Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Sabtu, 03 November 2007

Teater Rendah Hati

>>Surat dari Abu Bakar di NY<<

Tomo: soal Harvard, Silahkan. Aku juga sudah lupa isinya. Jika kau pandang ada guna silahkan. Tetapi setahuku aku tahu diriku: nyeleneh tak punya nilai. Jadi niat meng-upload itu pertimbangkan agar penyakitku tak nular ke lain orang. Cuma,- nah ini penting Nietzche kata orang, bukan hanya dikabarkan sakit tetapi juga resmi gila megalomi. Thus Spoken Zarathustra-nya ditulis dalam kondisi jiwa yang kayak begitu itu. Artinya begini Mo: "Semoga sembayang dan doamu kenceng," maka siapa tahu si Zarathustra itu adalah aku.

Betul aku masih di AS. tapi Nov. ini sudah balik ke Bali. Dari Warih aku dengar Art Center buat Festival Drama Modern bahasa Bali. Suatu upaya yang baik bukan? Sabar, sabar jangan keburu menuduh bahwa itu hanyalah bentuk konvensasi dari mereka setelah kau diusir tak boleh latihan di sana. Jika kau yang kuasa itu bangunan jangan-jangan bukan pk. 20.00, malah 4 sore kawasan itu sudah kau tutup. Festival itu hendaknya kita sambut dengan kesungguhan hati, "jangan-jangan" kehidupan teater yang kerakap ini bisa kembali kita gairahkan dari sana, berangkat dari sana. Saat pintu mereka buka jadilah tamu yang baik.

"Mungkin" kita-kau-aku dan segenap teman-teman teater kupandang perlu untuk secara total memperbarui sikap kita "agar" para birokrat itu tak lagi "alergi" lihat wajah dan penampilan kita. Bila serba serba sedikit harus membungkuk saat bicara, itu adalah cara yang paling murah untuk menggaet hati mereka. Sekali-sekali jean robek jangan dipakai, rambut disisir bubuhi tancho, atau ngomonglah dengan bahasa rendahan "agar" segala sesuatunya bisa sepadan, setidaknya jangan buat citra bahwa mereka lebih goblok dari kau. Kadek adalah contoh baik. Bajunya selalu bersih, kerjanya profesional, naik turun pergi pakai kendaraan, tak terus "nyeker" jalan kaki macam si Utay atau Bowo. Mereka perlu citra dan kita buat citra. Bukankah kita orang teater?
Dengan kata lain ingin kukata bahwa (dan kau tahu ini) bahwa citra kita (sebagai orang teater/kelompok) jelek amat di mata birokrat yang punya kuasa itu. "Kalau bisa Putu Satria jangan dikasih pentas di sana nanti rusak panggung kita," kata seorang pejabat yang langsung aku dengar. Rasanya waktu itu Putu Satria membawa berkarung-karung tanah ke atas stage untuk menggambarkan sesuatu dalam adegan dramanya. Dan kali lain stage mereka basah kuyup oleh kita, lalu waker kena damprat boss "Sudah saya bilang orang-orang teater itu jangan dikasih pentas di sini. Stage kita jadi rusak semua!"

Tak ingin mengelak penyakit macam begitu memang ada pada kita. Sudah sepantasnya mereka marah. Kembali. Jadi demi teater, untuk teater, mari kita perbarui sikap mental kita terutama saat beradaptasi pada domein yang bukan wilayah kita. Apakah melacur? Ya tidak dong. Sehingga bila disimpulkan kayaknya aku sedang mengajak kalian untuk berteater dengan cara yang rendah hati, cara biasa, tak dar-der-dor, jujur, lepas dari sensasi sebagai bagian dari pembersihan citra itu.

Apa bisa anak-anak muda di ajak begitu? Nah itu mah soalnya lain lagi.
hormatku Abu.

Tidak ada komentar:

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan