Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Selasa, 04 November 2008

Lomba Operet Pelajar
SMA se-Denpasar
(Operetta Festival for Student)

5, 6, 7 November 2008
07 pm till down
at SMAN 2 Denpasar
Jl PB Sudirman Denpasar

Entry pass Rp 7.000
Organized by Teater Topeng
SMAN 2 Denpasar

Jumat, 12 September 2008

Konsep

>> Sedikit tentang Artaud <<

Beberapa konsep teater yang masih membayangi otak kiri saya adalah konsepnya Artaud.

Mencuri dari tulisannya James Roose Evans :
Artaud mulai terlihat dengan gerakan Surealis pada tahun 1925. Kemudian mulai 1927 mulai melakukan pementasan teater eksperimental bersama-sama Roger Vitrac dalam Teater Alfred Jarry. Tahun 1931 saat colonial exhibision di Paris dia tertarik dengan gerakan penari Bali yang kemudian banyak mempengaruhi konsepnya. Tahun 1937 dinyatakan menderita syaraf tidak sembuh-sembuh sampai 1946 dan meninggal 1948.

Teater tidak akan pernah menemukan dirinya kembali kecuali dengan cara memperkaya penonton dengan kebenaran-kebenaran dari gumpalan impian.

Adalah sangat penting sekali untuk dicatat bahwa Artaud memberontak terhadap permainan yang sudah baku dan disenangi pada zaman itu. Dia menghantam teater Prancis yang didominasi oleh kata-kata. Untuk menggantikan puisi kata ia mencoba memperkenalkan puisi ruang dengan menggali penerapan unsur musik, tari, seni rupa, seni kinetik, pantomim, gerak, tembang, mantra, tata lampu dan bentuk-bentuk arsitektur.

Artaud menulis :
Saya sangat sadar bahwa bahasa gerak, postur, tari dan musik kurang mampu untuk menganalisa suatu watak, mengejawantahkan kesadaran-kesadaran perasaan manusia lebih jelas dan lebih tepat dibandingkan dengan bahasa verbal, walau begitu siapa bilang bahwa teater diciptakan untuk menganalisa watak, menyelesaikan konflik antara tugas dan cinta, menggumuli semua masalah penting dan masalah psikologis yang memonopoli teater kita masa kini ?

Untuk menekankan pendobrakannya dengan teater waktu itu Artaud menyarankan untuk meninggalkan gedung pertunjukan.

Pokok-pokok pikiran Artaud tentang teater, barangkali lebih tepat dinamakan teater ekstase dari pada teater kekejaman. Menurut Artaud segala sesuatu yang dia peroleh dari teater Bali adalah perasaan mencekam dan membangkitkan kemabukan sukma yang menggiring kita kepada hal yang paling dasar dari ekstase.

Pengaruh Artaud
Beberapa ide Artaud sebenarnya tidak orisinal. Ide-ide tersebut sebenarnya pernah dirintis oleh Appia, Meyerhold dan Reinhardt.
Visi Artaud tentang teater yang tidak hanya sekedar tontonan telah jauh abad diuraikan oleh Appia:
Bukankah lebih baik kita kontemplasikan sebuah kerja dari suatu hasil karya daripada menghidup hidupkan kembali kesenian ?

Kemudian Craig juga berkata bahwa Teater masa depan adalah teater Visi bukan teater kotbah atau teater epigram.

Gagasan Artaud untuk meninggalkan gedung pertunjukan sebenarnya mengikuti jejak Appia yang telah yakin bahwa seni drama tidak dapat tanpa merubah tempat di mana peristiwa kesenian itu akan terjadi. Gagasan Artaud lainnya yakni menghapus garis antara pemain dan penonton sudah dilakukan oleh Meyerhold dan Reinhardt. Meyerhold juga berulangkali mendemonstrasikan bahwa teater adalah sebuah karya kreatif bukan sekedar ilustrasi sebuah naskah dramatik.

Pada tahun 1924, Artaud menyajikan konsepnya yang pertama, L'evolution du decor yang intinya menekankan pentingnya menggarap Roh dan bukan hurup-hurup teks. Ia dengan tegas menolak teaterikalisasi teater dan mengembalikan teater kembali ke kehidupan.
Para desainer dan penyaji pertunjukan harus mencoba menembus sekat-sekat dan akhirnya mengungkap kehidupan rahasia drama agung dan kemudian menciptakannya kembali sebuah teater di mana orang datang tidak untuk menonton tetapi berpartisipasi aktip secara batin ke dalam pertunjukan.
Pada tahun 1926 dan 1927 saat bergabung dengan theatre Alfred Jarry, Artaud mencoba mengembangkan konsepnya.
Ia mengatakan bahwa pertunjukannya akan menyajikan duka mendalam dan keprihatinan terhadap kehidupan, dengan cara merangsang penonton benar-benar memahami duka dan keprihatinan itu bukan hanya dengan pikirannya tetapi dengan mengalaminya dalam kesadaran mereka dan juga raganya.

Mengutip tulisan Julian Beck :
......Mengapa Artaud menjerit ingin teater kekejaman : sebab Artaud ingin merongrong kita agar kita membuka lebar pintu yang menuju ke sorga berikut. Daerah satu-satunya di mana kita belum dipersenjatai lengkap adalah wilayah sakit fisik, walaupun kita sudah belajar untuk mati suci secara terhormat.
Manifesto Artaud tentang perasaan memanggil kita untuk melakukan penyerangan terhadap panca indera, untuk menciptakan keadaan sadistis di dalam teater dengan harapan pementasan-pementasan demikian akan dihayati oleh penonton sampai dalam dagingnya, dalam usus, dalam mata, di pinggang, di mana saja ia dapat merasa. Dan apabila ia mulai merasa sesuatu, pintu-pintu lain ke pusat perasaan itu akan terbuka. Penghinaan fisik ini oleh rasa sakit yang di alaminya dalam teater menyebabkan penonton fisik tidak dapat menahan lebih lama lagi penderitaan dunia di sekelilingnya…....


Minggu, 24 Agustus 2008

Free Workshop Music!

with Yonas Sestrakresna and friends

Monday, August 25, 2008
3pm till down
@ Seamens Club
Danau Tamblingan 27 Sanur Bali

Kamis, 21 Agustus 2008

Free Screening Movie!

bo Stan brakhage
(Eksperimental movie)
Nanook of the North
(Documentary movie)
by Robert J Flaherty

Saturday, August 22, 2008
@ Arti Foundation
Taman Budaya Bali
Jalan Nusa Indah Denpasar Bali
19.30 wita till down.

Rabu, 20 Agustus 2008

Catatan yang (tak) Terselesaikan

>>Soal Kebutuhan<<

"Saya yakin teater tradisi di Bali tak akan pernah punah," demikian saya katakan kepada teman saya pada suatu waktu di medio 2001. "Oleh sebab itu sebenarnya tidak perlu muncul kekhawatiran yang berlebih terhadap ancaman teater modern."

Wadaw..koq jadi serem begono?

Ini memang agak menyeramkan saat ngomongin "tradisi" dan "modern" dalam seni pertunjukan di Bali. Sepertinya dua hal tersebut adalah sesuatu yang saling (sangat) bertolak belakang dan tak (akan) pernah bisa bertemu. Tak mau bertegur sapa. Saling mengintip dan melirik.

Seringkali orang-orang di seni pertunjukan "modern" berkeluh dan bersungut-sungut di belakang punggung pemerintah dan masyarakat. Yang dikeluhkan apalagi kalau bukan masalah perhatian, porsi dan dukungan?

Ada hal yang membikin saya yakin dengan pendapat saya bila seni pertunjukan (teater) tradisi di Bali tak akan pernah punah. Apa itu?
"Seni pertunjukan (teater) tradisi mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan kebutuhan seniman"

Bahwa (menurut saya) seorang kreator memang semestinya mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan kebutuhan individu kreator tersebut.

Seni pertunjukan (teater) tradisi Bali tak bisa lepas dari kebutuhan masyarakat di dalam upacara-upacara keagamaan. Bagi kreator (seniman) sendiri, seni pertunjukan tersebut digunakan sebagai sarana pelepas kepenatan batin. Juga di masa kini, seni pertunjukan tersebut mampu menjawab kebutuhan materiil seniman.

Lantas?

Bagaimana dengan kreator (seniman) seni pertunjukan (teater) modern di Bali?



....



Catatan

>>Yang Terlipat<<

Saya menemukan catatan ini barusan.
Di kertas lusuh ini tertulis tanggal 10 September 2005 pukul 21.35 wib di Gedung Societit Jogjakarta.

TENTANG GERAK
Mengartikan kata atau kalimat atau huruf-huruf dengan bahasa tubuh tak sesederhana seperti yang kita kira. Meski sesungguhnya dalam keseharian kita lebih banyak "bergerak" daripada berkata-kata. Bahkan dalam "diam" pun atau tidur.
Barangkali, pesan memang akan lebih mudah disampaikan lewat bahasa tubuh. Pesan yang saya maksud di sini adalah pesan emosional yang universal.

TENTANG MATA
Mata tetaplah jendela hati seseorang. Dan aktor?
Seringkali kita kecolongan.
Mulut yang berbusa-busa menyemprotkan kata-kata, gerakan-gerakan atraktif yang melelahkan ataupun hal-hal remeh temeh yang dilakukan seorang aktor di atas panggung, tapi dimana mata itu?
: engkau menjadi robot linglung di atas panggung.

TENTANG CETAKAN
Bagaimana bila aktor dicetak sebagai boneka-boneka cantik sesuai dengan selera dan keinginan sutradara?
Lantas bagaimana dengan kadar emosionalnya? Lantas dimana kebebasan aktor untuk memerdekakan dirinya?
Bukankah semua orang berbeda kadar emosinya?

TENTANG KONTROL
Tetap saja seorang aktor semestinya mampu mengontrol semua tubuh dan batinnya di atas panggung. Tetap saja kesadaran adalah faktor yang utama.
Bila aktor semakin mampu mengontrol tubuh dan batinnya di atas panggung, maka semakin baguslah permainannya.

..




Jumat, 15 Agustus 2008

Tentang Kita di Sini

>> Kesetiaan kepada siapa? <<

Saat saya dan anda - yang kebetulan - sampai hari ini masih mengingat nama ''teater, drama, dunia panggung, bermainmain" di dalam otak, muncul pertanyaan: kesetiaan ini kepada siapa?

Saya sedang menjawab salah satu kebutuhan saya. Demikian pernyataan saya yang kemudian muncul. Apa itu? ya semacam menjawab kebutuhan batin saya. Sering saya berpikir, andai saya tak manggung, tak mbaca naskah, tak ngobrolin teater maka saya bisa tambah sakit jiwa.

Kata salah satu temen: itu terlalu berlebihan lah. Terus saya jawab: Kalo dibilang berlebihan ya silahkan. Biarin.

Saya belom bisa ngebayangin semisal saya terbelenggu rutinitas ke klinik hewan kepunyaan temen saya yang berasal dari Belgia. Pagi saya nyiapin obat-obatan, ngontrol anjing-anjing dan beberapa kucing yang opname di klinik tempat saya kerja. Baru selesai kontrol, kemudian beberapa pasien langganan saya sudah duduk di ruang tunggu. Mereka antri dengan manis.
Dua orang dari empat pasien saya yang datang itu tamu dari Jepang. Mereka sudah dua bulan ini rutin kontrol Chihuahua nya. Sepasang anjing imut itu sudah dianggap seperti anak sendiri. Sedangkan dua tamu yang lain warga lokal tetangga klinik ini. Rumahnya mungkin dua blok dari tempat saya kerja ini.

Hingga jam 12 saya masih sibuk pegang spuit, stetoskop, duradryl, amphetamin, de el el.

Istirahat bentar, saya balik lagi ngotak atik binatangbinatang luculucu tapi sakit. Sorenya kecapean. Pijetpijetan bentar sama istri saya yang dengan manis selalu menyambut kedatangan saya. Lalu bobo.
Begitu seterusnya.

Lalu, kepala saya tibatiba menjadi berat pada suatu malam. Badan saya pegelpegel.
Aduh. Sialan. saya kembali inget ama panggung.



Tapi, apakah itu juga menjawab pertanyaan tentang kebutuhan orang lain?


Sabtu, 26 Juli 2008

Ketika Jaya Prana – Layon Sari terjebak dimensi

>> Pentas “ Lakon di Layon ‘ memoriam of mantram’ “ Sanggar Poerbatjaraka <<

‘’ Oh Brahman yang agung, aku percaya atman yang dikirimkan kepada manusia akan kembali kepadamu bila atman sudah cukup murni, kemurnian itu aku melihatnya ada dalam diri Jaya Prana, karena itulah yang membuat hatiku sedikit tenang…

Maka malam ini aku haturkan sesaji agar harum bunga dan asap dupa menghantarkan jiwanya yang murni kepadamu,tapi hati ini tidaklah bisa dibohongi. Seandainya hati yang redup ini diberikan sedikit cahaya untuk membuka tabir dibalik semua ini maka aku akan melakukan perlawanan!” (Lakon di Layon : 2008 )

Demikianlah sepenggal dialog Layon Sari dalam Naskah ‘Lakon di Layon : Memoriam of Mantram’ karya Hendra Utay yang juga sekaligus menyutradarai penampilan Sanggar Poerbatjaraka dalam rangkaian Lesehan Budaya di Fakultas Sastra Universitas Udayana, Minggu ( 20/7)

----------------

SUDAH ribuan kali naskah Jaya Prana – Layon Sari , di obrak – abrik, di sadur, dan dipentaskan dalam panggung pertunjukan baik lokal, nasional maupun international. Lagi, sebuah naskah berdasarkan cerita rakyat Bali ini lahir. Hendra utay sebagai penulis naskah Lakon di Layon ‘memoriam of mantram’ ingin bereksperimen mengangkat cerita itu dengan sisi yang lebih humanis. Bagaimana pergulatan batin Layon menentang dewa atas takdir meninggalnya Jaya Prana sebagai wujud sang belahan hati. Jaya Prana dan Layon Sari terlempar ke dimensi lain, ratusan tahun kedepan yang menyebabkan konflik semakin rumit, unik dan terkadang menggelikan. Sejarah selalu berulang, tapi bagaimanakah nasib Layon Sari, sesosok wanita yang terombang – ambing oleh nafsu, kekuasan dan cinta? Utay mengawinkan naskah rakyat tersebut dengan wujud kekinian dengan isu-isu santer yang terjadi di masa sekarang, diantaranya pemilihan Gubernur Bali sampai kasus penyuapan akbar, Arthalita Suryani.

Siluet menampilkan sesosok tubuh di masa lalu, sosok Sawunggaling yang menerima titah Raja untuk membunuh Jaya Prana, di susul dialog inti sawunggaling dan layon sari yang merupakan cerminan kepatuhan pada raja yang menimbulkan konflik pada hati nurani. Layon Sari pun di tampilkan menghaturkan sesaji dan sesembahan atas prosesi meninggalnya jaya Prana

Adegan berikutnya di tampilkan dengan seting ratusan tahun ke depan. Berseting di sebuah rumah pejabat calon gurbernur bernama Jack beserta istrinya bernama Sari yang ternyata mendapat gangguan dengan kejiwaannya. Istri calon gubernur ini mendengar suara – suara aneh, mencium bau dupa, darah dan kerusuhan pun terjadi tatkala Layon Sari merasuki tubuhnya.

Layon Sari yang terjebak dalam tubuh Sari menimbulkan konflik tersendiri tak kala orang – orang di kehidupan sekarang bermunculan. Baik itu tokoh Wijil sang pengacara politik sekaligus tim sukses gubernur sampai tokoh pembunuh bayaran bernama Brewok yang mirip Sawunggaling di masa lalu.

Konflik semakin meruncing di saat dua kehidupan beda dimensi berbenturan. Wijil sang pengacara sekaligus tim sukses sang gubernur terjebak percakapan yang sangat tidak komunikatif dengan Jack yang juga telah terasuki atma Jaya Prana.

Penonton seperti di seret untuk menyelami cerita rakyat ratusan tahun silam. Tetapi dengan bentuk naskah yang segar membuat mereka tidak terlalu kesulitan mencerna bagaimana jalan cerita dan pesan yang ingin di sampaikan dalam pementasan.

Salah satu penonton, Eka Darmartha menyatakan bahwa pertunjukan lumayan komunikatif, segar dan penonton tidak perlu berkerut – kerut untuk menikmatinya. Ditambah saat kemunculan tokoh Wijil yang diperankan oleh Moch Satrio Welang tampil segar di awal kemunculannya. Pertengkarannya dengan Jack ( Eko Widiastomo ) terasa begitu hidup dengan dialog – dialog yang natural besutan Hendra Utay. Kebingungan dan kekalutan Layon Sari yang di perankan Novi Dwi Jayanti berhasil membuat aura pertunjukan menjadi kelabu,suram dan penuh luka terutama di saat Brewok ( Raditya Pandet ) ingin membunuh sang calon gubernur. Lagi tragedi itu berulang.

Kendala teknis pun dihadapi selama pertunjukan berlangsung, seperti permainan lampu yang terbata – bata, kesulitan teknis dengan siluet sistem bongkar pasang, vokal pemain yang masih harus di garap lagi. Dengan durasi kurang lebih satu jam, naskah yang disutradarai langsung oleh Hendra Utay ini dimainkan oleh Novi Dwi Jayanti, Moch Satrio Welang, Eko Widiastomo dan Raditya Pandet sebagai tampilan penutup Lesehan Budaya 2008 Fakultas Sastra Udayana.

Ni Wayan Meliana, selaku ketua panitia berharap bahwa pelaksanaan Lesehan Budaya oleh Sanggar Poerbatjaraka ini dapat membangkitkan tradisi tahunan Fakultas Sastra yang sempat vakum selama dua tahun. Lesehan Budaya kali ini menyuguhkan penampilan teater (Teater Topeng, Teater La Jose, Sanggar Poerbatjaraka) pembacaan puisi ( Moch Satrio Welang, Pranita Dewi dan Komunitas Sahaja ), pentas musik ( Remidy Band, KSDD, The friend band ), obrolan budaya ( Padepokan Seni Lintas Budaya) dan pameran keramik, lukis dan instalasi oleh mahasiswa ISI Denpasar. ( MSW, pelaku dan peminat teater )

Minggu, 15 Juni 2008

Ruang Gerak

>> Pentas Teater Arca Malang <<
Kontributor:
alcaf rifqi (alcaf_pof@yahoo.com)

Sebuah pementasan teater dengan latar belakang kemiskinan yang telah menjerat dan menyiksa bangsa indonesia dipentaskan oleh Teater ARCa Malang. Kemiskinan sudah bukan suatu hal yang asing ada di bangsa ini bahkan miskin telah dibudayakan dengan kata lain bahwa terjadinya kemiskinan karena tidak adanya keseimbangan-keseimbangan unsur-unsur yang ada dalam negara ini.
Tidak adanya keseimbangan tersebut membuat sang objek melakukan hal-hal yang berujung pada "Bagaimana aku bisa hidup untuk esok hari". meskipun tindakan itu nantinya membuat sang objek menjadi subjek dan membuat objek baru yang nasibnya lebih menderita dari objek pertama.

Trafficking, adalah arah pada pementasan kali ini dimana trafficking merupakan salah satu dari sebab-sebab kemiskinan di negara ini. Dan kemiskinan yang berakibat pada trafficking apakah sudah menjadi solusi yang salah ataukah benar kalau kita lihat dari kacamata "turun-temurunnya" kemiskinan yang ada.

Pentas kali ini diselenggarakan oleh teater ARCa Malang bekerjasama dengan teater purbatjaraka fakultas sastra Universitas Udayana Bali yang bertempat di aula parkir fakultas sastra Universitas udayana pada tanggal 15 juni 2008 jam 19.00 WITA

Senin, 26 Mei 2008

[hOt] News

>> Peluncuran Film<<


Film yang berjudul "Saatnya Siap Siaga" akan diluncurkan pada kamis (29/5) mendatang pukul 19.00 di Wantilan Taman Budaya Bali.

Film ini merupakan produksi Yayasan IDEP dan dibintangi oleh warga Banjar Buungan Desa Tiga Kabupaten Bangli serta Kelompok Teater Satu Kosong Delapan. Saatnya Siap Siaga diproduksi dalam rangka meningkatkan pengetahuan, motivasi dan kemampuan masyarakat dalam kesiap siagaan bencana berbasis masyarakat.

Selain acara pemutaran film juga akan ada musikalisasi puisi oleh Teater La Jose dan pembacaan puisi oleh Eka Pranita Dewi.

Acara ini terbuka untuk umum dan tak dipungut biaya.


Semangat!



Selasa, 20 Mei 2008

Parade Teater Remaja se Denpasar

Arti Foundation bekerjasama dengan Kelompok Satu Kosong Delapan
Mengadakan Parade Teater Remaja se Denpasar
Terbuka untuk grup teater SMA/SMK se Denpasar
Disediakan dana hibah produksi

Pelaksanaan kegiatan tanggal 20-24 Juni 2008
Bertempat di Open Stage Puputan Badung



Minggu, 27 April 2008

Negeri Perempuan

>> Pentas Teater Topeng SMAN 2 Denpasar <<

Masih dalam suasana hangat peringatan hari Kartini, Teater Topeng SMAN 2 Denpasar mengadakan pentas tunggal drama berjudul "Negeri Perempuan".
Bertempat di Open Stage RRI Denpasar Jalan Hayam Wuruk Denpasar pada Sabtu (26/4) pukul 8 malam, drama yang disutradarai Sukmawati ini mendapat sambutan yang hangat dari penonton.

Negeri Perempuan berkisah tentang sebuah negeri yang didominasi oleh kekuasaan laki-laki. Selama bertahun-tahun laki-laki berkuasa, perempuan selalu ditekan dan ditindas. Di negeri tersebut hanya ada satu perempuan yang dianggap berani terhadap laki-laki yakni seorang pelacur. Pelacur tersebut hampir setiap hari mendapat surat yang berisi keluhan dari perempuan. Pada suatu ketika pelacur tersebut membunuh seorang Pak Pos. Keberanian pelacur membunuh laki-laki (Pak Pos) memberi inspirasi bagi para perempuan di negeri tersebut untuk mogok hingga kemudian terjadi suasana chaos yakni pemberontakan dan pembunuhan terhadap raja laki-laki.
Setelah terbunuhnya raja laki-laki, pemerintahan selanjutnya berganti dengan pemerintahan perempuan. Suasana berbalik 180 derajat. Para perempuan yang dulunya tertindas berganti menindas laki-laki. Dan toh, setelah perempuan berkuasa keadaan tidak menjadi lebih baik.

Naskah karya Sonia P. ini adalah salah satu naskah terbaik lomba penulisan naskah perempuan yang digagas Kelompok Tulus Ngayah pada tahun 2005.

Negeri Perempuan garapan Sukmawati ini dimainkan oleh belasan pemain yang masih berusia sangat muda. Kebanyakan pemain adalah kelas 1 SMA.
Bermain di open stage, tanpa bantuan mikrophon/pengeras suara tentu adalah tantangan yang cukup berat bagi para pemain.

Namun, toh permainan Teater Topeng - yang memang mempunyai ciri khas dalam penyajian yakni selalu segar - mampu menahan para penonton untuk tetap diam ditempat hingga akhir pementasan yang berlanjut dengan diskusi.

Selamat!





Selasa, 15 April 2008

Breaking News

>>Hot Hot Hot<<<

Riki Dhamparan Putra akan berbincang tentang sastra Indonesia terkini. KAPAN?
Tanggal 19 April 2008 jam 19.00 wita di Danes Art Veranda Denpasar!

Rencananya penyair muda Bali ini akan berbincang saat acara Launching buku puisi "PULANG KAMPUNG" karya dr Sthira Prana Duarsa.

Buku PULANG KAMPUNG ini merupakan buku kumpulan puisi kedua karya dr Sthira Praca Duarsa. Woow.. hebat juga dokter satu ini yang juga penyair..

Jadi, buat anda yang pas tanggal itu lagi ada di Bali, luanglah waktu untuk berkunjung ke Danes Art Veranda di Jalan Hayam Wuruk Denpasar.

Acara Launching buku ini selain diisi diskusi bersama Riki Dhamparan Putra juga akan diramaikan dengan musikalisasi oleh Komunitas Barak Denpasar.


Makin Rapat!







Selasa, 18 Maret 2008

>> Yang Muda yang Menggigit <<

Buat kamu yang besok ga ada acara n kebetulan lagi tinggal di Bali, bisa nyempetin diri untuk manggang ikan di Danes Art Veranda Jl Hayam Wurk Denpasar jam 7 malem teeng!

Gitu kata Eka" makcong" pimpinan Teater Topeng SMAN 2 Denpasar. Kata beliau, acara keakraban ini diadakan sebagai wadah (xexexe kayak ember ajah) menjalin komunikasi antar teater SMA se Denpasar.

Biar tambah akrab, kata Makcong. Ehm syukur juga bisa dapet cinlok!

Ga cuma manggang ikan, besok malem juga akan ada acara Musikalisasi puisi, baca puisi n monolog juga spontanitas dari teater-teater SMA se- Denpasar!

ayo ayo ayo
keburu ujan!


WooOW

Kamis, 13 Maret 2008

>> Ke Kiri Jalan Terus <<


Senin, 10 Maret 2008





April mendekat

Mei merapat






Selasa, 04 Maret 2008

Teater - PSR - Tempe

>> Catatan Lomba Drama Modern Sekolah 2008 <<

Oleh: dwitra_ariana@yahoo.com


Seorang kawan SMA mengeluh pada saya lewat sms, “Cabang drama modern dalam PSR tahun ini akan dihapuskan, mereka (panitia) sungguh tidak menghargai kreatifitas!”. Begitulah kira-kira inti dari sms-nya. Mereka merasa sangat tidak dihargai berteater karena satu-satunya ajang untuk mengevaluasi hasil proses teater sekolah di Denpasar ditiadakan. PSR yang sudah selama dua dekade digelar memang selalu menampilkan nomor drama modern yang mana selama itu telah dijadikan semacam ukuran kasat mata dalam menilai proses teater sekolah. Meraih juara dalam ajang tersebut mereka anggap sebuah keberhasilan proses mereka.

Saya yang juga pernah mengalami proses berteater sekolah sungguh memahami kondisi yang dialami kawan-kawan teater sekolah. PSR bagi saya adalah pencapaian proses selama satu tahun setelah PSR sebelumnya berakhir. Walaupun ada beberapa ajang lomba sastra yang lain namun drama modern, yang hanya dilombakan saat teater, masih tetap menjadi ajang yang paling bergengsi. Semua teater sekolah mendambakan meraih prestasi tertinggi di ajang tersebut.

Sekali lagi saya sangat paham dengan kondisi tersebut, namun untuk mengobarkan kembali semangat mereka, saya balas dengan: El, kalau kreatifitasmu hanya sebatas PSR lebih baik kamu membeli kedelai lalu olah menjadi tempe kemudian dijual ke pasar atau olah lagi menjadi gorengan untuk dijual.”

Barangkali dia masih bingung dengan apa yang saya maksud. Pesan saya sangat sederhana sebenarnya. Ada pencapaian yang jauh lebih tinggi dari sekedar menjadi juara dalam sebuah lomba, yakni untuk pengembangan diri dimana dalam teater kita belajar hidup atau paling tidak menyiapkan hidup! Bukan semata-mata mengharapkan penghargaan dari orang lain sebagai imbalan proses kita. Sangat sederhana sekali, jauh lebih sederhana dari proses membuat tempe, tak perlu khawatir siapa yang akan membeli atau mampukah kita membeli bahan baku lagi, kedelai mahal sekarang, harus import dari Amerika!
Maaf saya suka ngelantur…

Jika juara adalah pencapaian maka artinya kita lebih mementingkan eksistensi daripada esensi dalam berteater, agak filosofis memang.
Namun bukan berarti saya seorang yang anti eksistensialisme, eksistensi memang penting untuk membangkitkan semangat dalam mengejar esensi. Nanti kita akan bahas hal ini lebih mendalam, maaf, saya ngelantur lagi...

Jadi pada kesimpulannya, bagi saya apapun yang kita lakoni yang terpenting adalah proses. Jika hasil yang kita dapat bukan dari sebuah proses yang mana diri kita terlibat maka bisa dikatakan itu adalah hasil yang semu, tak beresensi!

Saya jadi teringat kalimat Max Havelaar (Multatuli) ketika memimpin sebuah rapat dengan sejumlah pemimpin Lebak: “Petani-petani begitu gembira bukan karena mereka sedang memanen padi tetapi karena mereka memanen padi yang mereka tanam.”



Jeruk Mancingan - Bangli, 240208
*Dwitra "Dadap" Ariana
Videomaker dan Aktifis teater, bergiat di Sanggar Barak. Sewaktu SMA bergiat di Teater Angin SMA 1 Denpasar. Berharap menjadi Max Havelaar pada suatu saat kelak.


Romantisme Sastra Universitas Udayana

>> Siapa yang akan Lupa?

oleh: jay.geeps@gmail.com


Sastra dalam banyak hal jauh lebih maju dari fakultas - fakultas lainnya di Udayana, sebuah akulturasi dan singkrentisme budaya yang sangat dinamis. Diskriminasi dan etnisitas jelas masih ada, namun menjadi minoritas yang terpenjara oleh kemerdekaan berpikir manusia - manusianya.

Peran senior seperti Wayan Juniartha, Roberto Hutabarat hingga dosen nyentrik Degung canti Karma, serta yang lainnya, telah mendorong terbukanya ruang expresi yang lebih bebas. Anak - anak sastra adalah pengusung kebebasan intelektual yang liberal, hingga mampu mendorong gagasan demokrasi politik yang lebih maju, mereka yang pertama kali memilih ketua senat mahasiswanya secara langsung dan terbuka.

Sastra seperti sebuah republik kecil diambang kemerdekaannya, perkuliahan formal mungkin terasa masih sangat membosankan seperti kampus - kampus orde baru lainnya, tapi warna kebebasan berexpresi tidak mampu dikalahkan oleh system pendidikan orba yang anti kritik.

Terbayang bagaimana seorang Slamet dengan dengan wajahnya yang sangat tradisional, memakai sarung mengikuti perkuliahan, Oktav yang bangga dengan tindikan di alis dan tattoo di kakinya, Tiwi yang tanggannya penuh gelang dan piercingnya, Bowo, Pepeng dan Yudi yang jarang mandi atau Adolf Tapilatu yang yakin bahwa Yesus akan turun membersihkan rambutnya.

Kehidupan di republik Nias yang sesungguhnya baru dimulai ketika siang mulai terkontaminasi temaran warna - warna senja.. Cewek - cewek modis berkerumun dipojokan pintu masuk dekat patung Saraswati (kalo ga salah), berdebat asik tentang diskriminasi gender sambil sesekali mengisap rokok ringan yang tidak pernah lepas dari jari tangan, Perempuan - perempuan sastra adalah kelompok pertama yang telah berdebat jauh tentang Gender dan persamaan hak kaum perempuan. Segerombolan anak - anak sastra lainnya berkumpul di warung Bu Dayu, yang telah lama menjadi media antara kawan - kawan hukum yang prakmatis dengan republik Nias yang dinamis. . . .

Sudut - sudut dan Lorong kampus tua yang diresmikan oleh Bung Karno dan menjadi cikal - bikal Udayana ini, terasa sangat hidup, Aura revolusi yang dulu pernah mewarna serasa begitu membekas, lukisan tua wajah para mantan dekan menambah spritualitas dari sebuah romantisme pemberontakan!

KARENA KEMERDEKAAN ADALAH SEBUAH PERLAWANAN!!!

Ketika gelap mendominasi. . . dan matahari tergantikan oleh temaran lampu 40 watt, suasana semakin semarak, kelompok - kelompok yang ketika sore terpencar, kini telah merapat dan membentuk sebuah lingkaran besar, sebuah panggung disiapkan di tengahnya, semua yang ingin berteriak menumpahkan hasrat dan amarah atau sekedar beronani ria, bebas melakukannya. . .

Puisi - puisi kritis meluncur dari bibir sastrawan Nias yang merdeka, dengan lugas Jengki menuturkan sebuah romance yang berujung pada sebuah pemberontakan tragis. . . kemudian di tutup dengan . . . "perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. . .
Sambil bergulir, Pepeng sibuk menawarkan welcome drink arak Bali yang keras dan menggoda kepada semua yang baru tiba. . . dan saya sangat menikmatinya. . .

Perlahan, petikan gitar Saichu mengalun mengiringi lagu romantis yang begitu memikat gadis - gadis Jepang nan lugu. . mereka tersihir oleh kemampuannya menggabungkan Bob marley dengan Rhoma Irama, sambil bergaya seperti kaka dan bimbim. . .

Pelan tapi pasti, ketika gelas - gelas arak telah mengering, dan tergantikan dinginnya Es teh manis, lintingan ganja kering serta merta menemani setiap debat dan diskusi. Filsafat Hegel, Nietze, teori - teori perlawanan hingga perbincangan tentang Tuhan meluncur dari bibir - bibir idealis sambil menarik dalam setiap hisapan . . . (sekali lagi saya sangat menikmatinya). Malam ini Kita setting aksi . . . . karena besok kita akan turun untuk berdemonstrasi. .

Sex, arak dan lintingan ganja adalah sebuah pemberontakan!

O. . . Bukankah kita semua hanyalah seorang pendosa? So what!!
Apakah mereka yang memakai peci adalah Ulama?
Apakah mereka yang memegang salib adalah Pendeta?
kalian mungkin tidak percaya bahwa setiap nabi yang lahir adalah pemimpin pemberontakan?

Bagi saya ini bukan persoalan identitas biasa, tapi saya jatuh cinta pada rumput tetangga. .
Sastra begitu berwarna, akankah ini hanya menjadi sebuah romantisme?
Seandainya suatu saat saya kembali, sastra mungkin masih ada, sastra mungkin telah mati. . .
Tapi saya tetap kembali, meski hanya untuk sebuah romantisme basi. . .


*Denpasar, Mei 1998

Arie "Gepeng"
Mahasiswa Fakultas Hukum yang biasa saja.


DEKADE BERLALU

oleh: jay.geeps@gmail.com

Untuk semua kawan – kawan yang dulu mengenakan ikat kepala dan mengangkat tinju kirinya, untuk kawan – kawan yang meninggalkan rumah dan bangku kuliah demi perlawanan dan keyakinan, untuk kawan – kawan yang terluka, tertembak, cacat dan gugur menjadi martir perubahan, dan untuk semua kawan – kawan yang masih bertahan dengan semangat dan keyakinan untuk menang!

Lampau adalah ruang yang telah terlewati..
Hari ini adalah sebuah penciptaan untuk masa depan..
Dan esok adalah harapan untuk kemenangan..

Dekade telah berlalu, namun deru panser – panser angkuh, water canon, suara kokang SS1, desingan peluru, bau gas airmata, dan bercak darah di aspal masih tergambar membekas..

Dekade telah berlalu, mereka bilang trisakti dan semanggi bukan pelanggaran..
Dekade telah berlalu, tidak satupun jenderal diadili..
Dekade telah berlalu, kemiskinan tetap menjadi hantu..
Dekade telah berlalu, empat presiden tanpa perubahan yang baru..
Dekade telah berlalu, harga pupuk masih mahal dan petani masih seperti dulu..
Dekade telah berlalu, buruh garmen masih belum mampu beli baju..
Dekade telah berlalu, ibu belum mampu beli susu..
Dekade telah berlalu, inikah perubahan yang dulu kita inginkan? Sang raja boleh dijatuhkan
tapi regime tidak pernah tumbang kawan!


Dekade telah berlalu, berkumpul, berpencar dan terpencar, kami masih dijalur yang lama..
Dekade telah berlalu, kawan datang dan pergi, namun perlawanan tidak akan pernah terhenti..
Dekade telah berlalu, jahitan luka di kepala menjadi tanda yang tak terlupa..

Dekade telah berlalu, apa sebenarnya yang kita perjuangkan kawan?
Dekade telah berlalu, inikah realitasnya? karena si buyung harus diberi makan dan disekolahkan..

Dekade telah berlalu, ”this is one way mission without no way return”
Dekade telah berlalu, kawan... kawan ... Apakah kita masih bersama?... kawan...
Kawan... sampai kapan?... sampai kapan kawan?...

Dekade telah berlalu,
kata Rendra, perjuangan adalah pelaksanaan kata – kata..





Dari seorang kawan yang biasa – biasa saja..
Arie ”Gepeng” Mirdjaja ak Jay geeps



Minggu, 24 Februari 2008

Perlukah Lomba Teater?

>> Sebuah Catatan yang tak Pernah Selesai <<


Rabu, 20 Februari 2008

Bali yang Binal

>> Keresahan Yang Merasa Muda atau ? <<

Saya mendapat sebuah pesan pendek di telepon genggam. Begini yang terlihat:

11.02.08 14:07
+62817472xxxx

pameran "Bali yang Binal #2 (studio works)" by; komunitas pojok, tgl 12-18 feb 2008, art centre dps. Lukisan, instalasi, video art, teater, sastra, musik

Waaah..temen-temen pelukis muda Denpasar bikin heboh lagi...

Saya sudah membayangkan acara yang digagas komunitas pojok ini pasti "urakan abis!". Sama seperti acara-acara yang pernah mereka lakukan. Saya sudah membayangkan Wayan Dania, Wiz, Alit juga Yonas akan pindah tempat tidur ke Taman Budaya Bali.

Itu sudah pasti! Sebab mereka katanya mau "studio works" di tempat pameran.

Jadi benda-benda yang dipamerkan benar-benar "fresh from the oven" - segar langsung dibikin hari itu dan langsung dipamerkan!

Katanya ada juga pemutaran video art (kayaknya punya Yonas) trus baca puisi penyair perempuan (nah yang ini ngengaet Eka Pranita Dewi yang cute itu) pentas musik (ini kumpulannya anak-anak underground Denpasar ples, Dion n Wukir) juga ada performing art (yang maen ada Dedi Dolrased, Alit Satura, Ari Pojok trus Yos jadi ngga ya?)

Saya dijadwalin performing art juga. Tapi kok tubuh saya minggu-minggu belakangan ini naek turun suhunya ya?
Saya ga jadi maen. Saya demam. Tapi saya ada oleh-oleh buat anda.


* ni lukisannya Alit Satura


* ni yang dibawah, lukisannya Wayan Dania







* Model oleh saya hehehe





Selasa, 19 Februari 2008

Ya!

>> Waktu Tak Pernah Khianat <<



Suatu waktu saya berkaca.
Dan saya berkacakaca.

Apa yang telah kau perbuat, nak?






Pesan layanan ini sekedar sebagai pengingat.





Senin, 18 Februari 2008



Selamat

atas dilantiknya anggota baru
Teater La Jose
SMAK Santo Joseph Denpasar

pada hari Minggu, 17 Februari 2008
Semoga terus berkarya dan makin kreatif!!
Dahsyat!





Minggu, 10 Februari 2008

KEBERANIAN MELAWAN

>> Tulisan oleh Dadi Reza Pudjadi <<
email: dadireza@yahoo.com


Pemberian Tahu

Bukan maksudku mau berbagi nasib,
Nasib adalah kesunyian masing-masing
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
Sebentar kita sudah dalam sepi terjaring.
(Chairil Anwar)


Kita boleh prihatin dengan lesunya kehidupan proses berteater kita. Sedikit-banyak sebagian dari kita tentu tahu apa sebabnya. Tapi biarkanlah. Sebagai manusia mereka memang bebas memililih atau menentukan apa yang akan mereka lakukan. Yang masih mau terus berteater, juga terus saja.
Tak baiklah kita terus berkeluh-kesah dengan kondisi yang menimpa. Selama rasa diri dalam hidup masih berguna, masih punya daya. Bosan juga terus-terusan mendengar keluh-kesah betapa hidup jadi susah dan terasa berat karena berteater. Atau melihat tulisan-tulisan yang melulu berisi keluhan. Walau bisa jadi maksudnya bukan seperti itu, bukan ”mengeluh”, tetapi bentuk keprihatinan karena, melihat teman-teman yang bergelut di dunia teater kelihatan menderita sebab mungkin sudah bersusah-susah latihan, mengorbankan perasaan, waktu yang lama dan biaya, tapi ketika pentas penonton sepi (penonton dia-dia juga), atau kelihatan kostum pemain apa adanya, set selalu terpaksa diminimalis (latar belakang selalu layar putih yang sudah hampir coklat karena jarang dicuci dan beberapa lobang bekas abu rokok), tidak punya dana karena sponsor menolak memberi dana. Itu bukan alasan untuk mengeluh. Itu justru nikmatnya sebuah pelajaran. Justru hal itu menjadi dorongan/motivasi dari sebuah tantangan besar dalam dunia yang sedang kita geluti. Kita tahu berapa besar resikonya. Toh, penderitaan ini bukan karena kekonyolan. Banyak hal yang sebaiknya patut disyukuri dari pergumulan ini. Kita sedang berjuang kembali pada masyarakat. Biarlah kita menjadi napi dalam penjara sendiri. Sebab kebebasan kita nanti adalah kebebasan masyarakat banyak. Sebab itu jangan salahkan siapa-siapa atas kondisi itu. Salahkan rasa memprihatikan diri dan buruk sangka pada niat tulus kita. Lalu benarkan bahwa kita memang memilih teater sebagai aktivitas kehidupan, benarkan bahwa kita masih harus terus banyak belajar, benarkan bahwa kita ada dan meyakininya. Benarkan bahwa kita punya sesuatu kebanggan. Yaitu keberanian untuk melawan! Akting kita begitu sekarang.

Akting
Untuk menjadi aktor ternyata bukan hanya sekedar seberapa paham kita mengenal panggung, mendalami akting, menafsirkan cerita atau menghargai adanya penonton sebagai partner. Seni keaktoran bisa jadi seperti perang yang tak pernah habis melawan hal-hal negatif dalam diri kita, seni menyiasati kebodohan, rasa malas, kurang dapat mengatur waktu, rasa angkuh atau bisa juga perasaan kerdil dan rasa rendah diri dan sebagainya. Karena sejatinya ketika di pentas, sang aktor bukan sekedar sedang memunculkan kharakter/tokoh orang lain, tapi sedang mementaskan dirinya sendiri dan berusaha melebur dengan diri orang lain (lawan main), dengan segala kelebihan dan kekurangan dalam dirinya. Itu semua muncul dari sejauh mana proses yang sudah dijalani. Dari pengendapan/kristalisasi perasaan, pemikiran, dan semua kekuatan yang total saat proses berlangsung. Actor yang baik bisa jadi adalah pencipta dan pengatur alam dalam dirinya sehingga menjadi kekuatan yang dapat diresap dan menciptakan determinasi bagi dirinya dan orang lain. Hasil yang didapat berawal dari actor sebagai pemberi informasi dominan tentang kejadian yang akan berlangsung. Mampukah para actor mengkomunikasikan cerita pengarang yang ditafsirkannya kembali kepada masyarakat. Mempresentasikan gerak badan-gerak bathin dan pemikirannya tentang respon dirinya terhadap situasi alam dalam dirinya yang berbenturan dengan alam kehidupan lain. Perbenturan dua alam inilah yang memunculkan acting. Memunculkan keindahan murni dalam sebuah kesenian jika sang actor berhasil memahami fungsi dirinya sebagai seorang pencipta. Bertransformasi menjadi. Menjadi apa saja. Perasaan lega dan lapang muncul dari perasaan saling yakin. Kepuasan manusia berada di saat mereka berada di puncak rasa yakin.


INGATAN EMOSI
Setiap manusia mempunyai kenangan. Suatu peristiwa yang tersimpan disebabkan rasa sentuh yang dalam pada hati dan pikiran yang suatu ketika akan kita hadirkan pada moment-moment tertentu. Kenangan kadang seperti madu dari kepahitan pengalaman baru untuk penawar ragu-ragu/rasa tak percaya diri. Atau buku yang pernah kita tulis lalu kita baca bersama dalam suasana pertemuan. Kenangan adalah simpul rasa. Rasa pahit atau manis dari perjalanan hidup manusia. Manusia tetap mempunyai kenangan meski berusaha membuangnya. Otak manusia adalah alat perekam yang berukuran tak terhingga untuk menyimpan segala. Pengalaman seluruh indra direkamnya secara otomatis. Di dalam kenangan ada ingatan. Ingatan adalah sub-sub dari kenangan. Seperti potongan-potongan gambar di pita film. Atau bingkai-bingkai photo di sebuah kamar. Kenangan ibarat sebuah atom, dan ingatan seperti proton dan elektron.
Emosi terdiri dari beberapa macam. Bisa berupa: marah, sedih, gembira, terkejut, menolak, melecehkan, takut, berani, dan kosong tanpa emosi dan sebagainya. Unsur-unsur ini sedikit-banyak pernah dialami semua manusia. Ingatan emosi inilah yang dihadirkan kembali ketika eksekusi terjadi. Ingatan emosi ini akan muncul semurni seperti bagaimana dahulu kita merasakan. Jujur tanpa kepura-puraan. Seadanya tanpa dilebih-lebihkan.

OBSERVASI
1. KEBENARAN UMUM

Berbagai macam peristiwa terjadi di sekitar kita. Dan actor adalah perekam dan pencatat juga merekomendasikan kepada masyarakat nilai yang ia simpulkan. Kejadian dan aksi-reaksi dari peristiwa itu adalah pengulangan harmoni dari lagu kehidupan. Aksi dan reaksi dari hasrat/keinginan manusia dan faktor penghalang. Aktor adalah pengamat kehidupan. Mengenal dan memahami konflik dan ketenangan. Histeria juga keheningan. Walau ia bisa memutuskan, tapi ia bukan hakim yang memvonis. Ia melihat dari segala sudut pandang. Meneliti sejarah dan mempelajari proses pembentukan ”menjadi” setiap masalah. Selanjutnya aktor akan merekontruksi ulang segala karakter/tokoh dalam kejadian sebagai sebuah karya/penciptaan. Hasil pengamatannya adalah pelajaran untuk semua bagian. ia seperti pengembara yang menangkup air lautan dengan kedua telapak tangannya. Jelas di kedua telapak tangannya tak ada ombak atau badai. Yang ia lihat adalah riak kecil yang perlahan menjadi tenang kembali. Air laut itu seolah matang di telapak tangan kita. Aktor mengambil nilai dari ombak dan badai. Aktor memahami inti dari riuh-riak histeria dan keheningan samudera kehidupan. Dari pengamatan dan memahami kebenaran umum aktor akan beranjak ke tingkatan yang lain. Yaitu tingkatan kebenaran karya.


2. KEBENARAN KARYA
Akting adalah keindahan karena lahir dari penciptaan. Ia bisa begitu kuat namun juga bisa begitu lentur. Ia perpaduan dari kekuatan dan kelenturan itu. Emosi bukan lagi histeria, namun ketenangan yang total. Segala tingkah laku adalah keintiman, dan suara yang terdengar mampu menghidupkan segala perasaan. Perjuangan aktor dalam memandang, mengenal, mendekati, menilai aksi kehidupan akan diterapkan dalam sebuah dunia kehidupan lain yang bernama panggung/pentas. Dunia panggung/pentas adalah dunia milik bersama yang di dalamnya dipenuhi nilai-nilai keyakinan dan kepuasan bersama. Aktor mementaskan dirinya berkat inti pengalamannya dalam kehidupan. Ia sebagai salah satu yang hidup dari segala yang mati. Aktor menjadi mutiara yang dari kerlapan cahayanya berkerjapan nilai-nilai kehidupan. Keindahan Aktor adalah sungguhan. Bukan keindahan imitasi. Ia daya ungkap dari moralitas dan publikasi hidup manusia. Setiap aktor adalah peran utama dari pentasnya.

..Bersambung....

Jakarta, Februari 2008

Dadi Reza Pujiadi

* Sekarang masih bergiat di Teater Populer Jakarta, sempat singgah di Bali dari tahun 2003 hingga 2007 dan membina teater La Jose SMAK Santo Josep Denpasar. Mendirikan Teater LAH Denpasar pada tahun 2005.

Selasa, 05 Februari 2008

Kenapa telat update?

>> weew <<

Pembaca yang budiman,
Maapkan kami bila ada ketelatan up date...
why?

begini..
akhir bulan Januari kemarin, kami - personel kelompok 108 (satu kosong delapan) - terlibat pembuatan film tentang penanggulangan bencana. Film ini disutradarai oleh Ian White (Australia) dan digagas oleh Yayasan IDEP. Total syuting di Bangli tepatnya banjar Buungan!

Syutingnya mah cuman dua hari, tapi pra produksina..wew bolak balik Denpasar-Bangli satu mingguan lebih!

xexexe jadi artis neh yaaaa...

Yap! nantikan ajah filmna di kota tempat tinggalmu!

terus apa lagi?

Kami sekarang sedang nyiapin kolaborasi dengan Yonas Sestrakresna (Videomaker), sejumlah musisi dari Belanda serta artis dari Polandia untuk mentasin part V Waktu antara Kau dan Aku yakni Synthetic Age!

Weeew

Terus tanya dong kapan latiannya?

Iyah..kapan latiannya? dimana?

Latiannya tiap hari minggu di Art Centre!


>>>>>>>>
Mencari kemungkinan!


Selasa, 15 Januari 2008

PAMFLET ONLINE


Acara Peluncuran dan Bedah buku, “Budaya Kepintaran Sampai Budaya Kekerasan Pikiran” Karya IBM. Dharma Palguna, yang akan di selenggarakan,

Tempat Taman 65, jl.WR. Supratman 193, Kesiman - Denpasar.
Pada hari Sabtu,
Tanggal, 19 Januari 2008,
pukul 18.00 wita.

Sebagai pembedah buku, menghadirkan Chusmeru, Ngurah Karyadi, Wayan Juniartha [the Jakarta Post], IBM. Dharma Palguna selaku penanggungjawab naskah, dan di moderatori oleh Heru Gutomo.

Acara ini juga akan dimeriahkan dengan performance art dari Saudara Giri Ratomo, salah satu pentolan dari teater 108, dan performance art Audio visual dari Yonas sestraKresna [video maker] punggawa dari KSDD. Kami nanti kehadiran dan partisipasi anda.


untuk informasi kontak
bunyirantau@yahoo.com



Senin, 14 Januari 2008

Teater Realis?

>> Mengenang kembali <<

Beberapa kliping koran tentang pentas Death of a Salesman oleh Satu Kosong Delapan tahun 2004, sebelum pentas di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Bila kemudian Satu Kosong Delapan tak lagi menekuni teater realis, kenapa?






Teater, mencari kemungkinan-kemungkinan!


Rabu, 09 Januari 2008

Coba Aja..

>> Kenapa tidak <<

Bila suatu waktu anda punya waktu luang, sempatkanlah lewat di depan Kamasutra Pantai Kuta.
Saat sore tiba, sambil menikmati sunset di pantai Kuta nikmati juga suguhan Klub Pantomime yang lagi menggerak-gerakan tubuh.
S
iapa tahu anda juga tertarik untuk ikut terlibat bermain atau sekedar nemenin nongkrong sambil berbagi jajan atau minuman.

Salam

Klub Pantomime Satu Kosong Delapan



Mesti di Coba!

Selasa, 08 Januari 2008

Apa yang menarik dengan konsep 5 menit (B1)

>> Semacam Penjelasan <<

Catatan dari bunyirantau@yahoo.com


Mengapa Motor dan SMS akan efisien?
Memahami karakter penonton pertunjukkan di Indonesia.
Indonesia memang terlahir sebagai negara yang tidak punya kedisiplinan waktu, terutama penjadwalan acara dan managemen waktunya. Tidak heran jika istilah "jam karet" begitu lekat di benak kita. Waktu menjadi masalah yang begitu dominan bagi sebagian besar aktivitas di Indonesia.

Kebiasaan tersebut akan berpengaruh pada molornya acara. Jelas hal itu akan mempengaruhi suasana hati orang yang terlibat dalam acara tersebut. Tidak hanya pemain, para penonton pun akan terganggu dengan keterlambatan itu. Hal yang lama-kelamaan menjadi kebiasaan dan kemudian dimaklumi dengan wajar begitu saja. Saya pikir hal itu adalah sebuah masalah di setiap Negara Berkembang, dan Indonesia adalah salah satunya.
Jangan salah jika hal itu berkaitan dengan kemacetan yang sering terjadi di Indonesia. Jangankan kota besar seperti Jakarta, kota sekelas Jombang ada pernah mengamali hal tersebut. Logikanya seperti ini, orang menganggap berangkat jam 7 pagi masih terlalu pagi karena di kantor harus jam 8.30. Santai sebentar, minum kopi lalu berangkat jam tujuh lewat meski yakin bakal mepet. Asumsi bahwa lebih baik nunggu di rumah ketimbang datang lebih awal di kantor adalah hal yang biasa.

Jika semua orang berikir berangkat jam 7 lewat, jalan akan pernuh di jam yang sama.
Hal itu kan menjadi kendala ketika semua orang dalam keadaan terburu-buru dan kemudian sekenanya/semaunya dalam berkendara. Jelas orang-orang tidak akan perduli meski dia melanggar rambu-rambu lalu lintas. Keadaan jalan semakin kacau dan sudah pasti, telat adalah hasil dari kejadian tersebut.
Kembali masalah yang sering terjadi di Negara Berkembang, yakni masalah waktu. Kebisaan untuk tidak menjadwalkan diri berakibat pula pada melonjaknya harga penjualan HP dan voucer isi ulangnya.
Kenapa bisa begitu?
Bagi setiap orang, komunikasi adalah hal yang penting, dan janji (jadwal acara) adalah bagian dari komunikasi itu sendiri. Masalahnya, ketika seseorang tidak lagi memperhatikan jadwal pribadi, apalagi pada jadwal milik orang lain. Di sana SMS muncul sebagai pengingat yang paling sempurna. Dan orang akan sangat rela untuk membuang beberapa SMS hanya sebagai mesin pengingat, meski pada sebuah acara yang kurang penting sekalipun.
Sekali lagi SMS begitu ekfektif, bahkan melebihi Pamflet sekalipun.
Tapi apakah kebisaan "jam karet" tersebut berefek negatif (-).
Saya pikir tidak sepenuhnya benar, karena justru ada hal yang menarik yang bisa didapatkan dengan kebiasaan tersebut, terutama dalam dunia pertunjukkan (dadakan).
Dengan memahami karakter penonton yang (memang) seperti itu, sebenarnya kita didak perlu memikirkan seberapa banyak pertunjukkan kita akan disaksikan penonton. Kita akan bisa memfokuskan pikiran kepada bentuk pertunjukkan kita dan perform apa yang sekiranya akan pantas untuk ditampilkan. Mikirin ide kreatif, stamina dan durasi waktu yang dibutuhkan dalam pementasan terbut. Intinya kita harus lebih fokus ke karya.
Saat pertunjukkan kita juga akan terbantu dengan sedikitnya penonton. Semakin sedikit penonton saat awal pementasaan, beban deman panggung kita otomatis juga akan sedikit. Dan yakin, dalam waktu 5 menit pertunjukkan kita akan ramai, jika memang perform kita menarik. Sudah barang tentu durasi pementasan harus lebih dari lima menit.

Kok bisa?
Boleh percaya atau tidak, ini rumusnya:
A akan mempengaruhi B,
B = C &/ D,
sedangkan C + D hasilnya adalah B1.
note : A = Pemain
B = Penonton
C = SMS (Hp)
D = Motor
B1 = Penonton (dlm) 5 mnt
Nah kalo tetap ngga ada yang nonton gimana?
Terpaksa si A harus punya C dan D (untuk jemput si B).
teater, Kalkulasi!

Senin, 07 Januari 2008

Sudah Lupa Ya?

>> Weew..apaan tuuuh?<<

Kayaknya sudah banyak yang lupa deh, kalau tradisi teater kita memang tak mengenal panggung sebangsa proscenium; panggung yang megah en perlu kekhusyukan saat menonton.

Masih inget dengan tradisi "ngelawang" di Bali? Dimana pertunjukan terjadi?
Pertunjukan terjadi di jalanan, di halaman-halaman rumah atau di tanah-tanah kosong.

Lalu misal di Jawa, pernah ngeliat "kuda lumping, jathilan, reog" maen di halaman rumah juga di tanah-tanah kosong?

Saya pikir tradisi teater di semua daerah di Indonesia mempunyai pola yang mirip: teater arena yang akrab dengan penonton.

Wow.

Bila kemudian dengan muncul label "modern" yang mengekor abis tradisi teater barat dari struktur cerita, bentuk pertunjukan hingga model acting, maka tak heran kita menjadi terperangah dan kikuk. Ini di Indonesia tahun
1950'an.

Suatu waktu (1960'an) di Eropa menggejala teater Avant garde (teater garda depan) yang menolak abis bentuk-bentuk teater konvensional. Mereka terang-terangan mengajak penonton untuk tak mengunjungi gedung-gedung pertunjukan, mereka juga mengajak kreator untuk tak bergantung kepada pementasan di dalam gedung pertunjukan.
Mereka bermain di jalan, di halaman, di pasar dan di tanah lapang.

Kini di Indonesia makin ruwet. Separuh sudah lupa dengan "tradisi" teater sendiri dan separuh lagi "tak mencerna" teater barat dengan sempurna.

Seandainya kita inget-inget lagi, maka kayaknya kita baru sadar bila kita tak perlu risau seandainya di tempat kita berada tak memiliki gedung pertunjukan yang super wow!
Toh, mestinya kita bisa bermain dimana-mana seperti kakek buyut kita.

Lalu?


Minggu, 06 Januari 2008

Penonton 5 menit (SMS dan Motor adalah kuncinya)

>> Catatan dari bunyirantau@yahoo.com <<

Kalo dibilang capek mungkin tidak juga.
Tapi kalo dibilang ngga capek, kayaknya salah juga.
Seminggu ini
Sudah seminggu ini saya nemenin tamu dari Belgia dan US. Ya tiga orang yang sampai saat ini pun saya tidak tahu apakah negara di atas adalah negara mereka. Tamu? terlalu serius jika disebut tamu kayaknya. Karena mereka tidak berprilaku seperti itu. Mereka hanya temen yang kebetulan mampir dan kebetulan saja saya ada di Bali.
Saya tidak menyebut mereka sebagai bagian dari kunjungan Pariwisata. Jelas mereka tidak datang untuk hal itu. Bahkan ketika mereka berada di Kuta sekalipun mereka tidak terlihat seperti Turis yang sedang berlibur. Mungkin hanya warna kulit mereka saja yang tampak jelas menenujukkan kalo mereka memang bukan orang lokal.
Nah dalam kaitan ini saya tidak akan berbicara tentang asal-usul mereka. Yang mungkin dibahas dalam tulisan ini adalah aktivitas mereka yang bagi saya cukup inspiratif untuk perkembangan teater ke depan (mungkin juga kesamping). Mereka datang ke Indonesia untuk bermain (musik dan sirkus), tapi bukan di tempat-tempat wisata yang mewah, melainkan di jalan-jalan, atau di kafe-kafe yang sebenarnya lebih pantas dianggap warung. Bahkan waktu di Jogjakarta mereka memainkan keahlian mereka di kampung-kampung.
Nah yang menjadi bahan inspiratif mereka adalah, cara mereka mendapatkan dan menarik simpati penonton. Jelas tujuan mereka adalah uang. Semakin banyak yang nonton akan semakin banyak pula saweran yang didapat. Jujur dengan kualitas musik yang tidak diatas rata2 dan dengan kemanpuan exting yang sederhana mereka mampu menawarkan tontonan yang berbeda dengan pangung hiburan di Bali pada umumnya.
Dari jalanan yang sepi hanya dalam 5 menit menjadi ramai. Mo tahu caranya, ini sekilas tentang konsep pertunjukkan mereka.
1. Mencari sudut jalan/tempat yang fokus (rame menurut rafael: Orang2 hanya akan mengejek pertunjukkan kami, jelas karena kami bukan Artis).
2. Mebuat kegaduhan (menarik/harmonis) untuk sekedar mencuri perharian mereka.
3. Memainkan hal yang tidak biasa namun membuat mereka tetap diam menonton sampai pertunjukan berakhir. (Biasanya dengan gerakan 2 aneh yang unik atau dengan bercerita sesuatu hal yang lucu sesuai dengan kebiasaan penontonnya)
Yang pasti mereka selalu mengedepankan mood dan prilaku penonton.
Mereka tidak asyik dengan permainan mereka jika mereka tidak melihat penonton senang. Inti dari permainan mereka adalah "KOMUNIKASI DENGAN PENONTON."
Mungkin itu dulu yang bisa dibahas dalam tulisan ini, karena Mas Yonas sudah dipaksa untuk mengantarkan ke UBUD. Biasa, Ketewel harus tutup.
Tidak semua Bule artis bagus,
Artis bagus tidak selalu bermain bagus,
Bermain bagus tidak selalu banyak penonton,
Banyak penonton...Gampang!
Hanya butuh waktu 5 menit
Note: SMS dan MOtor adalah kuncinya.


Teater, improvisasi!

Sabtu, 05 Januari 2008

Teater dan Penonton

>> Teater yang Hidup <<

Mengingatkan kembali pada pendapat yang pernah dikemukakan oleh Saini KM tentang teater yang hidup. Teater yang hidup adalah teater yang di satu pihak tidak kehilangan kemandiriannya sebagai seni kreatif, di pihak lain tidak memalingkan diri dari kehidupan.

Teater tersebut akan tetap mempertahankan nilai instrinsiknya sebagai seni dengan setia dan tunduk kepada kaidah-kaidah kesenian di dalam mewujudkan dirinya. Sehingga di dalam teater yang hidup segala upaya diarahkan untuk penjernihan, pendalaman dan perluasan pengalaman. Dalam hal ini teater bukan untuk kepentingan komersil, kekuasaan, popularitas, apalagi hanya sekadar iseng.

Teater yang hidup itu sudah tentu tidak akan kehilangan nilai ekstrinsiknya atau manfaatnya bagi masyarakat. Teater yang hidup justru merupakan teater yang mencerminkan pergulatan manusia dengan kehidupan yang lebih manusiawi, lebih bijaksana dengan kekuatan moral di dalamnya.

Sebagai seni kreatif memang seharusnya teater tidak sampai menjadi kitsch, yaitu mementingkan selera massa/penonton. Teater juga semestinya tak menjadi teater propaganda yang merupakan perpanjangan gagasan dari sebuah permintaan yang berada di luarnya, baik bersifat politis maupun tidak.

Dan sebaiknya bagi para kreator, semestinya menjauh dari konsep teater estetisisme. Mengapa? karena hal ini tidak menguntungkan bagi kehidupan.

Dalam teater estetisisme, pekerja teater hanya akan disibukkan dengan masalah-masalah teknis pementasan tanpa mempedulikan hubungannya dengan kehidupan nyata masyarakat di lingkungannya.

Bahwa teater estetisisme hanya berasyik-asyik sendiri. Memunculkan keegoan pelaku teater dan mebenarkan opini bahwa makin sukar sebuah pementasan dipahami oleh masyarakat (penonton) , maka pementasan makin dianggap baik.

Pada gilirannya hanya melahirkan kebanggaan bagi pendukungnya dan menjadikan teater sebagai kelompok yang elitis dan ekslusif. Sementara penonton diposisikan sebagai penikmat seni yang pengetahuannya berada di bawah. Akibatnya, jika sebuah pertunjukan tidak mengerti oleh penontonnya akan dianggap wajar dan senimannya tak merasa risau.

Sesungguhnya teater yang hidup itu dapat dimaknai lebih jauh, bahwa penonton akan menemukan dua hal sekaligus. Pertama, penonton akan melihat diri mereka sendiri melalui masalah-masalah yang disajikan di pentas yang tidak berjarak dengan masalah kehidupan yang dialami sehari-hari. Penonton akan terlibat secara psikis dengan setiap adegan di pentas dan dengan demikian teater itu menjadi dunia mereka.

Kedua, penonton akan menemukan diri mereka dihargai sebagai manusia, karena di dalam menghadapi karya seni mereka tidak dijadikan obyek induktrinasi seperti propaganda atau obyek promosi. Karena di dalam teater yang hidup penonton diajak berperan serta secara sukarela untuk menghayati masalah-masalah nyata, masalah mereka sendiri atau masalah yang mungkin melibatkan mereka. Jadi penonton tidak ada yang merasa dihakimi, tetapi justru mereka menghakiminya sendiri, baik untuk dirinya, orang lain atau siapa saja.


Kehadiran penonton yang begitu banyak dan mau menyaksikannnya sampai selesai akan menjadi semangat baru untuk pementasan berikutnya. Sejatinya masyarakat harus disuguhi sesuatu yang dengan kehadirannya memang dibutuhkan untuk mengapresiasinya, bukan hanya sebagai penyaksi pementasan yang mereka tidak dapat memahaminya.


Teater; perlu keseimbangan!


Jumat, 04 Januari 2008

Kabar (lagi) dari Kelompok Satu Kosong Delapan

>> Mencari Kemungkinan-kemungkinan <<

Masih tetap dengan slogan yang sama yakni "mencari kemungkinan-kemungkinan", Kelompok Satu Kosong Delapan menggulirkan "Klub Pantomime".

Klub pantomime ini adalah salah satu upaya menjawab kemungkinan kebutuhan masyarakat akan seni pertunjukan yang lebih bersifat hiburan.

Direncanakan mulai hari ini, Jumat 04 Januari 2008 anggota klub akan berlatih pantomime di pantai Kuta tepatnya di depan Circle-K Kamasutra.

Gimanakah selanjutnya?

Rabu, 02 Januari 2008

Kabar dari Kelompok Satu Kosong Delapan

>> Mencari Kemungkinan-kemungkinan <<

Awal tahun ini Kelompok Satu Kosong Delapan mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan dalam proses kreatifnya.

Salah satu program yang sedang dijalankan adalah melakukan proses lintas disiplin keilmuan yang diadakan di Banjar Buungan desa Tiga Bangli, tepatnya di rumah Wayan Surana.

Proses kreatif yang melibatkan penulis/kajian antropologi (Jauhar "Joo" Mubarok, Wiwit "Kethel" Subekti), pemusik (Bintang Riyadi, Oris Otista), videomaker (Dadap, Yosep Maulana), perupa (Dedi Dwiyanto, Wayan Surana) serta performer (Giri Ratomo) ini direncanakan akan dipresentasikan untuk pertama kali pada akhir bulan Maret di banjar Buungan. Selain penulis, pemusik, videomaker, perupa dan performer juga diharapkan akan dapat melibatkan masyarakat desa yang tertarik untuk berperan aktif.

Diharapkan, dari riset yang mulai di lakukan bulan Januari 2008 ini akan menemukan berbagai kemungkinan bentuk pertunjukan.

Kita tunggu saja!


Selasa, 01 Januari 2008

WoW teater Bali?

>> Hari Pertama <<

Woooow....dah 2008 ooom..tante...
Akan kita mulai dari mana?

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan