Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Selasa, 15 Januari 2008

PAMFLET ONLINE


Acara Peluncuran dan Bedah buku, “Budaya Kepintaran Sampai Budaya Kekerasan Pikiran” Karya IBM. Dharma Palguna, yang akan di selenggarakan,

Tempat Taman 65, jl.WR. Supratman 193, Kesiman - Denpasar.
Pada hari Sabtu,
Tanggal, 19 Januari 2008,
pukul 18.00 wita.

Sebagai pembedah buku, menghadirkan Chusmeru, Ngurah Karyadi, Wayan Juniartha [the Jakarta Post], IBM. Dharma Palguna selaku penanggungjawab naskah, dan di moderatori oleh Heru Gutomo.

Acara ini juga akan dimeriahkan dengan performance art dari Saudara Giri Ratomo, salah satu pentolan dari teater 108, dan performance art Audio visual dari Yonas sestraKresna [video maker] punggawa dari KSDD. Kami nanti kehadiran dan partisipasi anda.


untuk informasi kontak
bunyirantau@yahoo.com



Senin, 14 Januari 2008

Teater Realis?

>> Mengenang kembali <<

Beberapa kliping koran tentang pentas Death of a Salesman oleh Satu Kosong Delapan tahun 2004, sebelum pentas di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Bila kemudian Satu Kosong Delapan tak lagi menekuni teater realis, kenapa?






Teater, mencari kemungkinan-kemungkinan!


Rabu, 09 Januari 2008

Coba Aja..

>> Kenapa tidak <<

Bila suatu waktu anda punya waktu luang, sempatkanlah lewat di depan Kamasutra Pantai Kuta.
Saat sore tiba, sambil menikmati sunset di pantai Kuta nikmati juga suguhan Klub Pantomime yang lagi menggerak-gerakan tubuh.
S
iapa tahu anda juga tertarik untuk ikut terlibat bermain atau sekedar nemenin nongkrong sambil berbagi jajan atau minuman.

Salam

Klub Pantomime Satu Kosong Delapan



Mesti di Coba!

Selasa, 08 Januari 2008

Apa yang menarik dengan konsep 5 menit (B1)

>> Semacam Penjelasan <<

Catatan dari bunyirantau@yahoo.com


Mengapa Motor dan SMS akan efisien?
Memahami karakter penonton pertunjukkan di Indonesia.
Indonesia memang terlahir sebagai negara yang tidak punya kedisiplinan waktu, terutama penjadwalan acara dan managemen waktunya. Tidak heran jika istilah "jam karet" begitu lekat di benak kita. Waktu menjadi masalah yang begitu dominan bagi sebagian besar aktivitas di Indonesia.

Kebiasaan tersebut akan berpengaruh pada molornya acara. Jelas hal itu akan mempengaruhi suasana hati orang yang terlibat dalam acara tersebut. Tidak hanya pemain, para penonton pun akan terganggu dengan keterlambatan itu. Hal yang lama-kelamaan menjadi kebiasaan dan kemudian dimaklumi dengan wajar begitu saja. Saya pikir hal itu adalah sebuah masalah di setiap Negara Berkembang, dan Indonesia adalah salah satunya.
Jangan salah jika hal itu berkaitan dengan kemacetan yang sering terjadi di Indonesia. Jangankan kota besar seperti Jakarta, kota sekelas Jombang ada pernah mengamali hal tersebut. Logikanya seperti ini, orang menganggap berangkat jam 7 pagi masih terlalu pagi karena di kantor harus jam 8.30. Santai sebentar, minum kopi lalu berangkat jam tujuh lewat meski yakin bakal mepet. Asumsi bahwa lebih baik nunggu di rumah ketimbang datang lebih awal di kantor adalah hal yang biasa.

Jika semua orang berikir berangkat jam 7 lewat, jalan akan pernuh di jam yang sama.
Hal itu kan menjadi kendala ketika semua orang dalam keadaan terburu-buru dan kemudian sekenanya/semaunya dalam berkendara. Jelas orang-orang tidak akan perduli meski dia melanggar rambu-rambu lalu lintas. Keadaan jalan semakin kacau dan sudah pasti, telat adalah hasil dari kejadian tersebut.
Kembali masalah yang sering terjadi di Negara Berkembang, yakni masalah waktu. Kebisaan untuk tidak menjadwalkan diri berakibat pula pada melonjaknya harga penjualan HP dan voucer isi ulangnya.
Kenapa bisa begitu?
Bagi setiap orang, komunikasi adalah hal yang penting, dan janji (jadwal acara) adalah bagian dari komunikasi itu sendiri. Masalahnya, ketika seseorang tidak lagi memperhatikan jadwal pribadi, apalagi pada jadwal milik orang lain. Di sana SMS muncul sebagai pengingat yang paling sempurna. Dan orang akan sangat rela untuk membuang beberapa SMS hanya sebagai mesin pengingat, meski pada sebuah acara yang kurang penting sekalipun.
Sekali lagi SMS begitu ekfektif, bahkan melebihi Pamflet sekalipun.
Tapi apakah kebisaan "jam karet" tersebut berefek negatif (-).
Saya pikir tidak sepenuhnya benar, karena justru ada hal yang menarik yang bisa didapatkan dengan kebiasaan tersebut, terutama dalam dunia pertunjukkan (dadakan).
Dengan memahami karakter penonton yang (memang) seperti itu, sebenarnya kita didak perlu memikirkan seberapa banyak pertunjukkan kita akan disaksikan penonton. Kita akan bisa memfokuskan pikiran kepada bentuk pertunjukkan kita dan perform apa yang sekiranya akan pantas untuk ditampilkan. Mikirin ide kreatif, stamina dan durasi waktu yang dibutuhkan dalam pementasan terbut. Intinya kita harus lebih fokus ke karya.
Saat pertunjukkan kita juga akan terbantu dengan sedikitnya penonton. Semakin sedikit penonton saat awal pementasaan, beban deman panggung kita otomatis juga akan sedikit. Dan yakin, dalam waktu 5 menit pertunjukkan kita akan ramai, jika memang perform kita menarik. Sudah barang tentu durasi pementasan harus lebih dari lima menit.

Kok bisa?
Boleh percaya atau tidak, ini rumusnya:
A akan mempengaruhi B,
B = C &/ D,
sedangkan C + D hasilnya adalah B1.
note : A = Pemain
B = Penonton
C = SMS (Hp)
D = Motor
B1 = Penonton (dlm) 5 mnt
Nah kalo tetap ngga ada yang nonton gimana?
Terpaksa si A harus punya C dan D (untuk jemput si B).
teater, Kalkulasi!

Senin, 07 Januari 2008

Sudah Lupa Ya?

>> Weew..apaan tuuuh?<<

Kayaknya sudah banyak yang lupa deh, kalau tradisi teater kita memang tak mengenal panggung sebangsa proscenium; panggung yang megah en perlu kekhusyukan saat menonton.

Masih inget dengan tradisi "ngelawang" di Bali? Dimana pertunjukan terjadi?
Pertunjukan terjadi di jalanan, di halaman-halaman rumah atau di tanah-tanah kosong.

Lalu misal di Jawa, pernah ngeliat "kuda lumping, jathilan, reog" maen di halaman rumah juga di tanah-tanah kosong?

Saya pikir tradisi teater di semua daerah di Indonesia mempunyai pola yang mirip: teater arena yang akrab dengan penonton.

Wow.

Bila kemudian dengan muncul label "modern" yang mengekor abis tradisi teater barat dari struktur cerita, bentuk pertunjukan hingga model acting, maka tak heran kita menjadi terperangah dan kikuk. Ini di Indonesia tahun
1950'an.

Suatu waktu (1960'an) di Eropa menggejala teater Avant garde (teater garda depan) yang menolak abis bentuk-bentuk teater konvensional. Mereka terang-terangan mengajak penonton untuk tak mengunjungi gedung-gedung pertunjukan, mereka juga mengajak kreator untuk tak bergantung kepada pementasan di dalam gedung pertunjukan.
Mereka bermain di jalan, di halaman, di pasar dan di tanah lapang.

Kini di Indonesia makin ruwet. Separuh sudah lupa dengan "tradisi" teater sendiri dan separuh lagi "tak mencerna" teater barat dengan sempurna.

Seandainya kita inget-inget lagi, maka kayaknya kita baru sadar bila kita tak perlu risau seandainya di tempat kita berada tak memiliki gedung pertunjukan yang super wow!
Toh, mestinya kita bisa bermain dimana-mana seperti kakek buyut kita.

Lalu?


Minggu, 06 Januari 2008

Penonton 5 menit (SMS dan Motor adalah kuncinya)

>> Catatan dari bunyirantau@yahoo.com <<

Kalo dibilang capek mungkin tidak juga.
Tapi kalo dibilang ngga capek, kayaknya salah juga.
Seminggu ini
Sudah seminggu ini saya nemenin tamu dari Belgia dan US. Ya tiga orang yang sampai saat ini pun saya tidak tahu apakah negara di atas adalah negara mereka. Tamu? terlalu serius jika disebut tamu kayaknya. Karena mereka tidak berprilaku seperti itu. Mereka hanya temen yang kebetulan mampir dan kebetulan saja saya ada di Bali.
Saya tidak menyebut mereka sebagai bagian dari kunjungan Pariwisata. Jelas mereka tidak datang untuk hal itu. Bahkan ketika mereka berada di Kuta sekalipun mereka tidak terlihat seperti Turis yang sedang berlibur. Mungkin hanya warna kulit mereka saja yang tampak jelas menenujukkan kalo mereka memang bukan orang lokal.
Nah dalam kaitan ini saya tidak akan berbicara tentang asal-usul mereka. Yang mungkin dibahas dalam tulisan ini adalah aktivitas mereka yang bagi saya cukup inspiratif untuk perkembangan teater ke depan (mungkin juga kesamping). Mereka datang ke Indonesia untuk bermain (musik dan sirkus), tapi bukan di tempat-tempat wisata yang mewah, melainkan di jalan-jalan, atau di kafe-kafe yang sebenarnya lebih pantas dianggap warung. Bahkan waktu di Jogjakarta mereka memainkan keahlian mereka di kampung-kampung.
Nah yang menjadi bahan inspiratif mereka adalah, cara mereka mendapatkan dan menarik simpati penonton. Jelas tujuan mereka adalah uang. Semakin banyak yang nonton akan semakin banyak pula saweran yang didapat. Jujur dengan kualitas musik yang tidak diatas rata2 dan dengan kemanpuan exting yang sederhana mereka mampu menawarkan tontonan yang berbeda dengan pangung hiburan di Bali pada umumnya.
Dari jalanan yang sepi hanya dalam 5 menit menjadi ramai. Mo tahu caranya, ini sekilas tentang konsep pertunjukkan mereka.
1. Mencari sudut jalan/tempat yang fokus (rame menurut rafael: Orang2 hanya akan mengejek pertunjukkan kami, jelas karena kami bukan Artis).
2. Mebuat kegaduhan (menarik/harmonis) untuk sekedar mencuri perharian mereka.
3. Memainkan hal yang tidak biasa namun membuat mereka tetap diam menonton sampai pertunjukan berakhir. (Biasanya dengan gerakan 2 aneh yang unik atau dengan bercerita sesuatu hal yang lucu sesuai dengan kebiasaan penontonnya)
Yang pasti mereka selalu mengedepankan mood dan prilaku penonton.
Mereka tidak asyik dengan permainan mereka jika mereka tidak melihat penonton senang. Inti dari permainan mereka adalah "KOMUNIKASI DENGAN PENONTON."
Mungkin itu dulu yang bisa dibahas dalam tulisan ini, karena Mas Yonas sudah dipaksa untuk mengantarkan ke UBUD. Biasa, Ketewel harus tutup.
Tidak semua Bule artis bagus,
Artis bagus tidak selalu bermain bagus,
Bermain bagus tidak selalu banyak penonton,
Banyak penonton...Gampang!
Hanya butuh waktu 5 menit
Note: SMS dan MOtor adalah kuncinya.


Teater, improvisasi!

Sabtu, 05 Januari 2008

Teater dan Penonton

>> Teater yang Hidup <<

Mengingatkan kembali pada pendapat yang pernah dikemukakan oleh Saini KM tentang teater yang hidup. Teater yang hidup adalah teater yang di satu pihak tidak kehilangan kemandiriannya sebagai seni kreatif, di pihak lain tidak memalingkan diri dari kehidupan.

Teater tersebut akan tetap mempertahankan nilai instrinsiknya sebagai seni dengan setia dan tunduk kepada kaidah-kaidah kesenian di dalam mewujudkan dirinya. Sehingga di dalam teater yang hidup segala upaya diarahkan untuk penjernihan, pendalaman dan perluasan pengalaman. Dalam hal ini teater bukan untuk kepentingan komersil, kekuasaan, popularitas, apalagi hanya sekadar iseng.

Teater yang hidup itu sudah tentu tidak akan kehilangan nilai ekstrinsiknya atau manfaatnya bagi masyarakat. Teater yang hidup justru merupakan teater yang mencerminkan pergulatan manusia dengan kehidupan yang lebih manusiawi, lebih bijaksana dengan kekuatan moral di dalamnya.

Sebagai seni kreatif memang seharusnya teater tidak sampai menjadi kitsch, yaitu mementingkan selera massa/penonton. Teater juga semestinya tak menjadi teater propaganda yang merupakan perpanjangan gagasan dari sebuah permintaan yang berada di luarnya, baik bersifat politis maupun tidak.

Dan sebaiknya bagi para kreator, semestinya menjauh dari konsep teater estetisisme. Mengapa? karena hal ini tidak menguntungkan bagi kehidupan.

Dalam teater estetisisme, pekerja teater hanya akan disibukkan dengan masalah-masalah teknis pementasan tanpa mempedulikan hubungannya dengan kehidupan nyata masyarakat di lingkungannya.

Bahwa teater estetisisme hanya berasyik-asyik sendiri. Memunculkan keegoan pelaku teater dan mebenarkan opini bahwa makin sukar sebuah pementasan dipahami oleh masyarakat (penonton) , maka pementasan makin dianggap baik.

Pada gilirannya hanya melahirkan kebanggaan bagi pendukungnya dan menjadikan teater sebagai kelompok yang elitis dan ekslusif. Sementara penonton diposisikan sebagai penikmat seni yang pengetahuannya berada di bawah. Akibatnya, jika sebuah pertunjukan tidak mengerti oleh penontonnya akan dianggap wajar dan senimannya tak merasa risau.

Sesungguhnya teater yang hidup itu dapat dimaknai lebih jauh, bahwa penonton akan menemukan dua hal sekaligus. Pertama, penonton akan melihat diri mereka sendiri melalui masalah-masalah yang disajikan di pentas yang tidak berjarak dengan masalah kehidupan yang dialami sehari-hari. Penonton akan terlibat secara psikis dengan setiap adegan di pentas dan dengan demikian teater itu menjadi dunia mereka.

Kedua, penonton akan menemukan diri mereka dihargai sebagai manusia, karena di dalam menghadapi karya seni mereka tidak dijadikan obyek induktrinasi seperti propaganda atau obyek promosi. Karena di dalam teater yang hidup penonton diajak berperan serta secara sukarela untuk menghayati masalah-masalah nyata, masalah mereka sendiri atau masalah yang mungkin melibatkan mereka. Jadi penonton tidak ada yang merasa dihakimi, tetapi justru mereka menghakiminya sendiri, baik untuk dirinya, orang lain atau siapa saja.


Kehadiran penonton yang begitu banyak dan mau menyaksikannnya sampai selesai akan menjadi semangat baru untuk pementasan berikutnya. Sejatinya masyarakat harus disuguhi sesuatu yang dengan kehadirannya memang dibutuhkan untuk mengapresiasinya, bukan hanya sebagai penyaksi pementasan yang mereka tidak dapat memahaminya.


Teater; perlu keseimbangan!


Jumat, 04 Januari 2008

Kabar (lagi) dari Kelompok Satu Kosong Delapan

>> Mencari Kemungkinan-kemungkinan <<

Masih tetap dengan slogan yang sama yakni "mencari kemungkinan-kemungkinan", Kelompok Satu Kosong Delapan menggulirkan "Klub Pantomime".

Klub pantomime ini adalah salah satu upaya menjawab kemungkinan kebutuhan masyarakat akan seni pertunjukan yang lebih bersifat hiburan.

Direncanakan mulai hari ini, Jumat 04 Januari 2008 anggota klub akan berlatih pantomime di pantai Kuta tepatnya di depan Circle-K Kamasutra.

Gimanakah selanjutnya?

Rabu, 02 Januari 2008

Kabar dari Kelompok Satu Kosong Delapan

>> Mencari Kemungkinan-kemungkinan <<

Awal tahun ini Kelompok Satu Kosong Delapan mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan dalam proses kreatifnya.

Salah satu program yang sedang dijalankan adalah melakukan proses lintas disiplin keilmuan yang diadakan di Banjar Buungan desa Tiga Bangli, tepatnya di rumah Wayan Surana.

Proses kreatif yang melibatkan penulis/kajian antropologi (Jauhar "Joo" Mubarok, Wiwit "Kethel" Subekti), pemusik (Bintang Riyadi, Oris Otista), videomaker (Dadap, Yosep Maulana), perupa (Dedi Dwiyanto, Wayan Surana) serta performer (Giri Ratomo) ini direncanakan akan dipresentasikan untuk pertama kali pada akhir bulan Maret di banjar Buungan. Selain penulis, pemusik, videomaker, perupa dan performer juga diharapkan akan dapat melibatkan masyarakat desa yang tertarik untuk berperan aktif.

Diharapkan, dari riset yang mulai di lakukan bulan Januari 2008 ini akan menemukan berbagai kemungkinan bentuk pertunjukan.

Kita tunggu saja!


Selasa, 01 Januari 2008

WoW teater Bali?

>> Hari Pertama <<

Woooow....dah 2008 ooom..tante...
Akan kita mulai dari mana?

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan