya adalah pemain teater. Ya, pada titik ini para pesulap sudah mendahului ide threesome ini. Sementara respon yang datang dari kelompok tari dan teater umumnya terhadap pentas threesome dari pesulap adalah kritik negatif. Padahal, bukankah iri tanda tak mampu?

Maaf kalau saya semena-mena memasukkan sulap sebagai bagian seni pertunjukkan. Karena bagi saya sebuah pertunjukkan sulap tanpa menyertakan wilayah estetis tak akan menarik untuk dinikmati. Kesannya pun garing, layaknya menyaksikan orang yang baru belajar. Sayangnya, sulap di Indonesia belum dimasukkan sebagai bagian dari pendidikan akademis. Padahal, sebagaimana kita tahu Romy Raffael menghabiskan waktu studi magister sulap genre ilusi-hipnosis selama 2 tahun di Amerika. Ia pun kerap bertutur bahwa sulap sudah menjadi bagian akademis layaknya studi keilmuan lain. Kenyataan sejarah pun membuktikan bahwa keberadaan sulap telah ada begitu lama. Yang tentunya telah melahirkan berbagai macam teori, ideologi, dan berbagai macam genre dalam dunia sulap sendiri.

Saya pun tinggal menunggu waktu. Tetap ada dalam keinginan bahwa ada orang-orang yang ber-threesome semacam ini. Namun mereka berangkat dari dunia teater, ataupun dari dunia tari. Pasti akan menjadi seru, bahwa David Coperfield ala Indonesia ternyata asal muasalnya adalah aktivis teater,hehehe... Namanya juga ngayal!(*)

*Threesome dalam makna umum diartikan sebagai kegiatan persetubuhan yang dilakukan 3 orang dalam waktu bersamaan. Disini saya mengambil istilah threesome untuk menunjuk pada persetubuhan antara teater, tari dan sulap.

HABIS


--------------------------------------------------
Klik di http://kataheru.blogspot.com
--------------------------------------------------


Threesome* Estetis: Teater, Tari, dan Sulap (bag 1)

>> Tulisan Oleh Heru Gutomo <<

Membaca tulisan Tomo di blog ini yang judulnya "Yang Tercecer dari Teater Bali" membuat saya ingat masa lalu. Bukan tentang teater semata. Juga bukan sekadar tari. Melainkan perpaduan keduanya. Juga dengan tambahan unsur sulap, dalam genre ilusionis. Jika Tomo menyebut perselingkuhan, maka - karena ini adalah tiga hal - saya menyebutnya sebagai threesome estetis.

Saat menginjak bangku SMA di masa lalu, Indonesia kedatangan ilusionis terhebat dunia. David Coperfield. Imajinasi kehebatan si David dalam dunia ilusionis ini menjadi perbincangan disana-sini. Keadaan ini didukung media yang memutar berbagai seri film dari pertunjukan David di luar nagri sana. Sehingga saat itu untuk Indonesia, yang ingin melihat langsung kehebatan sang ilusionis, tinggal menunggu kedatangannya saja.
Ups, sayangnya masalah finansial tidak mendukung saya untuk menonton langsung.


Masyarakat luas, sebagaimana David sendiri kedepankan, lebih mengenal David sebagai seorang ilusionis. Namun, setiap pertunjukkan yang disajikan tak hanya pamer ilusi semata. Nyatanya David memasukan unsur lain dalam setiap pertunjukkannya. Ia memasukkan alur cerita, olah karakter, menyajikan olah tubuh yang begitu indah, dan mengeksekusinya dengan ilusi. Ya, ilusi dalam pertunjukan David disajikan sebagai klimaks dari pertunjukannya. David sukses menggabungkan 3 seni pertunjukkan menjadi satu yakni teater, tari, dan teater. Sementara unsur visual dan musik mari kita anggap, dalam tulisan ini sebagai bagian dari unsur teatrikal.(Kalau tidak terpaksa judul diganti menjadi salome esteteis dong?)


Saya selalu kagum dengan permainan watak David. Ia tidak berbicara. Namun gerak tubuhnya mampu berbicara. Tidak terpatah-patah, namun begitu lugas. Kita ingat bagaimana David merayu seorang perempuan. Dengan tangannya yang kosong, ia mendekati perempuan tersebut. Meliuk-liukkan badannya mengitari sang perempuan. Baik mata, tangan, kaki, nyaris seluruh tubuh David berbicara, tanpa kata-kata. Namun, siapa diantara penonton yang tak menangkap maknanya? Dan tiba-tiba, saat mata David memandang tajam mata sang perempuan dengan jarak tak lebih dari 2-3 cm, BLARR!!! Setangkai bunga mawar merah tiba-tiba dalam genggaman David. Bunga itu pun kemudian diberikan pada sang perempuan. Pertunjukan pun usai, diakhiri dengan adegan ciuman antara David dengan sang perempuan. Ah, saya pun berimajinasi seandainya mampu melakukan ilusi itu untuk perempuan yang saya taksir... hehehe...


Gaya pertunjukan ilusi ala David Coperfield menginspirasi banyak pesulap untuk mengikutinya. Mereka menyebutnya sulap ilusionis dengan penyajian bergaya teatrikal. Di Indonesia beberapa pesulap pun muncul membawa genre ini. Cukup 3 nama saja yang saya sebutkan yakni Dedy Cobuzier, Romy Raffael, dan Demian Sang Iliusionis. Terserah mereka menyebut diri mereka apa saja, namun genre mereka dasarnya sama, ilusionis. Dan mereka pun mengakui jika mereka adalah pengagum David. Dalam setiap aksi mereka, duplikasi dari gaya David mendominasi.
Namun menurut saya ketiganya sering gagal dalam melakukan threesome ini (tari, teater, dan sulap).


*Threesome dalam makna umum diartikan sebagai kegiatan persetubuhan yang dilakukan 3 orang dalam waktu bersamaan. Disini saya mengambil istilah threesome untuk menunjuk pada persetubuhan antara teater, tari dan sulap.

bersambung

--------------------------------------------------

Klik di http://kataheru.blogspot.com
-------------------------------------------

Selasa, 18 Desember 2007

Wawancara Ekslusive dengan Ibed

>> Dituliskan oleh Wiwit "Kethel" Subekti <<

email penulis: sasi_ireng@yahoo.co.id



Komunitas Seni Teku adalah komunitas seni yang didirikan oleh Ibed dan teman-temannya untuk eksplorasi kegelisahan-kegelisan yang ada pada dirinya. Al hasil “Sri 4 Me” merupakan letupan kegelisan-kegelisahan yang sering menemaninya. GATEL kali ini merasa beruntung sekali sebab Ibed beserta teman-teman memberi bocoran tentang kegelisahannya yang akan direalisasikan dalam bentuk seni pertunjukan pada April 2008 nanti. Sri 4 me adalah prolog dari keseluruhan pementasannya, sebab kang Ibed masih harus banyak riset mitos-mitos lagi yang bersangkutan dengan Sri atau yang lebih dikenal dengan dewi padi.


Tak disangka, ternyata GATEL kali ini mendapatkan sebuah keberuntungan, kejatuhan bulan benar-benar, secara gituloh, kang Ibed adalah seorang sutradara yang sudah tak asing lagi bagi sanggar seni di Jogya dan Bali. Tak tahu bagaimana rasanya, yang pasti seneng sekali, sebab GATEL kali ini menjadi tempat perdana dalam pementasan naskah Sri 4 Me.


Bukan hanya panitia GATEL yang beruntung, namun team kami dari modernbalinese teater.blogspot.com juga dapat bagian; mmpunyai kesempatan untuk sedikit ngobrol dengan kang Ibed


Oke pecinta blogger kita mulai dengan ngobrolnya, sebentar saya akan nyalakan alat perekam saya dahulu.


Team bloogger, datang dengan mindik-mindik sedikit jaim; jaga image, secara gitu loh kita belum punya ID Card ( jadi malu).


“Selamat malam kang Ibed, kami dari modernbalinese teater.blogspot.com ingin sedikit ngobrol mengenai pementasan yang kang Ibed sutradarai, pertama-tama selamat atas suksesnya pementasan ( sembari mengulurkan tangan), dan pementasannya sangat oke..


Kang Ibed
:
Terima kasih,


Ketel:
Kang kalau boleh tau, dari mana akang mendapatkan ide kreatif tersebut, terus berapa lama proses latihannya hingga pementasannya? ( dengan muka dongo)


Kang Ibed :

Oh, karya Sri 4 Me. Karya tersebut sebenarnya sudah akrab di telinga masyarakat Indonesia, secara Indonesia adalah Negara agraris. Terlebih lagi daerah Sunda dan Jawa, sebab saya riset di sana. Ide cerita ini diambil dari foklor yang telah akrab dengan mereka, mitologi tentang dewi Sri yang diyakini mereka sebagai dewi padi atau juga dewi kesuburan yang dekat dengan pembawa kehidupan bagi manusia.



Ketel:
Mengenai Sri 4 Me, tadi dibilang, bahwa pementasannya adalah prolog dari foklor dewi Sri tersebut, Bagaimana proses kreatif ?


Kang Ibed :

Pementasan tersebut memang baru dapat dikatan sebagai embrio dan pragmen–pragmen dari cerita keseluruhannya. Sebab mitologi dewi Sri, masih banyak hal-hal yang perlu dieksplor lagi dalam foklor tersebut.

Di sini saya mencoba benturkan antara tokoh Sri dengan waktu, diantaranya, Sri sebagai sosok dewi yang maha agung, Sri sebagai orang biasa, di lain sisi Sri juga mungkin dapat diartikan sebagai sebuah idiom tradisi, sedang disisi lain adalah modern.


Ketel:
Melihat penjelasan kang Ibed, lalu sebenarnya kegelisahan apa yang ingin disampaikan oleh Sri tersebut?


Kang Ibed :

Sampai saat ini saaya, masih ingin ngobrol denganb teman-teman tentang sebuah benturan yang terjadi, seperti benturan antara tradisi dan modern yang pada akhirnya saling menyalahkan tanpa ada sebuah penyelesaian. Benturan dianggap sebagai sebagai makhluk yang menakutkan, mungkin hanya ini saja yang saya dapatkan dari keliaran ide saya.



Ketel:

Lalu mengenai tokoh Dewi Sri sendiri apa maksudnya


Kang Ibed :

Mengenai Sri sendiri adalah sebagai simbol kehidupan secara universal, hal ini terlepas dari perspektif gender. Hidup adalah sebuah anugrah bagi mahluk hidup yang dimana kita harus menjalaninya, terlebih sampai kita dapat mempunyai arti dalam kehidupan itu sendiri. Untuk mengeksplor kehidupan agar menjadi berarti, kita dituntut dinamis dan sigap menghadapi berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, salah satunya adalah benturan tadi. Dari kesemuanya dapat disimpulkan bahwa kita harus berani menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi dan berusaha untuk tetap berjalan.


Ketel:
Melihat penuturan kang Ibed saya teringat akan novel Dee yang berjudul yang tidak salah berjudul “Ksatria dan putri apa gitu. (tung-tung sory lupa judulnya) dimana didalam bercerita tentang benturan-benturan yang pada akhirnya tercipta sebuah itik klimaks dari benturan tersebut, kalo gak salah lagi namanya adalah bifurkasi, ( dengan sok taunya), mungkinkah hal itu ada hubungannya?


Kang Ibed :

bisa jadi juga, sebab titik putih itu adalah kehidupan itu sendiri


Ketel:

Bener juga tuh kang (dengan sedikit nyengir bego gitu)
Oh, ya bang mengenai pelengkap pertunjukan seperti ligting dengan menggunakan visual dan musik dugem, itu kaitannya apa dengan dewi sri? Yang kedua boleh minta bocoran tentang formula cairan tersebut?


Kang Ibed :

Berkaitan dengan visual art-nya, memang bisa dikatan itulah dinamika dari sebuah kehidupan, yang selalu bertabrakan satu dengan yang lain, yang pada akhirnya ada yang mau berkompromi membuat sebuah kebaruan dari penggabungannya, disisi lain ada yang tidak mau membaur sama sekali teguh dengan pendiriaannya, dan hal itu lumrah. Mereka ada di sekeliling kita.

Untuk teknik visualnya, saya tidak dapat menerangkan, namun kita panggil pakarnya langsung, Mas Lintang (Ibed kemudian memanggil Lintang)


Kang Lintang :

Ini adalah teknik liquid art, yang sebenarnya sudah ada dari tahun 60-an, namun dengan perkembangannya visual teknik ini mulai ditinggalkan dengan banyaknya teknologi yang lebih maju dan efesien. Untuk masalah cairan saya banyak memakai cairan kimia, oli dan mineral lainnya. Untuk menghasilkan seperti tadi, saya telah melakukan eksperimen selama enam bulan, dan bagi saya hal itu belumlah maksimal. Masih perlu eksperimen lainnya.


Ketel:

Secara tadi terlihat bahwa penonton masuk ikut dalam arena pertunjukan, apakah hal itu adalah bagian dari gambaran pementasan yang telah dirancang kang Ibed?


Kang Ibed :

Oh, hal itu karena saya ingin menyesuaikan dengan penikmat, secara pementasan ini ada di SMA Santo Joseph, yang bernota bene adalah anak muda yang akrab dengan budaya dugem, maka dari sinilah saya mencoba memasukan mereka kedalam bagian dari pementasan. Di sini saya mencoba berkomunikatif dengan penonton saya, bagi saya dengan masuknya mereka dalam pementasan adalah bagian dari pemahaman mereka tentang karya saya.


Ketel:

Bolehkah hal ini dapat dikatakan sebagai improvisasi dari kang Ibed sendiri?

Kang Ibed :

Yah, karena saya tidak ini kaku, saya ingin elastis dimana setiap kemungkinan itu akan ada. Mungkin nanti pementasan pada tanggal 19 desember 2007 di Undiksha, mungkin hal seperti itu tidak lagi ada. Di sini saya mencoba mengerti akan penikmatnya, (situasi dan kondisi).


Ketel:

Bagaimana menurut kang Ibed dengan perkembangan teater diobali sendiri, hal ini karena kang Ibed sering sekali pentas di Bali?


Kang Ibed :

Secara mendetail saya tidak tau précis, namun dengan adanya GATEL dan PARTI, saya rasa keadaan teater di Bali sudah mulai maju, sebab pementasan teater sudah mulai semarak, bahkan saya cukup tercengang juga dengan adanya Pagelaran teater ini yang saling sambung-menyambung. Yang pasti hal ini terlepas dari konflik dan perkembangan wacana yang sedang menyelimuti Bali.

Saya harap bali bisa seperti Jogya yang tidak pernah mati dengan event-event pertunjukan teater, seperti sekarang iniu Gandrik mulai eksis kembali ke permukaan. Bahkan setiap event yang ada selalu ada saja yang meng-counternya, setidaknya manajemen konflik di Bali mulai berjalan, dan mungkin dapat menyaingi Jogya.


Ketel:
Ini yang terakhir kang, apa harapan kang Ibed dengan teater?


Kang Ibed :

Dengan teater saya dapat berkomunikasi dengan orang lain dan masyarakat, dan saya ingin belajar mengerti mereka walau saya tidak sepakat dari mereka. Namun mereka adalah bagian daam kehidupan saya.


Terima kasih untuk Kang Ibed, sukses selalu.




Minggu, 16 Desember 2007

Pencarian Tanpa Batas!

>> Cacatan Pementasan Teater Orok Universitas Udayana <<

Ditulis oleh Jauhar Mubarok


Seorang perempuan bergaun putih bersih duduk dengan tenang seraya menggambar pada lembaran kertas. Datang seorang laki-laki dengan tubuh tambur menarik trolly yang berisi beragam benda. Tampak kebingungan sedang menggelayuti pikirannya. Lelaki tambur tersebut memungut apa saja yang dijumpainya. Namun setelah memperhatikan setiap sesuatu yang dipungutnya lantas ia buang lagi. Seakan beberapa hal yang dijumpai dan dipungutnya itu bukan hal yang dikehendakinya. Perilaku semacam itu ia lakukan berulang-ulang. Lelaki tambur tersebut terus saja mondar-mandir berkeliling.

Kemudian ia ambil satu per satu barang yang ada di dalam trolly-nya dan diperiksa secara seksama dan tergesa. Karena bukan hal yang dimaksud, benda-benda tersebut juga dikembalikan dengan cara kasar; dilempar. Tidak puas, ia aduk-aduk semua isi trolly. Namun ia merasa tidak menemukan apa yang dicari.

Itulah penggalan pementasan Teater Orok pada Gatel V di aula Syuradharma, SMAK Santo Yoseph Denpasar, 15 Desember 2007. Malam itu Teater Orok mementaskan naskah “Mencari Hidup Baka” karya Amal Hamzah yang ditulis sekitar 1940-an. Mencari Hidup Baka dimainkan oleh Febrian Niko Wijanarko (Duniawi) dan Ni Kadek Lianita Gautama (Baka) dan disutradarai secara keroyokan; Niko, Lia, dan Haris.


Manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas dengan apa yang telah diraihnya. Laiknya petualang dirinya merasa harus mencari dan memenuhi apa yang diingini, meskipun banyak hal yang diingini pun telah terpenuhi. Manusia berharap dengan memenuhi apa yang diingini, maka ia akan sampai pada kebahagiaan sejati. Hidup hedon dan konsumerisme adalah jawaban yang manusia lakukan untuk meraihnya.

Selain itu ada juga manusia yang mempunyai sifat berkebalikan dengan yang di atas. Di mana dirinya laiknya sufi yang tidak butuh apa; mencoba melarikan diri dari kehidupan dunia ini sendiri. Ia merasa telah dipermainkan oleh kehidupan dunia. Carut-karut kehidupan dunia yang terus berlarut-larut membuatnya semakin bosan dan muak atas realitas yang tidak berpihak. Hidup laiknya sebuah perjalanan penderitaan yang harus segera ditanggalkan. Dengan demikian, dirinya berharap mendapatkan kehidupan lain yang nirmaya.

Sekiranya demikian pesan yang hendak disampaikan dalam pementasan Mencari Hidup Baka tersebut. Sebuah fragmen usaha manusia memaknai hidup; satu tujuan beda jalan. Masing-masing saling menafikan hal yang lain. Masing-masing menganggap paling benar apa yang tengah ditempuhnya.
Apakah dengan cara demikian mereka mendapatkan kebakaan?

Proses Produksi

Menurut Bajuri, panggilan akrab Febrian Niko Wijanarko, meskipun hanya butuh dua orang pemain, dalam menyiapkan pementasan ini Teater Orok bukan melenggang dengan lancar. Ada beberapa kendala yang harus dihadapinya, walaupun persiapannya telah jauh-jauh hari dilakukan. Misalnya, karena ada beberapa kesibukan pada bulan November dirinya sempat mengundurkan diri dari proses produksi ini. Tidak masalah. Lia, yang kini menjadi ketua ukm teater di lingkungan Universitas Udayana ini, akhirnya masuk. Latihan berlanjut.

Sekitar dua minggu sebelum hari H, seorang pemainnya “hilang” tidak tahu di mana rimbanya. Akhirnya Bajuri secara “terpaksa” kembali terlibat sebagai pemain. Hal ini karena Teater Orok lolos kurasi dan sudah menyatakan bersedia untuk pentas di ajang tahunan yang diselenggarakan oleh Teater La Jose sejak lima tahun yang lalu. Akhirnya pada malam yang terjadwalkan Teater Orok dapat pentas.

“Kecewa!”, ungkap Bajuri singkat menanggapi penampilannya. Dirinya merasa ada yang kurang dengan pementasannya tersebut.
Ketika ditanya tentang sistem kurasi dalam Gatel V, Bajuri menganggap hal tersebut cukup bagus. “Akan menimbulkan tantangan (bagi para pemain -red) untuk bermain secara maksimal. Dan apa yang diinginkan (ditargetkan –red) dari proses ini dapat tercapai”.

Selain itu, Bajuri juga berpandangan, ajang Gatel ini dirasa cukup bagus. Di mana para penggiat teater dapat berinteraksi dan bersilaturahmi.

Sebenarnya rencana awal Mencari Hidup Baka ini akan disuguhkan untuk warga bukit Jimbaran pada pementasan tunggal Teater Orok di kompleks Kampus Bukit Jimbaran, namun waktunya belum ditentukan.

Semoga, dalam waktu yang tidak berapa lama lakon tersebut akan segera disajikan di kampus bukit Jimbaran secara lebih maksimal. Meskipun sudah pentas di Gatel.

Jumat, 14 Desember 2007

Tanggapan Atas Tari

>> tulisan oleh bunyirantau@yahoo.com <<

Mencoba menakar seni lewat tampilan estetika atau dalam tampilan expresi individu agaknya kurang menarik. Sama halnya ketika saya mencoba untuk memaksakan kehendak tulisan ini masuk dalam blog teater yang sudah barang tentu harus berada di koridor kriteria kritik teater. setidaknya saya telah mengabaikan etika itu.

Tarian sebagai salah satu bentuk kesenian mempunyai peran yang signifikan dalam ranah kebudayaan Indonesia. Setidaknya menjadi ragam ciri keunikan bangsa, karena setiap daaerah di Indonesia mempunyai struktur gerak dan aturan yang berbeda pula. Berdasar pada pandangan tersebut, saya mulai menyangsikan ketika seni Tari hanya dikategorikan sebagai seni pertunjukkan. Jika ada yang dikategorikan ke ruang pertunjukkan sebaliknya pasti ada yang masuk ke dalam ruang privat.

Memang tidak menarik jika kita akan membahasa sebuah tari dalam bingkai analisis struktural. Alasan yang mendasar adalah karena saya bukan orang ISI/STSI, atau lembaga tari lainnnya. Jika berkutat secara antropologis, dalam hal ini tari secara fungsi sosial akan memperlihatkan bahwa sebenarnya melalui kesenian ini kita bisa mengtahui kopleksitas dan orientasi masalah masyarakat.

Ketika kita mencoba membawa tari ke dalam ranah kekinian kita akan selalu menyimpulkan dalam jenis koreografi atau seni gerak. Hal itu tidak jadi masalah, karena saya juga bingung menyimpulkan apa itu tari.

Dalam sebuah situs, tari hanya diartikan (tidak secara harfiah) sebagai ekspresi budaya yang sangat kaya, sulit dianalisis dan diekspereikan. Sedangkan tari menurut lembaga pendidikan bonafide di Bali seperti yang ada di bawah ini.

Program Studi Seni Tari adalah bagian dari Fakultas Seni Pertunjukan yang mengajarkan bentuk-bentuk seni pertunjukan yang berkaitan dengan teknik gerak dan komposisi tari.
Tujuan pendidikan Program Studi Seni Tari adalah menghasilkan lulusan yang :
* mengetahui dan memahami dasar-dasar ilmiah dan pengetahuan seni untuk menunjang keahlian bidang studinya;
* menguasai pengetahuan dan ketrampilan tari serta mampu menghayati nilai-nilai dasar seni untuk mencapai profesionaliseme dalam bidang studinya;
* mampu menerapkan dasar-dasar ilmiah dalam bidang tari serta menuangkan ke dalam karya seni/karya tulis.

Anjrit cuman segitu aja...!

Jujur saya belum puas dengan hal itu dan saya pun belum puas dengan tulisan tentang tari ini.
Saya belum bisa ngasih gambaran yang jelas hingga ente (mBro) harus sadar bahwa sebenarnya Tari adalah hal yang sulit (ideal dalam seni pertunjukkan - itupun jika saya sepakat dengan kategori itu). Jika tari gampang orang akan berbondong-bondong mempelajarinya.
Tari adalah explorasi hidup di mana pikiran dan hati bersatu secara harmonis menjadi sebuah gerakan yang dinamis.

teater, bukan tarian.

Gelar Teater Hari Pertama

>> Gemebyar Anak Muda <<

Baru aja saya pulang dari acara Gelar Teater La Jose (GATEL) di Aula SMAK Santo Joseph Denpasar.
Yap! Tahun ini GATEL telah memasuki tahun yang ke lima. Usia yang bikin deg-degan bagi para penggagas dan penyelenggara festival.

Tahun ini GATEL benar-benar hadir dengan warna yang kian mengkilap. Nuansa "anak muda" yang ceria terasa saat ceremonial pembukaan. Panitia sengaja memilih tempat ceremonial di halaman aula. Suasana ala pesta remaja begitu kental dan tak terkesan formal. Seting tempat pun dibikin lebih gaul. Di tengah-tengah halaman ada layar putih yang ditembak dengan LCD projector seputar video-video dokumentasi pra GATEL. Di samping kanan layar, ada dua buah panggung kecil setinggi 30 centi lebarnya iga meter. Juga ada podium yang terletak di samping kanannya.

Dua MC cewek dan cowok pun memandu jalannya ceremonial dengan santai. Sayangnya acara yang "serius tapi santai" ini masih tetap mempertahankan "tradisi lama" dengan berisikan acara "sambutan-sambutan" yang terlalu bertele-tele. Selepas sambutan-sambutan dari Kepala Dinas Pendidikan kota Denpasar dan Kepala SMAK Santo Josep, acara dilanjut dengan pembukaan secara "resmi" GATEL 2007 oleh Kepala Sekolah SMAK Santo Josep Denpasar.
Pembukaan ditandai dengan pemukulan gong serta pelepasan balon warna warni oleh para undangan serta panitia. Berbarengan dengan dilepasnya balon, juga dinyalakan kembang api dari sudut kanan kiri halaman. weeew....

Selesai dibukanya GATEL secara resmi, acara kemudian dilanjut dengan pemaparan konsep kurasi oleh tim kurasi.
Seperti yang saya gembar gemborkan sekian waktu yang lalu, bahwa GATEL 2007 ini beda dengan GATEL tahun-tahun sebelumnya. Bila tahun sebelumnya peserta GATEL terbuka bagi semua kelompok teater di Bali, maka tahun ini ada penyeleksian. Tentu hal tersebut dilakukan dengan harapan: adanya peningkatan frekuensi latihan, proses berteater di Bali serta peningkatan kualitas pengisi GATEL.
Weeew....kira-kira bagus-bagus ga ya?

Kita lihat aja bareng-bareng!

Malam pertama GATEL diisi oleh pementasan dari Bandung yakni Creamer Box. Untuk ke empat kalinya Creamer Box pentas di Bali. Dan tentu saja ini adalah kali pertama Creamer Box pentas di event GATEL.

Creamer Box, di jagat perteateran Indonesia terkenal dengan gaya permainan "akrobatik"-nya. Bukan Creamer Box bila pentas tanpa jumpalitan, salto, kop head, dan permainan tubuh yang extreme. Stempel tersebut sampai saat ini masih lekat dibenak kritisi, penikmat dan pencinta teater di Bandung, Jakarta, Bali, Pontianak, Makassar dan Jogjakarta serta kota-kota kecil yang pernah mereka singgahi.

Malam ini mereka membawakan naskah Anjing Kudisan. Monolog karya Jacob Sumardjo ini dimainkan oleh Erma dan disutradarai oleh Bob Teguh. Para penonton yang tumplek meruah di aula dibikin tercengang-cengang dengan gaya Akrobatik Creamer Box.

ehm..untuk ulasan pentasnya nanti nyusul..sebab ada wawancara ekslusive dengan Bob Teguh- Sutradara Creamer Box.

Wawancara Ekslusive dengan Bob Teguh

>> Dituliskan oleh Wiwit "Kethel" Subekti <<

email penulis: sasi_ireng@yahoo.co.id


Bukanlah sebuah rahasia umum bahwa setiap pertunjukan Creamer Box selalu menjadi penantian yang sangat berarti bagi insan teater Indonesia khususnya Bali, sebagai pulau yang penuh ekspresi. Tak jarang dari mereka harus merelakan aktivitasnya hanya untuk menonton pertunjukan Creamer Box, setelah itu tau sendirilah, sang sutradara Bob Teguh dan bersama dengan para pemainnya harus rela berpose di tengah ribuan jepretan cahaya blitz yang siap menghujaninya. Tak jarang mereka pun mesti membayar mahal tukang pijit untuk memulihkan otot yang tegang akibat tuntutan menandatangani ribuan tanda tangan dari penggemar berat hingga yang enteng.

Nama Creamer Box terkenal dengan kekhasannya dalam "mencabik-cabik naskah". Gaya akrobatik yang acap memukau penonton, membawa penonton untuk senantiasa dalam posisi tegang dengan mata terbelalak dan mulut yang enggan menutup. Dalam pementasannya Creamer Box sangat simple; mereka tidak terlalu memusingkan panggung, maupun aksesoris pementasan lainnya.

Kali ini mereka mementaskan "Anjing Kudisan" naskah karya Jacob Sumardjo. Yang bercerita tentang perselingkuhan. Bagi siapa saja yang berselingkuh tak ada bedanya dengan anjing kudisan yang memburu dan mengumbar nafsu mereka.


Sebuah kesempatan yang istimewa, kami dapat berdiskusi ngalor-ngidul dengan Bob Teguh, sutradara dari Creamer Bob, eh sorry Creamer box.

Diskusi eklusif kami dengan Creamer Box

Bob Teguh : sutradara Creamer box

Giri Ratomo (Tombro) : pegiat teater bali, Kelompok Satu Kosong Delapan

Maulana Putra Dandiasri (Dias) : pegiat teater Topeng (SMUN 2)

Harris Lawera : mantan ketua dari teater Orok Universitas Udayana

Febrian Niko (Bajuri) : sama kaya Harris

Nur Setyanto : pegiat teater Bali

Wiwit Subekti (Ketel) : notulensi dan teman dari mereka semua.


Tombro
:
Bung Bob, melihat gaya pertunjukan yang sangat akrobatis dan aktraktif, apakah para pemainmu diasuransikan? Trus berapa lama proses latihan naskah anjing kudisan tersebut?


Bob
:
Para pemain kami tidak ada yang kami asuransikan. Berbicara tentang proses latihan, mmm (sembari berfikir dengan menggerakan jarinya satu persatu) kami latihan setiap hari yah, namun dalam proses anjing kudisan ini kurang lebih enam bulan.


Untuk masalah latihan mungkin kita semua sama, seperti latihan vocal, gesture, bloking, dan lain sebagainya. Namun tuntutan akrobatif itulah yang membuat kami lebih keras lagi dalam berlatihan. Dan yang penting jangan sampai takut, kita harus berani sakit.


Pada awalnya Anjing Kudisan ini ingin dimainkan dengan 15 orang, namun pada kenyataannya banyak dari mereka yang tidak bisa pentas karena banyak dari mereka yang dfapat dikatakan cedera, jadi yang dapat bertahanlah yang kami bawa ke Bali dan memenuhi undangan GATEL, sekalian reunian dengan tombro, he he he.

Audiens :

wow …….

Tombro :

Saya dengar Creamer Box selain dapat dibilang latihannya berdarah-darah, juga sangat disiplin. Bagaimana itu Bob?

Bob :

Bagi saya teater adalah sebuah pilihan, yang pasti di dalamnya ada konsekuensi yang akan kita alami, untuk itu kita harus berani menghadapinya. Pementasan teater adalah sebuah tropy yang harus kita raih, maka dari itu ya kita harus maksimal melakukannya dan yang penting penonton dapat berkomunikasi dengan kita.

Dias :

Mengapa mas Bob memilih naskah Anjing Kudisan, sedang setahu saya banyak naskah perselingkuhan yang ditulis oleh sastrawan lainnya?

Bob :

Saya memilih naskah Anjing Kudisan karya Yacob Sumardjo karena latar belakang penulisnya, beliau adalah seorang yang sangat religius ( katolik ), saya tertarik karena sangat ingin mengetahui perselingkuhan dari perspektif katolik, secara sekarang banyak orang yang melihat perselingkuhan dari kaca mata gender. Terlebih lagi ketika naskah ini ditulis dari sudut empirik, selain itu beliau pun melakukan riset di masyarakat. Disinilah letak ketertarikan saya untuk mengeksplor karya tersebut.


Tombro
:

Dari pementasan Creamer Box yang sudah-sudah, saya melihat ada pergeseran. Bob sekarang tidak seperti Bob yang dulu, yang senantiasa absurd dengan gaya aktaktifnya ? apakah itu termasuk kompromi bob dengan naskah atau apa?

Bob :

Yang pasti saya akan menggarap naskah realis, mungkin ini dapat disebut masa transisi saya. Ada banyak faktor yang belakangan ini memenuhi kegelisahan saya, hingga tertarik untuk menggarap realis. Saya juga kini mulai menghitung stamina pemain, dengan gaya akrobatik tersebut. Ke depan saya akan konsen dengan durasi permainan yang cukup, sekitar 45 menit. Di sisi lain dengan waktu segitu, saya yakin permainan akan maksimal. He heh he
Tanpa meninggalkan estetika seni. ( loh kok jadi serius, sih)


Harris :

Setiap seniman khan harus mempunyai cirri khas, tapi Bob malah ingin bergeser memainkan realis, lalu bagaimana menanggapi hal tersebut ?


Bob :
Bagi saya hal tidak berlaku, ( tarik nafas, sembari mengatur posisi dan lalu) jangan mencari ciri khas, saya pun pernah menggarap naskah Blessak, yang mainnya di dalam bak besar yang berisi lumpur, tanpa ada akrobatnya. Dan bagi saya, kita harus mengeksplor naskah walaupun bermain secara akrobatik namun simbol-simbol yang dilahirkan mengenai essensi dari naskah.
Nah, mengenai ciri khas tadi, biarkanlah penonton yang menilai kita dan menginterpretasi permainan kita.


Tombro :

Apapun bentuk yang akan dimainkan, yang pasti, tetep Creamer Bob khan? ( dengan gaya ngegamblehnya)


Audiens meresponnya dengan tertawa, walau ada yang tertawa dengan malu-malu hingga ( titttttttttttttttt, sori disensor)


Ketel :

Melihat pementasan-pementasan Creamer Box yang sangat akrobatik. Apa yang menjadi latar belakang untuk tetap menggunakan gaya tersebut?


Bob :

Pertunjukan sarat akan akrobatik mungkin bukan hal yang baru, tahun 60-an pertunjukan seperti itu sangatlah lumrah. Senior saya sendiri, Dindon namanya (teater Kubur -red), pementasannya selalu akrobatik. Hal ini dikenal dengan kesenian lqes. Dan hal ini membuat saya dekat dengan penonton saya.


Ketel :

Melihat keliar dari gaya akrobatik pementasan Bob, saya teringat akan pertunjukan embleg (kuda lumping) dimana mereka sangat dekat dengan penontonnya, bahkan sangat simple sekali, dan hal itu sangat menarik dapat berkomunikasi dengan penontonnya, terlepas “seni tersebut dijadikan sebagai alat”. Apakah mungkin pementasan Bob pun di ilhami oleh itu? (ce, ilah. pertanyaannya sok gawat)


Bob
:
Saya sangat kental dengan idiom tradisi, sebab di sana terdapat kemerdekaan, kemerdekaan pemainnya dalam mengeksplor estetika seni , penontonnya merdeka dengan segala pilihannya, seperti mereka menonton dengan tiada beban, tidak ada jarak antara penonton dan pemain. Lalu dengan berkembangnya paradigma kesenian maka semua itu hilang, dengan aturan yang harus diperhatikan. Hal inilah yang pada akhirnya teater sebagai seni pertunjukan menjadi sangat eksklusif.


Seperti pada waktu itu kami adakan Creamer Box ketuk rumah, dimana kami bertamu ke rumah para seniman, disana kami pentas, kita pentas diruang tamunya. Hal ini berlangsung di beberapa rumah seniman senior seperti Sarwoko.


Kami ingin memasyarakatkan teater, dimana kita akan menumbuhkan apresiator-apresiator. Dan keberhasilan sebuah pertunjukan tidak terlepas pada kreatornya, namun pada apresiatornya dimana didalamnya terdapat kritikus, penikmatnya.


Saya tidaklah terlalu dibebani oleh aksesoris panggung seperti lampu property lainya, bagi saya pertunjukan seni akan berlangsung ketika ada karya seni, creator dan penikmatnya, sedang untuk masalah panggung dimana saja dapat dijadikan panggung.


Disini yang saya ingin tegaskan adalah bagaimana menumbuhkan para apresiator, khususnya kritikus seni yang berfungsi untuk memberikan sebuah batasan-batasan terhadap seni, hal ini terlihat karena perkembangan seni pertunjukan, dan keliaran dari sang kreator yang pada akhirnya terjadi kompleksitas dalampertunjukan seni teater tersebut. Atau dapat dikatakan over lapping. He he he. Yang kami inginkan adalah terjadinya sebuah sinergitas antara kreator dan apresiatornya.


Ketel :

Satu sisi tentang keekslusifan teater, di sisi lain terdapat televisi yang memberikan sajian lain dan lebih berkembang. Lalu bagaimana menanggapi hal ini seiring tujuan Bob memasyarakatkan teater?


Bob :

Bagi saya televisi adalah ruang seni yang lain, pementasan drama yang ada didalamnya telah masuk dalam kaidah-kaidah film, dimana mereka harus mencari angel gambar, artistic, lighting. Secara sepentas memang sama namun mereka mempunyai permainan sendiri.


Sekarang yang kita harus pikirkan bagaimana teater dapat seperti sinetron atau film yang ditayangkan televisi. Para apresiatornya begitu merdeka, mereka dapat menonton sinetron atau film dengan nyaman, dan terbawa suasananya. Secara jarak mereka sangat jauh namun televise membuat mereka begitu dekat. Siapa saja dapat mengapresiasikannya. ( sebentar saya minum dulu, tak lama kemudian ada panggilan masuk di handphone-nya, “ maaf temen-temen dari nyonya” ujar bob dengan sedikit tersipu malu)

Audien tersenyum, lalu saling tengok sesamanya dengan muka tak bersalah, he he he.

(oke kita teruskan lanjut bob)



Dahulu teater menjadi idola masyarakat dimana setiap pementasannya sangat ditunggu, hal ini tidak dapat dilepaskan dari situasi politik, sebab teater dijadikan sebagai alat kampanye untuk menyuarakan aspirasi masyarakat, bahkan kedekatan teater bukan hanya pada masyarakat namun juga banyak dari elit politik yang pada waktu itu mensupport dan mendanai pementasannya. Nah terlepas dari sikon politik kita harus tetap menjadi idola masyarakat, jangan sampai kedekatan kepada masyarakat harus luntur oleh aturan-aturan yang secara tidak langsung membawa kita pada menara gading ( sudah sok politis belum, seperti para juru kampanye)


Audien tersentak tertawa lepas


Drama dalam bahasa Yunaninya adalah Draum yakni erangan ataupun longlongan anjing pada malam hari, saya berpendapat bahwa yang dihasilkan dari drama adalah suasana, maka dari itu saya berpikir kita mengadakan pementasan yang saya cari adalah suasana, nah balik lagi mengenai tradisi tadi, saya ingin mengajak semua elemen yang ada dalam pementasa pada suasana yang nyaman, terlepas naskah yang dibawakannya sangat sedih, atau keji sekalipun. Yang penting mereka nyaman dengan pementasannya yang dipertunjukkan.

Melihat muka peserta sudah mulai serius berlipet-lipet, tombro pun nyeletuk, “ yang pasti tetep creamer bob” ( suasana serius berubah menjadi gambleh kembali).

Nur :

Menyambung diskusi ini, tadi Bob mengatakan bahwa teater berlaku untuk semua orang, denger-denger Bob pernah bermain bareng dengan temen-temen dari Sekolah Luar Biasa. Bis a diceritakan sedikit tentang prosesnya?


Bob :

Banyak juga boleh, Ok. Ada beberapa pementasan saya dengan teten-temen penyandang cacat dan juga dengan pasien dari Rumah Sakit Jiwa Bandung. Pada waktu itu saya harus riset dan mengklasifikasikan mereka, seperti orang gila dan orang sakit jiwa. Orang gila dapat disembuhkan secara medis, namun orang sakit jiwa dapat disembuhkan oleh terapis teater dengan mengikuti proses latihan teater. Pada waktu orang yang sakit jiwa ada sekitar 15 orang yang saya tangani tuk berproses bareng, lalu dua dari mereka sembuh, namun, satu dari mereka harus mengalah dengan takdir, ia meninggal dunia, entah itu faktor apa yang menjadi penyebabnya. Berproses dengan mereka sangat menyenangkan. Dari saya sendiri punya keyakinan bahwa orang sakit jiwa adalah psikologisnya yang terganggu dengan berkomunikasi dengannya secara intensif pada saat latihan akhirnya mereka dapat menerima kembali kenyataan dan mulai membuka lembaran baru dalam kehidupannya. Memang saya akui 13 orang lainnya stamina menurun dan pada akhirnya mereka tidak lagi berproses bareng dengan kita.

Nur :

Lalu dengan orang yang cacat, bagaimana ceritanya?


Bob :

Pada waktu itu saya bekerjasamadengan teman-teman dari teater tutur Lampung menggarap naskah “Sangkuriang”. Pada awalnya kami ingin mengajak teman-teman dari tuna rungu, namun realitanya berkata lain banyak dari temen-temen yang terkena polio, CP yang tertarik pada kami, setelah prosese latihan kami anggap selesai maka saatnya dipentaskanlah naskah tersebut, para penonton yang dating berharap cemas dengan sang tokoh sangkuriang yang harus menendang perahu tersebut, namun hal itu dapat diselesaikan dengan bantuan dua crew kami yang bernama Gepeng (SE Dewantoro -red)dan Yonas Sestrakresna yang membantunya menggendong sang tokoh tersebut lalu sang tokoh dapat menendang perahu tersebut. Semua penonton pada kaget dengan hal itu,


“Sory, minum lagi”, ujar Bob


Cita-cita saya proses bareng dengan teman-teman tuna rungu pun terkabulkan, pada waktu itu saya dibantu oleh Joned Suryatmoko (teater Gardanalla Jogjakarta -red) untuk menggarap naskah “ Nyai Rambut Kasih”. Pada saat itu kami tidak menggunakan naskah, kami lebih fokus pada keseharian mereka, dan kami membuat kesepakatan bersama dalam pementasan. Konsep yang saya tiru adalah konsep film bisu, dimana tidak ada teks dan bahasa isyarat, yang ada adalah sebuah kesepakatan, pemindahan keseharian mereka kedalam panggung. Mereka dalam adegan-adegan ternyata menghitung sendiri dengan ketukan dalam hatinya, hingga pementasan berjalan dengan sebagaimana mestinya.


Hal serupa juga saya alami dengan teman-teman tuna netra. Pada waktu itu saya namakan sebagai "drama suara”. Saya mementaskan tentang sebuah aktifitas keseharian mereka dalam satu hari. Pada waktu masuk SLB A (sekolah Luar Biasa untuk tuna netra) Bandung, saya heran sebab semua dari mereka melakukan aktivitas keseharian sama dengan kita, mereka menontron televisi, main catur, main gaple, dan lain sebagainya. Pada akhirnya saya menemukan sebuah formula untuk melibatkan mereka dalam pementasan teater. Dalam pementasannya mereka mengandalkan pendengaran dan daya ingatnya yang sangat luar biasa. Pementasan pada waktu itu di dalam gedung, tanpa lighting yang ada hanya sebuah suara kentongan, suara kokok ayam, suara air mendidih, suara siaran televisi tentang pertanian pada pagi hari, suara angin sawah yang sepoi, dan keramaian sawah, suara adzan, suara keramaian anak-anak dan suara lainnya yang menjadi sebuah penanda dari keseharian mereka. dari sinilah saya meyakini bahwa teater adalah atmosfir, sebuah suasana


Karena waktu yang terbatas, sebab masih harus setting panggung untuk pementasan teater keesokan hari dan Bob bersama pemainnya pun harus istirahat maka diskusi dihentikan, dan ternyata memang pada waktu itu sudah pagi, sekitar jam 3 : 00 WITA.


Terima kasih untuk Kang Bob Teguh, sukses selalu.


Rabu, 12 Desember 2007

Yang Tercecer dari Teater Bali

>> Kencan Tari Indonesia <<

Ada banyak pertanyaan padaku saat aku ngikut Temu Penari Indonesia yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta 5-8 Desember 2007 kemarin. Apa seeeh maunya tomo?

Mau jadi dokter hewan? teaterwan? pa penari?

Aku sih senyam senyum ajah.. namanya juga dapat undangan, masa kita tolak? hitung-hitung bertukar "isi tempurung" dengan koreografer, pengamat dan penggagas festival dari Indonesia, Jerman dan Jepang.

Seperti apa seeh tari Indonesia sekarang?

Wew..
Buang jauh bayangan bahwa "tari" yang diobrolin disini adalah tari macam "tari" tradisi, penari latar apalagi tari striptis..wuhuuuu

Tari (dance) yang kami bicarakan adalah tari macam dance theatre.

beeeh... macam apa pula itu?

Yap! anda bingung?
Begini. Sekarang ini perselingkuhan antar bidang seni sudah menjadi kelaziman. Batas estetik visual antara tari, musik, rupa dan teater sudah tipis. Bahkan sangat tipis! Tak heran bila perselingkuhan macam itu melahirkan bentuk baru yang segar. Aku pikir biarkan para kritisi dan memberi definisi akan bentuk tersebut.

Selasa, 11 Desember 2007

Semangat Yuuuk Semangat!!

>> Persiapan Gelar Teater La Jose 2007 <<

Baru saja saya pulang dari aula Santo Yoseph Denpasar. Aula besar yang hari-hari biasa lebih sering dipakai sebagai tempat bermain bulu tangkis, sore tadi sudah dipenuhi kain dan bambu.

hmmm aroma mau diadakan pentas teater sudah tercium disini.

Yap! Bentar lagi, masih kurang 3 hari, Gelar Teater La jose akan dimulai. Hajat tahunan teater La Jose SMAK Santo Joseph ini akan digeber dengan kecepatan 180 km/jam. Weew.

Kayaknya berlebihan banget tuuh kata-katanya..biasa ja napa..

Yap!
saya pikir tak berlebih amat. Kenapa? Sebab hampir semua orang teater Bali dibikin penasaran. Why?

Yang pertama:
La Jose untuk tahun ini mengadakan GATEL tanpa ditemani pelatih mereka yang tercinta, tersayang, terkasih yakni Dadi Reza Pujadi. Weeew...kaciaaaan amat. Kemana seeh beliauu?

Maklum saja, Dadi Reza masih sibuk ikut program magang yang disponsori oleh Yayasan Kelola.
Puji Tuhan!!
Dadi Reza magang di Teater Populer nya Slamet Raharjo di Jakarta. Selama 3 bulan Dadi digembleng habis-habisan disana dan terlibat proses produksi Teater Populer. Ehm.. Dengar-dengar, Dadi malah kecantol mau tinggal di Jakarta..wuhuuuu ini jelas mengejutkan!!

Yang kedua:
Gelar Teater La Jose 2007 ini untuk pentasnya, para peserta diseleksi dulu. Jadi kurang lebihnya; yang maen adalah yang terpilih.
Wuhuuuu..seperti apa ya kira-kira?bagus-bagus atau keren-keren ya? jangan-jangan jelek-jelek dan membosankan hehehehe

Stt jangan berprasangka dulu, kita lihat saja mulai tanggal 14 sampai 19 Desember nanti!

Yang ketiga:
Kini GATEL tak cuma diisi oleh kelompok teater di Bali tapi juga ada kelompok teater (propesional) dari luar Bali. Yakni Creamer Box dari Bandung, Teater Tekku dari Jogjakarta dan Teater hitam Putih dari Padang.
Wooow

Yang keempat:
Ini yang menyedihkan; siapa yang masih berteater di Denpasar?

Yang kelima:
Ini foto jepretan saya baru saja...

Bayangkan..betapa mereka, anak-anak yang masih remaja mesti mensiasati aula yang tinggi, besar dan bergema tersebut agar layak dipakai sebagai sebuah tempat pementasan yang layak!

Semangat nak...

Senin, 03 Desember 2007

Teater Bali dan (masih) Pekerjaan Rumah

>> Membuka diri dan Membuka Ruang Baru <<

Hidup tak cuma satu "folder". Tak melulu teater, teater dan teater. Tak melulu ngapalin naskah, ngapalin naskah, ngapalin naskah.

Masih banyak folder-folder yang mesti di buka dan diisi. Kita orang teater, mestinya ngerti en bersentuhan dengan bidang-bidang laen.

Yakini aja dari sentuh menyentuh itu akan lahir gagasan baru en semangat baru.

Minggu, 02 Desember 2007

After Save Our Gun 2007

>>Pantomime di pantai Kuta<<


Dari jam tiga sore sampai jam enam sore, kami berempat: Febrian Niko Wijanarko, Maulana Putra Dandiasri, Indra "mPol" Purnama dan Giri Ratomo, bermain-main di pantai Kuta. Tepatnya di pantai depan Sahid Hotel hingga Hotel Bali Anggrek

Bermain-main? bermain apaan?


Kami bermain pantomime.

Weeeh..pantomime. Capai?

ya iya laaaah..masa ya iya dong! Tapi kami melakukannya dengan riang. Jadi ga terasa capai..



General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan