Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Minggu, 30 Maret 2003

Teater Kampus yang Resah

Oleh: Cokorda Yudistira dan Nuryana A Saddys Asmara
Penyair tinggal di Denpasar

KALANGAN insan teater kampus resah. Mereka resah karena minimnya perhatian masyarakat terhadap dunia teater kampus. Terbukti selama Pekan Performing Art (PPA) Nasional III 2003 Teater Orok Universitas Udayana (Unud) Denpasar, 16-22 Maret, nyaris tidak ada penonton dari luar komunitas teater peserta.

Para aktivis dan pencinta teater dari luar kampus hanya beberapa orang saja yang menampakkan diri. Karena itu kegiatan tersebut seakan hanya sekadar pemuas nafsu pribadi-untuk mereka dan dari mereka-guna dibicarakan antarmereka sendiri.

Keresahan lain adalah masalah klasik, kendala dana, dan benturan birokrasi di kampus, persoalan manajemen organisasi dan pengaderan, serta kendala internal lainnya yang kerap membuat teater kampus menjadi kembang-kempis.

Persoalan yang juga meresahkan yaitu belum terlihat kemajuan dari para pegiat teater kampus. Kelemahan mendasar antara lain lemahnya penguasaan dasar-dasar bermain drama.

Mereka rata-rata memperlihatkan nafsu berteater yang menggebu dengan tawaran konsep dan tema-tema besar, namun lemah dalam menjadikannya suguhan yang layak tonton. Kendala lain adalah lemahnya olah vokal, olah tubuh, penguasaan teknik panggung, penjiwaan dan perwatakan, ekplorasi dan penjelajahan estetika serta unsur-unsur lainnya.

PPA Nasional III sebagai ajang pementasan tidak terhindar menjadi ajang meluapkan segala persoalan di luar persoalan teknis pementasan. Mereka sepakat membentuk jaringan antarteater kampus sebagai media sambung rasa.

Teater Orok Unud yang melibatkan sekitar 30 grup teater kampus dari seluruh Indonesia dan eksibisi dari dua teater sekolah menengah umum di Bali itu menjadi oase di tengah kehausan pegiat teater kampus. Keberanian menggelar acara ini di tengah keterpurukan kehidupan teater kampus menciptakan geliat mereka, yang rata-rata baru terjaga dari tidur.

Banyak kasus penyajian drama dalam PPA Nasional III yang tidak konsekuen dan tidak konsisten dalam pilihannya sehingga menimbulkan kesan tampil setengah hati, bahkan amburadul.

Memang ada beberapa penampilan yang menarik dan menjanjikan. Sebutlah, misalnya, Teater SiAnak Fisip Unsoed Purwokerto dengan lakon Godlob-nya Danarto, Teater Institut Universitas Negeri Surabaya yang menggarap naskah Mesin karya Hamlet, atau Teater Gabi FKIP Universitas Sriwijaya Palembang.

Mereka memenuhi standar sebuah pementasan drama yang enak ditonton dalam kapasitasnya sebagai teater kampus.

Besar harapan yang dibebankan dalam acara PPA Nasional III 2003 ini. Mereka diharapkan membantu membuka cakrawala dan membangun kembali iklim perteateran kampus.

Selain kegiatan di dalam kampus, beragam kegiatan di luar kampus juga mendukung keberadaan teater kampus. TVRI pernah mementaskan teater modern dan menggelar sejumlah workshop teater. Sanggar Minum Kopi mengadakan lomba cipta puisi nasional selama 10 tahun berturut-turut. Kegiatan tersebut membuat denyut perteateran kampus menjadi dinamis pada masa itu. Akhir tahun 1990-an, aktivitas teater kampus hampir kosong.

Acara seperti temu-kumpul teater semacam PPA Nasional III ini penting untuk memberi napas baru bagi teater kampus.

Liputan Pekan Performing Art Nasional III

Kampus Universitas Udayana Denpasar-Bali 16-22 Maret 2003

Mungkin sebelumnya saya minta maaf dulu buat kawan-kawan yang nilai pelajaran bahasa Indonesia-nya di bawah 7, cuma kalo mo belajar soal sastra ya nggak papa sih. Sebelum tahun ’50 kita, kita kenal nama-nama tokoh teater seperti : Usmar Ismail, Asrul Sani, Idrus, Trisno Sumardjo. Sedang tahun di tahun ’50 an kita kenal Utuy Tatang Sontani, Sitor Situmorang, Rustandi Kartakusuma dkk. Di tahun ’60 an buku pelajaran sekolah kita mencatat nama-nama seperti Motinggo Bosye, Kirjomulyo, WS Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Iwan Simatupang dll. Sehingga nggak heran kita sempat punya sutradara-sutradara film yang handal di tahun 60 an hingga awal 80 an, setelah itu kita punya nama-nama sutradara film-film ranjang yang nggak pantes di bangga kan.

Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta, Cau Bau Kan harus diakui adalah film yang jadi kebangkitan dunia perfilman nasional. Dengan didukung semangat, kematangan penyutradaraan, kuatnya karakter para aktor dan aktris dan sokongan tim marketing membuat fim ini jadi tren setter (sorry buat mas Garin dan Harry, abis film anda nggak terlalu ditonton orang sih). Kemunculan kedua film ini lalu di ikuti oleh beberapa film yang lain seperti Joshua oh Joshua, Jailangkung, Andai Dia Tahu, Rumah Ke Tujuh de el el yang sayangnya kurang didukung oleh kemampuan dalam oleh vokal, gesture tubuh, intonasi dialog, mimik dan akting para pemeran. Selain itu rasa keinginan sutradara untuk secepatnya menyelesaikan film membuat naskah, penonton, alur film dan si aktor menjadi tidak menyatu (bahasa gue film-nya basi).

Tak heran kadang kita bisa dengan mudahnya menebak kemampuan seorang pemeran fim dari ketidakmampuannya memerankan sang tokoh dalam naskah, yang ada adalah kemunculan individu pemeran tersebut mempengaruhi sang tokoh dalam film tersebut. Ya, karena emang untuk saat ini bintang-bintang sinetron atau film tersebut tidak memiliki bekal kemampuan dalam bidang teater, ya jangan salahkan mereka kalo kadang akting mereka ya gitu-gitu aja meski sutradaranya atau penulis naskahnya lulusan dari luar negeri sana. Dan herannya kenapa sih yang jadi artis Indonesia wajib bertampang indo jarang banget yang face-nya eksotis paling Lola Amaria, nggak seperti industri film di luar negeri yah kiblat kita Hollywood. Di sana bukan hal yang aneh kalo kadang kita nemu in tampang-tampang negro ruwet yang diliat aja ogah tapi aktingnya top punya.

Kemapanan versus Kemauan

Di tengah geliat teater tradisional di kancah nasional seperti wayang, ketoprak, ludruk, srimulat, lenong. Kawan-kawan Teater Orok Noceng Universitas Udayana yang dengan gagah berani mengadakan (dengan minim biaya) event teater tingkat nasional mendahului Pekan Seni Remaja XIX tingkat Bali yang diadakan oleh Pemkot Denpasar dengan segala kemapanannya.

Romantisme, itu kata pertama kita kalo ngomongin tentang dunia teater di Bali. Kenapa ?, karena sempat pada era ’80 an dan ’90 an di Bali (tepatnya Denpasar, Negara dan Singaraja) beberapa komunitas teater mucul di kalangan mahasiswa, pelajar dan profesional. Contoh aja Teater Keliling, Teater Kluster, Sanggar Purbacaraka (Fak Sastra Unud); Teater Yusticia (Fak hukum Unud); Teater Equilibrium (Fak ekonomi Unud); Teater Hipocrates (Fak Kedokteran Unud); Teater Semar (Fak Pertanian Unud); Teater Orok (Unud); Teater Seribu Jendela (IKIP Singaraja); Teater Kampus (Univ Marwadewa) dan Teater Univ Hindu Indonesia.

Di kalangan sekolah, ada Teater Angin (SMU 1 Denpasar); Teater Topeng (SMU 2 Denpasar); Teater Trisma (SMU 3 Denpasar); Teater Blabar (SMU 4 Denpasar); Teater SMU 5 Denpasar; Teater SMU 6 Denpasar; Teater Antariksa (SMU 7 Denpasar); Teater Ombak, Sanggar Jineng Smasta, Teater Gugat (SMU Santo Yosep); Sanggar Cipta Budaya (SMP 1 Denpasar), Teater Lingkar (SMP 2 Denpasar), Teater SMP 3 Denpasar; Sanggar Yogiswari (SMP 10 Denpasar) dst.

Di kalangan profesional ada Sanggar Putih, Sanggar Minum Kopi, Teater Agustus, Teater Mini (Badung); Teater Poliklinik, Sanggar Binduana (Klungkung); Sanggar Posti, Teater Got, Sanggar Seni Banyuning (Buleleng); Teater Kene, Sangar Susur, Teater GAR, Bali Eksperimental Teater, Sanggar Jukut Ares (Tabanan); Teater Mentah, Sanggar Nyuh Gading, Sanggar Arak Api, Sanggar Pondok Pekak (Ubud-Gianyar); Teater Hitam-Putih, Sanggar Bukit Manis (Buleleng) de el el.

Awal kemuculan mereka gara-gara booming event, parade kesenian dan lomba kesenian. Hingga saat ini hanya 3 kelompok teater kampus yang masih terdengar seperti Teater Orok, Sanggar Purbacaraka dan Teater Seribu Jendela, lainnya entah kemana. Padahal kini para veteran teater kampus sudah menjelma menjadi dosen di almamaternya, birokrat, peneliti, bisnisman, anggota MPR dst. Kelemahan mendasar dari mereka adalah rendahnya mutu manajemen dan sistem kaderasisasi.

Sedang untuk kelompok Teater Sekolah hanya Teater Angin, Teater Topeng, Teater Trisma, Teater Antariksa, Teater Blabar, Sanggar Cipta Budaya dan Teater Lingkar yang masih eksis. Permasalahan terkrusial dari teater sekolah adalah bejibunnya birokrat sekolah yang mata duitan sehingga menganggap kegiatan teater cuma sarang anak-anak pemberontak, kegiatan kelas kampung, kurang pintar. Hal ini wajib dimaklumi karena secara umum kalangan orang tua hanya memandang sebelah mata pada ilmu-ilmu humaniora (bahasa dan ilmu sosial) yang didalamnya adalah pembentukan budi pekerti bagi kehidupan sosial mereka nanti. Anak-anak sekolah hanya dipaksa untuk belajar ilmu eksata (Fisika, Matematika, Biologi dll), akibatnya generasi Indonesia kering budi pekerti, kasar, anti sosial, tukang korupsi dll.

Nah untuk kelompok teater profesional yang masih berkibar hanya Teater Agustus (Gus Martin dkk), Teater Got (Agung Eksa Wijaya), Bali Eksperimental Teater (Nanoq da Kansas dkk), Sanggar Seni Banyuning (Putu Satria Kusuma dkk), Sanggar Kukuruyuk (Made Taro), Sanggar Posti (Yonas dkk), Bani Production (Dewa Jayendra dkk), Kalangan Rurung Rai (Rai Sulastra dkk) dan Komunitas Kembang Lanang yang bergerak di bidang sastra, performance art dan seni rupa.

Dari Seluruh Nusantara mereka berkumpul

Pementasan teater ini didukung oleh seluruh teater kampus dan beberapa teater sekolah seperti Teater Sianak (Unsoed Purwokerto), Teater Gabi (Unsri Palembang), Teater Pagupon (UI Jakarta), Teater Putih (Unram Mataram), Teater Kampus (Unhas Makasar), Teater Himasindo (Unlam Banjarmasin), Bengkel Sastra Indonesia (Unhalu Kendari), Sanggar Purbacaraka (Unud Bali), Teater Titik Dua (UNM Makasar), Teater Hampa (Univ Malang), Teater Bening (STKIP Hamzan Wadi NTB), Teater Talas (UMM Makasar), Teater Institut (Unesa Surabaya), Sanggar Bahana Antasari (IAIN Antasari Banjarmasin), Studi Teater (IKJ Jakarta), Forum Apresiasi Sastra (Unlam Banjarmasin), Teater Kampus (UNM Makasar), Teater Yupa (Unmul Samarinda), Teater Satu Mei (Stimik Handayani Makasar), UPKSBS (UMI Makasar), Sanggar Seni (STIEM Makasar), Sang Dipa ( Stimik Dipanagara Makasar), UKM Seni Budaya Esa (IAIN Alaudin Makasar), Bengkel Sastra (UNM Makasar), Teater Halouleo (Unhalu Kendari), Teater Topeng (SMU 2 Denpasar), Teater Blabar (SMU 4 Denpasar), Teater Syahkuala (Nanggroe Aceh Darrusalam), Teater Nol (Nanggroe Aceh Darrusalam) dan Teater Rongsokan (Nanggroe Aceh Darrusalam). Ditambah pementasan Cok Sawitri, Yuanita Ramadhani dan W.S Rendra.

Total selama sepekan seluruh pecandu sastra dan orang-orang gila di kampus Universitas Udayana terpuaskan oleh segala cerita dan tingkah polah manusia-manusia aneh tersebut. Nggak tanggung kalo boleh dibilang, contoh aja demi sebuah setting sumur khas kampung-kampung di indonesia. Anak-anak Sanggar Bahana Antasari sampe beneran bikin sumur plus air (bener-bener nih) untuk adegan MCK (Mandi Cuci dan Kumur-kumur) di sumur. Menarik sih menarik cuma bikin gue yang punya tanggung jawab sound sytem deg-deg an. Nggak Cuma performing art aja kawan-kawan teater juga pada kompakan untuk aksi solidaritas anti perang, wujudnya aksi diam karena toh mo teriak-teriak Bush dan Saddam tetep aja cuek bebek maen perang-perangan.

Sabtu, 01 Maret 2003

Kisah Resah Teater di Bali

Oleh WAYAN SUNARTA

Saban kali berbincang masalah teater di Bali—baik itu teater kampus, teater sekolah, maupun teater profesional—kita senantiasa akan terjebak dalam romantisme berkepanjangan. Kita hanya bisa mengenang—seringkali tanpa sudi berbuat sesuatu— kejayaan masa lalu teater di Bali, era 1980-an dan 1990-an, di mana kelompok-kelompok teater bermunculan bagai laron di musim penghujan. Dan sebagaimana layaknya laron, teater yang jumlahnya lumayan banyak itu, satu per satu melepas sayapnya, lalu mati dengan mewarisi sekelumit kisah kejayaan.

Sang waktu dan sejarah telah mencatat, ada puluhan teater yang pernah meramaikan dunia perteateran di Bali pada era itu. Kelompok-kelompok teater itu tersebar hampir di semua kabupaten di Bali. Namun yang paling menonjol adalah tiga titik pertumbuhan teater yang sangat pesat, yaitu Denpasar, Singaraja dan Negara dengan para tokohnya yang rata-rata sudah dikenal di tingkat nasional.

Dari kalangan teater kampus, Bali pernah mencatat keberadaan Teater Keliling, Teater Kluster, Sanggar Purbacaraka (Fakultas Sastra Unud), Teater Yusticia Fak. Hukum Unud, Teater Equilibrium Fak. Ekonomi Unud, Teater Hipokrates Fak.Kedokteran Unud, Teater Semar Fak.Pertanian Unud, Teater Orok Unud, Teater Seribu Jendela IKIP Singaraja, Teater Kampus Univ. Warmadewa, Teater Kampus Unhi.
Di kalangan sekolah, muncul Teater Angin SMU 1 Denpasar, Teater Topeng SMU 2 Denpasar, Teater Trisma SMU 3 Denpasar, Teater Blabar SMU 4 Denpasar, Teater SMU 5 Denpasar, Teater SMU 6 Denpasar, Teater Antariksa SMU 7 Denpasar, Teater Ombak, Sanggar Jineng Smasta, Teater Gugat SMU Santo Yosep, Sanggar Cipta Budaya SMP 1 Denpasar, Teater Lingkar SMP 2 Denpasar, Teater SMP 3 Denpasar, Sanggar Yogiswari SMP 10 Denpasar, dan sebagainya.

Bali juga mencatat kehadiran teater profesional, seperti Sanggar Putih, Sanggar Minum Kopi, Teater Agustus, Teater Mini Badung, Teater Poliklinik, Sanggar Binduana Klungkung, Sanggar Posti, Teater Got, Sanggar Seni Banyuning-Buleleng, Teater Kene, Sanggar Susur, Teater GAR, Bali Eksperimental Teater, Sanggar Jukut Ares Tabanan, Teater Mentah, Sanggar Nyuh Gading, Sanggar Arak Api Ubud, Sanggar Pondok Pekak Ubud, Teater Hitam-Putih, Sanggar Bukit Manis Buleleng, Teater Kebun Bayam, Sanggar Kokokan Talang-talang, Sanggar Surabi, Kalangan Rurung Rai, Komunitas Pojok, Komunitas Kembang Lalang, dan beberapa nama yang luput dari perhatian.
Pada mulanya, kemunculan kelompok-kelompok teater itu juga dipicu oleh adanya banyak event, parade, dan lomba teater di Bali saat itu. Sebutlah misalnya event Lomba Drama Modern yang digelar setiap dua tahun sekali oleh Fakultas Sastra Unud, Parade Performance Art oleh Teater Orok Unud, Pesta Kesenian Bali di Art Centre, Pekan Seni Remaja (PSR) Denpasar, pementasan berkala dan event-event yang bersifat insidental.

Sampai saat ini, teater kampus yang masih bertahan dan terdengar gaungnya dalam berbagai aktivitas adalah Teater Orok, Sanggar Purbacaraka dan Teater Seribu Jendela. Selebihnya tenggelam di telan zaman. Padahal di kampus Unud sendiri, pada masa-masa jayanya, hampir setiap fakultas memiliki kelompok teater. Kini tokoh-tokohnya sebagian besar menempati posisi penting, seperti menjadi dosen di alma maternya, peneliti, birokrat, pebisnis, anggota MPR, dan sebagainya.
Selama ini, kelemahan paling mendasar teater kampus di Bali adalah lemahnya manajemen organisasi dan kaderisasi. Banyak para senior teater kampus yang tidak mampu memanajemen organisasi dan para anggotanya, serta tidak sanggup menerapkan sistem kaderisasi yang baik. Karena jangka waktu perkuliahan yang relatif lama, teater kampus sebenarnya memiliki waktu kreatif yang lebih banyak, dibandingkan teater sekolah yang hanya 3 tahun. Semestinya teater kampus mampu menjadi teater yang profesional.
Teater sekolah masih relatif bertahan karena telah menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang formal dan birokratis. Namun teater sekolah yang masih aktif, dalam arti sering menggelar event sastra/teater dan pementasan, adalah Teater Angin, Teater Topeng, Teater Trisma, Teater Antariksa, Teater Blabar, Sanggar Cipta Budaya dan Teater Lingkar. Selebihnya tiada kabar berita lagi.

Sesungguhnya tujuan mulia teater sekolah adalah wadah penumbuhan dan pemeliharaan ji-wa-jiwa kreatif di bidang sastra dan drama. Terlalu berlebihan bila mengharapkan semua lulusan teater sekolah akan menekuni teater seterusnya dan bisa menjadi aktor, aktris atau sutradara. Karena hal itu lebih bersifat pada pilihan hidup dan profesi.
Yang bisa diharapkan dari anggota teater sekolah adalah tumbuhnya karakter, watak yang berguna bagi masyarakat, melalui proses pendidikan budi pekerti, simpati dan empati terhadap penderitaan atau kebahagiaan sesama manusia.
Permasalahan teater sekolah yang paling terasa adalah minimnya pembina (biasanya dari guru bahasa Indonesia) yang memiliki kecintaan berlebih terhadap sastra/teater. Tugas membina anak didik seringkali dikerjakan sambil lalu, sekadar mengejar kredit point, dan honor tambahan. Tidak ada jiwa ngayah (ikhlas) pada mereka untuk ikut menumbuhkan budi pekerti anak didik lewat seni sastra/teater.

Yang parah lagi, ada kepala sekolah yang menganggap ekstrakurikuler sastra/teater adalah sejenis kegiatan kelas kambing, tidak bergengsi, sarang anak-anak bandel yang suka melawan sekolah. Teater menjadi ekstrakurikuler anak tiri di sekolah itu. Ada pula kepala sekolah dan orang tua siswa yang terlalu mementingkan ilmu-ilmu eksakta (fisika, biologi, kimia, matematika), dan memandang remeh ilmu humaniora yang membentuk budi pekerti, macam sastra/teater itu. Padahal mereka tahu bidang sastra pun ada hadiah nobelnya. Pendek kata, sastra/teater adalah ekstrakurikuler paling marginal di sekolah.

Banyak juga teater sekolah yang tidak memiliki pelatih tetap. Bahkan yang tragis lagi, ada beberapa sekolah (terutama swasta) yang tidak mempunyai ekstra sastra/teater sehingga bakat-bakat potensial dari siswa tidak tersalur dengan benar. Biasanya teater sekolah akan mulai menggeliat dan rame-rame mencari pelatih bila ada event lomba sastra/teater. Kalau tidak sedang menghadapi lomba, jarang yang rela latihan serius.
Nasib teater profesional lebih parah lagi. Sebagian besar sudah mati, mewarisi setumpuk kenangan usang. Para pendiri serta tokoh-tokohnya yang sebagian besar masih hidup, layaknya para veteran perang yang nyinyir mengisahkan kejayaan masa silam, ketimbang ikut suntuk memikirkan perjuangan selanjutnya, terutama menumbuhkan dan memelihara bibit-bibit baru di taman teater kita.

Teater profesional yang masih bertahan hingga kini bisa dihitung dengan jari tangan (tanpa jari kaki). Sebutlah misalnya, Teater Agustus (Gus Martin dkk), Teater Got (Agung Eksa Wijaya), Bali Eksperimental Teater (Nanoq da Kansas dkk), Sanggar Seni Banyuning (Putu Satria Kusuma dkk), Sanggar Kukuruyuk (Made Taro), Sanggar Posti (Yonas dkk), Bani Production (Dewa Jayendra dkk), Kalangan Rurung Rai (Rai Sulastra dkk), dan Komunitas Kembang Lalang yang bergerak di bidang sastra, performance art, dan seni rupa.

Bulan Maret tahun ini bisa jadi merupakan bulan terindah bagi pelaku dan pecandu teater di Bali. Ada dua event teater penting yang akan tergelar pada waktu yang hampir bersamaan. Tanggal 16-22 Maret 2003 Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Orok Unud menggelar Parade Performance Art III yang akan diikuti sejumlah grup teater dari beberapa kota di Indonesia. Pada 27 dan 29 Maret 2003 digelar lomba drama modern Pekan Seni Remaja (PSR) XIX oleh Pemkot Denpasar.

Keberanian Teater Orok dengan dana minim menggelar event teater tingkat nasional akan bersanding dengan formalitas Pemkot, yang ditunjang biaya besar menggelar PSR, tapi yang dari tahun ke tahun nyaris tanpa perubahan dan kemajuan berarti. Dalam dua event bergengsi ini, para pecandu teater akan bisa menyaksikan, menikmati dan mengukur kemajuan teater sekolah, teater kampus dan teater profesional di Bali dan beberapa kota di Indonesia.

Dengan penampilan teater-teater dari luar Bali dalam Parade Performance Art III, semoga bisa menjadi pancingan bagi para aktivis teater di Bali untuk kembali menumbuhkan dan memelihara benih-benih teater yang selama ini terlupakan. Sekali lagi, semoga!***

Penulis adalah pecandu teater dan aktivis Komunitas Kembang Lalang

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan