Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Selasa, 30 Desember 2003

Pementasan Teater dengan Beragam Gaya

Catatan Dari ''Gelar Teater La-Jose se-Bali 2003''

Kelompok Teater La-Jose SMUK Santo Yoseph Denpasar pada 16-22 Desember 2003 lalu menyelenggarakan acara bertajuk ''Gelar Teater La-Jose se-Bali 2003'' (Gatel se-Bali) yang dilangsungkan di Aula SMUK Santo Yoseph, Jl. Serma Kawi No. 4 Denpasar. Ada sembilan grup teater yang melibatkan diri tampil dalam acara ini. Masing-masing Cok Sawitri, Kelompok Satu Kosong Delapan, Komunitas Botol Bening, Teater Air Tanah Fapet Unud, Teater Orok, Teater Tanah Air (Tanjung Bungkak), Teater Topeng, Kolaborasi Dapur Teater UKM Dhyana Pura, Teater Matamoe, dan Teater La-Jose.

SELAMA sepekan para penonton telah disuguhi beragam pertunjukan drama dari masing-masing grup teater dengan beragam model pemanggungan drama yang cukup menarik, mulai dari jenis realis, surealis hingga absurd-kontemporer atau drama alternatif yang secara rata-rata memang layak tonton.

Teater Cok Sawitri misalnya, menyuguhkan cerita berjudul "Anjing Perempuanku" karya Cok sendiri. Drama berlatar puisi yang menggambarkan tokoh perempuan (anjing perempuan) yang dijadikan "pemimpin boneka" oleh Lembaga Permusyawaratan Anjing. Kelompok Teater Satu Kosong Delapan pimpinan Giri Ratomo menyuguhkan nomor monolog bertajuk "Ssst... Diam!" karya Giri Ratomo, menghadirkan cerita pergulatan batin seorang yang sedang berjuang untuk membebaskan diri dan memerdekakan keadaan dari segala kungkungan dan aturan-aturan yang tak jelas.

Komunitas Botol Bening menampilkan drama "Langit Runtuh" garapan sutradara Yos, mengisahkan kegelisahan sekelomopok manusia yang merasa tak lagi mampu berbuat banyak untuk mengubah keadaan dan nasibnya menjadi lebih baik lantaran keadaan yang membelenggunya, hingga akhirnya jadi apatis dan pasrah saja pada "takdir" karena pada akhirnya toh langit bakal runtuh juga.

Teater Air Tanah Fapet Unud menyuguhkan "Burung-burung Nyasar" karya Rabindranat Tagore, sebuah drama puitika yang disajikan dalam bentuk teater gerak dengan eksplorasi olah tubuh yang dipadukan dengan dialog-dialog (baca: pelisanan) puisi, atas arahan Cok Sawitri. Teater Orok tampil dengan lakon "Tumirah Sang Mucikari" karya Seno Gumira Adjidarma garapan sutradara Dedy Dwiyanto, yang mengisahkan tentang nasib buram dan duka-lara kehidupan para pelacur dalam mengarungi hidup dan mengadu nasib yang acapkali harus berbenturan dengan berbagai persoalan dan deraan hidup yang menghimpit.

Teater Tanah Air (Tanjung Bungkak) asuhan Dewa Jayendra mempersembahkan "Sang Kala" (Menunggu Waktu), menggambarkan tentang pertarungan dua sisi kehidupan (hitam dan putih), kejahatan-keserakahan-kebiadaban yang senantiasa melingkupi dan mendera kancah kehidupan, sementara pihak yang berada pada posisi kurban yang tertekan mesti berjuang dengan ketidakberdayaannya serta membutuhkan pertolongan. Kekuasaan berdasarkan atas kekerasan dan intrik menjadi bagian dari perang urat syaraf antar-elite yang menghiasi pementasan drama yang disutradarai Dewa Jayendra tersebut.

Teater Topeng SMUN 2 Denpasar menampilkan lakon "Soak" karya/sutradara Giri Ratomo. Sebuah drama surealis-kontemporer yang menyajikan cerita tentang eksperimen sebuah laboratorium manusia yang dijadikan percobaan dengan segala racikan obat untuk menghasilkan manusia baru yang lebih sempurna, yang pada akhirnya justru mengakibatkan bencana dan jatuhnya korban kegagalan, lantaran kesombongan manusia itu sendiri. Sedangkan Kolaborasi Dapur Teater UKM Dhyana Pura dan Teater Matamoe UKM STIE Triatma Mulya menyuguhkan drama bertajuk "Kebebasan Abadi" karya CM Nas. Drama yang disutradarai Hadi Karnia ini dikemas dalam bentuk pemanggungan drama realis-klasikal ala "sandiwara-tujuhbelasan" pada 1970-an. Ceritanya memang terkait dengan kisah perjuangan kemerdekaan, tentang kehidupan sekelompok pejuang yang sedang bersembunyi di sebuah pulau kecil yang akhirnya semuanya mengalami kematian yang tragis akibat konflik antar-mereka sendiri.

Teater La-Jose yang tampil pada malam terakhir menggarap lakon "Lysistrata" karya Aristophanes yang disutradarai Dadi Reza Pujiadi. Naskah dunia-saduran/terjemahan WS Rendra - yang diperkuat sekitar 20 pemain ini tentu sudah tak asing lagi bagi para pecinta teater. Sebuah drama yang mengisahkan tentang "pemberontakan" kaum perempuan Yunani yang berjuang untuk menentang perang antara Athena dan Sparta yang dilakukan oleh para lelaki. Para wanita yang dipimpin oleh Lysistrata itu melakukan protes terhadap para lelaki dengan berbagai cara mulai dari perlawanan secara fisik, diplomatik, hingga mogok melakukan "anu" dengan para suaminya selama sepekan, yang akhirnya berhasil mencegah perang dan ditandatangani kesepakatan damai antara Athena dan Sparta.

Bersungguh-sungguh
Secara keseluruhan, drama-drama yang disuguhkan oleh para grup teater di ajang "Gatel se-Bali 2003" ini cukup menarik. Rata-rata para petampil mampu menyajikan pentas dramanya secara memadai dan menarik untuk ditonton dengan segala kekurangan dan kelebihan dalam kapasitasnya masing-masing. Setidaknya, sebagian besar di antaranya telah menunjukkan kesungguh-sungguhannya dalam menggarap dan menghadirkan dramanya. Grup-grup teater yang tampil sepertinya memang nampak bersungguh-sungguh. Rata-rata grup yang tampil adalah para "pendatang baru" dalam kancah perteateran (modern) di Bali, baik secara grup maupun individu. Hanya Cok Sawitri yang bisa dibilang senior, selebihnya rata-rata orang baru atau pemula.

Namun, sebagian dari mereka justru berhasil tampil dengan garapan pemanggungan drama yang mengagumkan. Sebutlah Teater La-Jose, Kelompok 108, Tanah Air (Tanjung Bungkak), yang berhasil tampil memikat dan mampu bersaing dengan penampilan Cok Sawitri. Kelompok 108 sukses dengan permainan monolog Giri Ratomo, mantan ketua dan pendiri Teater Orok yang sudah punya cukup pengalaman di panggung teater, bahkan pernah terpilih sebagai Aktor Pembantu Terbaik dalam "Festival Teater Mahasiswa Nasional di Kaltim" (2001).

Teater Tanah Air (Tanjung Bungkak) yang sebagian dari anggotanya adalah alumni Teater Antariksa SMUN 7 Denpasar, plus anak-anak dari SMUN 1 Sukawati, berhasil tampil cukup memikat dengan pemanggungan drama surealis yang mengadaptasi unsur-unsur estetika berbagai seni pertunjukan semacam drama tradisional dan tari kontemporer. Namun, drama dengan para pemain pemula ini tentu saja masih memiliki lubang-lubang kelemahan terutama pada vokal yang sering tak terjaga artikulasi dan tempo pengucapannya, kurang pengendalian emosi beberapa tokohnya, serta adegan gerak-dramatika yang sebenarnya sudah sangat simbolik dan estetik masih dijelas-jelaskan lagi dengan ungkapan kalimat verbal.

Pementasan dari Teater La-Jose, misalnya juga, adalah pementasan yang berhasil. Dalam kapasitasnya sebagai teater sekolah yang baru berusia satu tahun, apalagi para pemainnya rata-rata masih kelas 1, tapi berani dan berhasil memainkan lakon kelas dunia seperti "Lysistrata", tentu sungguh mengagumkan. Anak-anak asuhan sutradara muda Dadi Reza Pujiadi ini bahkan berhasil melakonkan drama itu dengan permainan yang cemerlang. Mereka mampu membangun kekompakan, menjaga keutuhan cerita dan pemanggungannya dengan dinamika dramatik sejak awal hingga akhir pementasan dengan baik. Mereka bahkan berhasil "membahasakan" lakon ini secara tepat baik lewat akting, dialog, ekspresi, pengadegan yang variatif dan hidup. Kalau saja acara ini bisa dianggap sebagai festival atau lomba, boleh jadi penampilan Teater La-Jose akan berhasil menempati peringkat atas, dibanding grup-grup lain.

Punya Harapan
Pementasan dari grup-grup yang lain tentu saja tak kalah menarik juga untuk diapresiasi. Sebut saja Teater Air Tanah Fapet Unud yang boleh dibilang "mewakili" model teater gerak yang mengutamakan kemampuan eksplorasi olah tubuh. Ini tentu juga menjadi kekayaan tambahan bagi khazanah perteateran modern di Bali. Namun, perlu dicatat, eksperimen yang dilakukan grup teater ini belum menemukan bentuknya sendiri, "bahasa tubuh" dengan "bahasa ucap"-nya juga masih berjalan sendiri-sendiri.

Penampilan Teater Matamoe dan Teater Dhyana Pura pun menarik dalam gaya dan warnanya sendiri. Drama yang benar-benar tampil dengan "pola lama" ini tentu cukup baik sebagai contoh untuk pembelajaran bagi para pemula. Meski, lantaran saking taatnya mematuhi aturan dalam penerapan bloking dan gerak pemainnya, hingga drama tersebut jadi nampak kaku, klise, bahkan terkesan kedaluwarsa.

Grup-grup teater lainnya seperti Orok, Topeng, Komunitas Botol bening, juga memiliki kemampuan yang layak diharapkan masa depannya. Teater Orok yang berani tampil sepenuhnya dengan anggota barunya yang masih sangat "hijau" tentu memang belum mampu unjuk gigi sekelas seniornya. Pun Teater Topeng yang hadir dengan gaya-warna baru nampak ada tanda-tanda perkembangan yang cukup berarti dengan para pemain berbakat yang belum tergarap lebih maksimal. Komunitas Botol Bening yang selama ini lebih populer sebagai grup musik, toh memiliki semangat tinggi bermain drama.

Ketua Panitia "Gatel se-Bali 2003", AA Ayu Savitri, mengatakan, event seperti yang digelarnya ini memang dimaksudkan sebagai ajang pembelajaran dalam berteater. Apalagi Kepala SMUK Santo Yoseph, Drs. Piet Nengah Suena telah berjanji akan menjadikan event ini sebagai kegiatan rutin tahunan, maka grup-grup teater tersebut bisa bertemu dan saling belajar lagi tahun depan.

Minggu, 07 Desember 2003

Teater Bali dan (masih) Pekerjaan Rumah

>> Membuka diri dan membuka ruang <<

Hidup tak hanya satu "folder. Tak melulu teater, teater dan teater. Tak cuma ngapalin naskah, ngapalin naskah dan ngapalin naskah.

Kapan membaca "folder-folder" yang lain? lalu menyentuh dan mengisinya?

Yakinlah bahwa saat kita bersentuhan dengan hal lain diluar teater maka akan muncul gagasan-gagasan baru.

Kamis, 30 Oktober 2003

Angkat Spirit Teater dalam Keceriaan

Catatan Pementasan Operet Teater Topeng SMAN 2 Denpasar
Dicuplik dari Bali Post 29 Oktober 2006


Bagaimana anak muda berteater saat ini? Benarkah dunia teater, sebagaimana disinyalemen sejumlah pengamat, sudah disepelekan di kalangan anak muda kini? Ah, siapa bilang. Dunia teater itu tetap hadir, tapi dalam cakrawala spirit yang berbeda -- spirit yang lebih banyak bernuansa menghibur, ceria, penuh warna, penuh canda, dan hahahaha ....


FENOMENA ini sekadar contoh, salah satunya diramaikan dengan gebrakan kelompok Teater Topeng SMAN 2 Denpasar. Pada Sabtu (21/10) lalu, kelompok ini menggelar pentas operet berjudul "RIS" di panggung aula SMAN 2 Denpasar. Dengan harga tiket masuk terjangkau saku kalangan anak muda, penonton pentas yang disutradarai Tira Shakuntala ini sungguh membludak. Sampai-sampai tiket masuk ludes sebelum pentas dimulai.


Inilah salah satu contoh bahwa tontonan teater kini sudah memasuki dimensi yang bergeser. Teater tidak lagi menjadi tontonan suntuk dengan kening para penonton yang berkerut. Namun, ia hadir dalam wilayah gebyar hiburan ala anak muda masa kini. Sebuah wilayah yang penuh canda, serius tapi santai, penuh keceriaan, penuh warna, penuh banyolan, dan tanpa beban.


Dia juga sebuah wilayah yang dipenuhi pengaruh tontonan ala "Extravaganza"-nya TransTV, film-film remaja ala "Apa Artinya Cinta" atau "Eiffel, I'm in Love", ditambah tontonan yang rada serius macam film drama musikal "Chicago". Di wilayah inilah para remaja kini berkubang dalam dinamika letupan kreativitasnya tanpa batas. Nah, jika demikian adanya, mau bilang apa soal teater?


Apa yang dilakukan Teater Topeng sudah menjawab lewat pentas operetnya. Kelompok teater yang pada 1980-an bernama Teater Sipaku-paku dengan pembina Made Taro dan Anom Ranuara -- dua tokoh teater senior Bali itu -- kini sudah memasuki babak atau cakrawala baru. Bentuk operet barangkali sudah menjadi outlet dari segudang endapan kreativitas para awak kelompok ini.


"Mengapa mesti menggarap pentas teater dengan muatan yang berat-berat? Itu kan susah dikonsumsi para remaja," ujar Tira Shakuntala, sutradara dari sejumlah pentas Teater Topeng. Bagi Tira, dunia teater di kalangan anak muda harus dihidupkan dengan cara anak muda masa kini.


Hal yang sama pun diakui Ajeng Mekar Sari yang juga asisten sutradara. Ditambahkannya, meski dunia teater kini di tangan anak muda terkesan "main-main", namun sesungguhnya di balik itu ada proses serius. "Dalam latihan kami betul-betul serius, agar tercapai kesempurnaan. Terkadang akting pemain tak sesuai dengan yang kami inginkan. Namun, kenyataan ini bukan menjadi kendala bagi kami, melainkan sebagai suatu tantangan," papar Ajeng.


Keseriusan juga diungkap Putu Gede Indra Purusha, personel senior Teater Topeng. Sebagai penanggung jawab tata panggung, Indra melakukan kerja keras. Ini semua, menurutnya, agar tata panggung betul-betul mendukung pementasan yang sudah ditata apik teman-temannya. Dan keseriusan semacam ini juga sudah dibuktikannya dalam sejumlah pentas Teater Topeng selama ini, termasuk dalam pentas operet "RIS" itu.


Nah, siapa bilang dunia teater itu kini "seram"? Dunia teater itu -- sebagaimana ditunjukkan Teater Topeng -- adalah cakrawala yang menghibur, ceria, penuh warna, penuh canda, dan hahahaha.... (tin/ana)

Senin, 13 Oktober 2003

Teater Orok Kini Mulai Berbenah

Catatan Sebelum Pentas "Tanah Air Mata"
Oktober 2003

Oleh: Nuryana Asmaudi


TEATER Orok Universitas Udayana (Unud) Denpasar sepertinya masih ingin terus menunjukkan geliat kehidupannya. Setelah sukses menggelar Pekan Performing Art (PPA) III, kini Teater Orok melakukan berbagai upaya kegiatan mulai dari latihan dasar, pentas-pentas berskala kecil hingga program pementasan besar.


Baru-baru ini, teater yang kini dipimpin Dewi ''Ines'' Aditya Ningrum Sidoarjo ini, juga sempat menggelar pentas kecil dalam rangkaian Dies Natalis Unud dengan menggarap puisi ''Tanah Air Mata'' karya Sutardji Calzoum Bachri yang dipanggungkan dalam pertunjukan dramatisasi puisi, yang sebagian besar dimainkan oleh anggota baru Teater Orok. Menurut Utay, pelatih Teater Orok saat ini, pentas dramatisasi puisi itu memang hanya sebagai pentas uji coba dan penjajagan atau ajang pengenalan pentas bagi anggota baru Teater Orok yang baru dijaring beberapa pekan lalu. Selain itu, juga untuk mengisi permintaan meramaikan acara Dies Natalis. ''Jadi, sekalian saja kami jadikan kesempatan itu buat ajang berekspresi anggota baru, agar bersemangat dan tak bosan latihan dasar terus,'' jelas Utay, yang didampingi Pimpinan Produksi Teater Orok, Martun Janah.


Menurut Utay dan Maratun, anggota baru Teater Orok saat ini yang berjumlah 15 wanita itu, perlu diberi motivasi dan dihibur hatinya dengan diberi kesempatan dipanggungkan seperti itu, agar tak berlarian meninggalkan teater lantaran bosan latihan dasar melulu. Selain dipentaskan kecil-kecilan, saat latihan rutin juga perlu diberi variasi materi latihan. Misalnya disodori naskah-naskah ringan untuk didiskusikan dan dipraktikkan, agar terbiasa mengapresiasi naskah, juga latihan improvisasi. Semua ini, sekiranya membuat anggota baru merasa punya daya tarik dan betah bertahan.


''Cuma, persoalannya, kami sangat kekurangan naskah untuk hal itu. Sehingga kalau mendiskusikan naskah, ya sering kurang bisa berkembang. Makanya, kalau ada teman-teman senior teater yang punya banyak naskah drama ringan atau monolog, tolonglah kami dipinjamkan,'' kata Utay. Latihan rutin yang dilakukan Teater Orok saat ini nampaknya memang tak selalu bisa berjalan lancar. Yang lebih sering terjadi, jadwal latihan yang tertunda atau molor dari yang dijadwalkan. Ini dikarenakan ketidakdisiplinan anggota, atau karena terlalu sedikitnya anggota yang hadir, dan seterusnya. Sebelum masuknya anggota baru, beberapa bulan lalu Teater Orok juga sempat dibantu dramawan Cok Sawitri dalam latihan-latihan dasar yang diikuti oleh anggota lama yang belum tergolong senior. Latihan seputar olah vokal, olah tubuh dan eksplorasi, yang cukup memberi bekal awal bagi mereka.


Pentas Keliling


Tapi, di luar persoalan tersebut, kelompok teater yang didirikan Giri Ratomo dkk pada 17 Oktober 1999 ini, juga punya rencana yang cukup besar sebelum menggelar acara tahunannya PPA IV pada Maret 2004. Pada Februari 2004, Teater Orok berencana mengadakan acara muhibah atau kunjungan ke beberapa teater kampus di Jawa, untuk mengadakan studi banding sekaligus pentas keliling.


Menurut Utay dan Maratun, teater-teater kampus yang akan dijadikan tempat studi dan dikunjungi tersebut antara lain Teater UGM Yogyakarta, Teater Sianak Unsoed Purwokerto, Teater Institut Unesa Surabaya, dan Teater Gabi Universitas Sriwijaya. ''Itu rencana yang sedang kami siapkan. Sekarang lagi mulai mencari dana dan persiapan latihan naskah yang akan dipentaskan. Mudah-mudahan bisa terwujud dan berjalan lancar,'' harap Maratun. ''Sampai saat ini juga belum mulai latihan naskah,'' tambah Utay yang pernah aktif di Sanggar Posti dan Teater Got Denpasar ini.


Pada tahun-tahun awal dulu, Teater Orok memang banyak mendapat kritikan bahkan diragukan beberapa kalangan teater di Denpasar, lantaran garapannya tak pernah bersungguh-sungguh dan terkesan main-main. Atau mencari jalan pintas dengan berasurd-absurd yang tak jelas dan tak dibekali dasar-dasar bermain drama yang memadai. Tapi, belakangan nampaknya ada perubahan yang cukup menggembirakan, misalnya saat mulai menggarap ''Malam Jahanam'' (Motinggo Busye) pada 18 Januari 2003 di Taman Budaya Denpasar, dilanjutkan di Kampus IKIP Singaraja.


Jadi, kalau saat ini sedang mempersiapkan program besar pentas keliling Jawa, itu artinya Teater Orok masih punya semangat untuk bangkit dan berpacu dalam berteater. Selamat!

Minggu, 30 Maret 2003

Teater Kampus yang Resah

Oleh: Cokorda Yudistira dan Nuryana A Saddys Asmara
Penyair tinggal di Denpasar

KALANGAN insan teater kampus resah. Mereka resah karena minimnya perhatian masyarakat terhadap dunia teater kampus. Terbukti selama Pekan Performing Art (PPA) Nasional III 2003 Teater Orok Universitas Udayana (Unud) Denpasar, 16-22 Maret, nyaris tidak ada penonton dari luar komunitas teater peserta.

Para aktivis dan pencinta teater dari luar kampus hanya beberapa orang saja yang menampakkan diri. Karena itu kegiatan tersebut seakan hanya sekadar pemuas nafsu pribadi-untuk mereka dan dari mereka-guna dibicarakan antarmereka sendiri.

Keresahan lain adalah masalah klasik, kendala dana, dan benturan birokrasi di kampus, persoalan manajemen organisasi dan pengaderan, serta kendala internal lainnya yang kerap membuat teater kampus menjadi kembang-kempis.

Persoalan yang juga meresahkan yaitu belum terlihat kemajuan dari para pegiat teater kampus. Kelemahan mendasar antara lain lemahnya penguasaan dasar-dasar bermain drama.

Mereka rata-rata memperlihatkan nafsu berteater yang menggebu dengan tawaran konsep dan tema-tema besar, namun lemah dalam menjadikannya suguhan yang layak tonton. Kendala lain adalah lemahnya olah vokal, olah tubuh, penguasaan teknik panggung, penjiwaan dan perwatakan, ekplorasi dan penjelajahan estetika serta unsur-unsur lainnya.

PPA Nasional III sebagai ajang pementasan tidak terhindar menjadi ajang meluapkan segala persoalan di luar persoalan teknis pementasan. Mereka sepakat membentuk jaringan antarteater kampus sebagai media sambung rasa.

Teater Orok Unud yang melibatkan sekitar 30 grup teater kampus dari seluruh Indonesia dan eksibisi dari dua teater sekolah menengah umum di Bali itu menjadi oase di tengah kehausan pegiat teater kampus. Keberanian menggelar acara ini di tengah keterpurukan kehidupan teater kampus menciptakan geliat mereka, yang rata-rata baru terjaga dari tidur.

Banyak kasus penyajian drama dalam PPA Nasional III yang tidak konsekuen dan tidak konsisten dalam pilihannya sehingga menimbulkan kesan tampil setengah hati, bahkan amburadul.

Memang ada beberapa penampilan yang menarik dan menjanjikan. Sebutlah, misalnya, Teater SiAnak Fisip Unsoed Purwokerto dengan lakon Godlob-nya Danarto, Teater Institut Universitas Negeri Surabaya yang menggarap naskah Mesin karya Hamlet, atau Teater Gabi FKIP Universitas Sriwijaya Palembang.

Mereka memenuhi standar sebuah pementasan drama yang enak ditonton dalam kapasitasnya sebagai teater kampus.

Besar harapan yang dibebankan dalam acara PPA Nasional III 2003 ini. Mereka diharapkan membantu membuka cakrawala dan membangun kembali iklim perteateran kampus.

Selain kegiatan di dalam kampus, beragam kegiatan di luar kampus juga mendukung keberadaan teater kampus. TVRI pernah mementaskan teater modern dan menggelar sejumlah workshop teater. Sanggar Minum Kopi mengadakan lomba cipta puisi nasional selama 10 tahun berturut-turut. Kegiatan tersebut membuat denyut perteateran kampus menjadi dinamis pada masa itu. Akhir tahun 1990-an, aktivitas teater kampus hampir kosong.

Acara seperti temu-kumpul teater semacam PPA Nasional III ini penting untuk memberi napas baru bagi teater kampus.

Liputan Pekan Performing Art Nasional III

Kampus Universitas Udayana Denpasar-Bali 16-22 Maret 2003

Mungkin sebelumnya saya minta maaf dulu buat kawan-kawan yang nilai pelajaran bahasa Indonesia-nya di bawah 7, cuma kalo mo belajar soal sastra ya nggak papa sih. Sebelum tahun ’50 kita, kita kenal nama-nama tokoh teater seperti : Usmar Ismail, Asrul Sani, Idrus, Trisno Sumardjo. Sedang tahun di tahun ’50 an kita kenal Utuy Tatang Sontani, Sitor Situmorang, Rustandi Kartakusuma dkk. Di tahun ’60 an buku pelajaran sekolah kita mencatat nama-nama seperti Motinggo Bosye, Kirjomulyo, WS Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Iwan Simatupang dll. Sehingga nggak heran kita sempat punya sutradara-sutradara film yang handal di tahun 60 an hingga awal 80 an, setelah itu kita punya nama-nama sutradara film-film ranjang yang nggak pantes di bangga kan.

Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta, Cau Bau Kan harus diakui adalah film yang jadi kebangkitan dunia perfilman nasional. Dengan didukung semangat, kematangan penyutradaraan, kuatnya karakter para aktor dan aktris dan sokongan tim marketing membuat fim ini jadi tren setter (sorry buat mas Garin dan Harry, abis film anda nggak terlalu ditonton orang sih). Kemunculan kedua film ini lalu di ikuti oleh beberapa film yang lain seperti Joshua oh Joshua, Jailangkung, Andai Dia Tahu, Rumah Ke Tujuh de el el yang sayangnya kurang didukung oleh kemampuan dalam oleh vokal, gesture tubuh, intonasi dialog, mimik dan akting para pemeran. Selain itu rasa keinginan sutradara untuk secepatnya menyelesaikan film membuat naskah, penonton, alur film dan si aktor menjadi tidak menyatu (bahasa gue film-nya basi).

Tak heran kadang kita bisa dengan mudahnya menebak kemampuan seorang pemeran fim dari ketidakmampuannya memerankan sang tokoh dalam naskah, yang ada adalah kemunculan individu pemeran tersebut mempengaruhi sang tokoh dalam film tersebut. Ya, karena emang untuk saat ini bintang-bintang sinetron atau film tersebut tidak memiliki bekal kemampuan dalam bidang teater, ya jangan salahkan mereka kalo kadang akting mereka ya gitu-gitu aja meski sutradaranya atau penulis naskahnya lulusan dari luar negeri sana. Dan herannya kenapa sih yang jadi artis Indonesia wajib bertampang indo jarang banget yang face-nya eksotis paling Lola Amaria, nggak seperti industri film di luar negeri yah kiblat kita Hollywood. Di sana bukan hal yang aneh kalo kadang kita nemu in tampang-tampang negro ruwet yang diliat aja ogah tapi aktingnya top punya.

Kemapanan versus Kemauan

Di tengah geliat teater tradisional di kancah nasional seperti wayang, ketoprak, ludruk, srimulat, lenong. Kawan-kawan Teater Orok Noceng Universitas Udayana yang dengan gagah berani mengadakan (dengan minim biaya) event teater tingkat nasional mendahului Pekan Seni Remaja XIX tingkat Bali yang diadakan oleh Pemkot Denpasar dengan segala kemapanannya.

Romantisme, itu kata pertama kita kalo ngomongin tentang dunia teater di Bali. Kenapa ?, karena sempat pada era ’80 an dan ’90 an di Bali (tepatnya Denpasar, Negara dan Singaraja) beberapa komunitas teater mucul di kalangan mahasiswa, pelajar dan profesional. Contoh aja Teater Keliling, Teater Kluster, Sanggar Purbacaraka (Fak Sastra Unud); Teater Yusticia (Fak hukum Unud); Teater Equilibrium (Fak ekonomi Unud); Teater Hipocrates (Fak Kedokteran Unud); Teater Semar (Fak Pertanian Unud); Teater Orok (Unud); Teater Seribu Jendela (IKIP Singaraja); Teater Kampus (Univ Marwadewa) dan Teater Univ Hindu Indonesia.

Di kalangan sekolah, ada Teater Angin (SMU 1 Denpasar); Teater Topeng (SMU 2 Denpasar); Teater Trisma (SMU 3 Denpasar); Teater Blabar (SMU 4 Denpasar); Teater SMU 5 Denpasar; Teater SMU 6 Denpasar; Teater Antariksa (SMU 7 Denpasar); Teater Ombak, Sanggar Jineng Smasta, Teater Gugat (SMU Santo Yosep); Sanggar Cipta Budaya (SMP 1 Denpasar), Teater Lingkar (SMP 2 Denpasar), Teater SMP 3 Denpasar; Sanggar Yogiswari (SMP 10 Denpasar) dst.

Di kalangan profesional ada Sanggar Putih, Sanggar Minum Kopi, Teater Agustus, Teater Mini (Badung); Teater Poliklinik, Sanggar Binduana (Klungkung); Sanggar Posti, Teater Got, Sanggar Seni Banyuning (Buleleng); Teater Kene, Sangar Susur, Teater GAR, Bali Eksperimental Teater, Sanggar Jukut Ares (Tabanan); Teater Mentah, Sanggar Nyuh Gading, Sanggar Arak Api, Sanggar Pondok Pekak (Ubud-Gianyar); Teater Hitam-Putih, Sanggar Bukit Manis (Buleleng) de el el.

Awal kemuculan mereka gara-gara booming event, parade kesenian dan lomba kesenian. Hingga saat ini hanya 3 kelompok teater kampus yang masih terdengar seperti Teater Orok, Sanggar Purbacaraka dan Teater Seribu Jendela, lainnya entah kemana. Padahal kini para veteran teater kampus sudah menjelma menjadi dosen di almamaternya, birokrat, peneliti, bisnisman, anggota MPR dst. Kelemahan mendasar dari mereka adalah rendahnya mutu manajemen dan sistem kaderasisasi.

Sedang untuk kelompok Teater Sekolah hanya Teater Angin, Teater Topeng, Teater Trisma, Teater Antariksa, Teater Blabar, Sanggar Cipta Budaya dan Teater Lingkar yang masih eksis. Permasalahan terkrusial dari teater sekolah adalah bejibunnya birokrat sekolah yang mata duitan sehingga menganggap kegiatan teater cuma sarang anak-anak pemberontak, kegiatan kelas kampung, kurang pintar. Hal ini wajib dimaklumi karena secara umum kalangan orang tua hanya memandang sebelah mata pada ilmu-ilmu humaniora (bahasa dan ilmu sosial) yang didalamnya adalah pembentukan budi pekerti bagi kehidupan sosial mereka nanti. Anak-anak sekolah hanya dipaksa untuk belajar ilmu eksata (Fisika, Matematika, Biologi dll), akibatnya generasi Indonesia kering budi pekerti, kasar, anti sosial, tukang korupsi dll.

Nah untuk kelompok teater profesional yang masih berkibar hanya Teater Agustus (Gus Martin dkk), Teater Got (Agung Eksa Wijaya), Bali Eksperimental Teater (Nanoq da Kansas dkk), Sanggar Seni Banyuning (Putu Satria Kusuma dkk), Sanggar Kukuruyuk (Made Taro), Sanggar Posti (Yonas dkk), Bani Production (Dewa Jayendra dkk), Kalangan Rurung Rai (Rai Sulastra dkk) dan Komunitas Kembang Lanang yang bergerak di bidang sastra, performance art dan seni rupa.

Dari Seluruh Nusantara mereka berkumpul

Pementasan teater ini didukung oleh seluruh teater kampus dan beberapa teater sekolah seperti Teater Sianak (Unsoed Purwokerto), Teater Gabi (Unsri Palembang), Teater Pagupon (UI Jakarta), Teater Putih (Unram Mataram), Teater Kampus (Unhas Makasar), Teater Himasindo (Unlam Banjarmasin), Bengkel Sastra Indonesia (Unhalu Kendari), Sanggar Purbacaraka (Unud Bali), Teater Titik Dua (UNM Makasar), Teater Hampa (Univ Malang), Teater Bening (STKIP Hamzan Wadi NTB), Teater Talas (UMM Makasar), Teater Institut (Unesa Surabaya), Sanggar Bahana Antasari (IAIN Antasari Banjarmasin), Studi Teater (IKJ Jakarta), Forum Apresiasi Sastra (Unlam Banjarmasin), Teater Kampus (UNM Makasar), Teater Yupa (Unmul Samarinda), Teater Satu Mei (Stimik Handayani Makasar), UPKSBS (UMI Makasar), Sanggar Seni (STIEM Makasar), Sang Dipa ( Stimik Dipanagara Makasar), UKM Seni Budaya Esa (IAIN Alaudin Makasar), Bengkel Sastra (UNM Makasar), Teater Halouleo (Unhalu Kendari), Teater Topeng (SMU 2 Denpasar), Teater Blabar (SMU 4 Denpasar), Teater Syahkuala (Nanggroe Aceh Darrusalam), Teater Nol (Nanggroe Aceh Darrusalam) dan Teater Rongsokan (Nanggroe Aceh Darrusalam). Ditambah pementasan Cok Sawitri, Yuanita Ramadhani dan W.S Rendra.

Total selama sepekan seluruh pecandu sastra dan orang-orang gila di kampus Universitas Udayana terpuaskan oleh segala cerita dan tingkah polah manusia-manusia aneh tersebut. Nggak tanggung kalo boleh dibilang, contoh aja demi sebuah setting sumur khas kampung-kampung di indonesia. Anak-anak Sanggar Bahana Antasari sampe beneran bikin sumur plus air (bener-bener nih) untuk adegan MCK (Mandi Cuci dan Kumur-kumur) di sumur. Menarik sih menarik cuma bikin gue yang punya tanggung jawab sound sytem deg-deg an. Nggak Cuma performing art aja kawan-kawan teater juga pada kompakan untuk aksi solidaritas anti perang, wujudnya aksi diam karena toh mo teriak-teriak Bush dan Saddam tetep aja cuek bebek maen perang-perangan.

Sabtu, 01 Maret 2003

Kisah Resah Teater di Bali

Oleh WAYAN SUNARTA

Saban kali berbincang masalah teater di Bali—baik itu teater kampus, teater sekolah, maupun teater profesional—kita senantiasa akan terjebak dalam romantisme berkepanjangan. Kita hanya bisa mengenang—seringkali tanpa sudi berbuat sesuatu— kejayaan masa lalu teater di Bali, era 1980-an dan 1990-an, di mana kelompok-kelompok teater bermunculan bagai laron di musim penghujan. Dan sebagaimana layaknya laron, teater yang jumlahnya lumayan banyak itu, satu per satu melepas sayapnya, lalu mati dengan mewarisi sekelumit kisah kejayaan.

Sang waktu dan sejarah telah mencatat, ada puluhan teater yang pernah meramaikan dunia perteateran di Bali pada era itu. Kelompok-kelompok teater itu tersebar hampir di semua kabupaten di Bali. Namun yang paling menonjol adalah tiga titik pertumbuhan teater yang sangat pesat, yaitu Denpasar, Singaraja dan Negara dengan para tokohnya yang rata-rata sudah dikenal di tingkat nasional.

Dari kalangan teater kampus, Bali pernah mencatat keberadaan Teater Keliling, Teater Kluster, Sanggar Purbacaraka (Fakultas Sastra Unud), Teater Yusticia Fak. Hukum Unud, Teater Equilibrium Fak. Ekonomi Unud, Teater Hipokrates Fak.Kedokteran Unud, Teater Semar Fak.Pertanian Unud, Teater Orok Unud, Teater Seribu Jendela IKIP Singaraja, Teater Kampus Univ. Warmadewa, Teater Kampus Unhi.
Di kalangan sekolah, muncul Teater Angin SMU 1 Denpasar, Teater Topeng SMU 2 Denpasar, Teater Trisma SMU 3 Denpasar, Teater Blabar SMU 4 Denpasar, Teater SMU 5 Denpasar, Teater SMU 6 Denpasar, Teater Antariksa SMU 7 Denpasar, Teater Ombak, Sanggar Jineng Smasta, Teater Gugat SMU Santo Yosep, Sanggar Cipta Budaya SMP 1 Denpasar, Teater Lingkar SMP 2 Denpasar, Teater SMP 3 Denpasar, Sanggar Yogiswari SMP 10 Denpasar, dan sebagainya.

Bali juga mencatat kehadiran teater profesional, seperti Sanggar Putih, Sanggar Minum Kopi, Teater Agustus, Teater Mini Badung, Teater Poliklinik, Sanggar Binduana Klungkung, Sanggar Posti, Teater Got, Sanggar Seni Banyuning-Buleleng, Teater Kene, Sanggar Susur, Teater GAR, Bali Eksperimental Teater, Sanggar Jukut Ares Tabanan, Teater Mentah, Sanggar Nyuh Gading, Sanggar Arak Api Ubud, Sanggar Pondok Pekak Ubud, Teater Hitam-Putih, Sanggar Bukit Manis Buleleng, Teater Kebun Bayam, Sanggar Kokokan Talang-talang, Sanggar Surabi, Kalangan Rurung Rai, Komunitas Pojok, Komunitas Kembang Lalang, dan beberapa nama yang luput dari perhatian.
Pada mulanya, kemunculan kelompok-kelompok teater itu juga dipicu oleh adanya banyak event, parade, dan lomba teater di Bali saat itu. Sebutlah misalnya event Lomba Drama Modern yang digelar setiap dua tahun sekali oleh Fakultas Sastra Unud, Parade Performance Art oleh Teater Orok Unud, Pesta Kesenian Bali di Art Centre, Pekan Seni Remaja (PSR) Denpasar, pementasan berkala dan event-event yang bersifat insidental.

Sampai saat ini, teater kampus yang masih bertahan dan terdengar gaungnya dalam berbagai aktivitas adalah Teater Orok, Sanggar Purbacaraka dan Teater Seribu Jendela. Selebihnya tenggelam di telan zaman. Padahal di kampus Unud sendiri, pada masa-masa jayanya, hampir setiap fakultas memiliki kelompok teater. Kini tokoh-tokohnya sebagian besar menempati posisi penting, seperti menjadi dosen di alma maternya, peneliti, birokrat, pebisnis, anggota MPR, dan sebagainya.
Selama ini, kelemahan paling mendasar teater kampus di Bali adalah lemahnya manajemen organisasi dan kaderisasi. Banyak para senior teater kampus yang tidak mampu memanajemen organisasi dan para anggotanya, serta tidak sanggup menerapkan sistem kaderisasi yang baik. Karena jangka waktu perkuliahan yang relatif lama, teater kampus sebenarnya memiliki waktu kreatif yang lebih banyak, dibandingkan teater sekolah yang hanya 3 tahun. Semestinya teater kampus mampu menjadi teater yang profesional.
Teater sekolah masih relatif bertahan karena telah menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang formal dan birokratis. Namun teater sekolah yang masih aktif, dalam arti sering menggelar event sastra/teater dan pementasan, adalah Teater Angin, Teater Topeng, Teater Trisma, Teater Antariksa, Teater Blabar, Sanggar Cipta Budaya dan Teater Lingkar. Selebihnya tiada kabar berita lagi.

Sesungguhnya tujuan mulia teater sekolah adalah wadah penumbuhan dan pemeliharaan ji-wa-jiwa kreatif di bidang sastra dan drama. Terlalu berlebihan bila mengharapkan semua lulusan teater sekolah akan menekuni teater seterusnya dan bisa menjadi aktor, aktris atau sutradara. Karena hal itu lebih bersifat pada pilihan hidup dan profesi.
Yang bisa diharapkan dari anggota teater sekolah adalah tumbuhnya karakter, watak yang berguna bagi masyarakat, melalui proses pendidikan budi pekerti, simpati dan empati terhadap penderitaan atau kebahagiaan sesama manusia.
Permasalahan teater sekolah yang paling terasa adalah minimnya pembina (biasanya dari guru bahasa Indonesia) yang memiliki kecintaan berlebih terhadap sastra/teater. Tugas membina anak didik seringkali dikerjakan sambil lalu, sekadar mengejar kredit point, dan honor tambahan. Tidak ada jiwa ngayah (ikhlas) pada mereka untuk ikut menumbuhkan budi pekerti anak didik lewat seni sastra/teater.

Yang parah lagi, ada kepala sekolah yang menganggap ekstrakurikuler sastra/teater adalah sejenis kegiatan kelas kambing, tidak bergengsi, sarang anak-anak bandel yang suka melawan sekolah. Teater menjadi ekstrakurikuler anak tiri di sekolah itu. Ada pula kepala sekolah dan orang tua siswa yang terlalu mementingkan ilmu-ilmu eksakta (fisika, biologi, kimia, matematika), dan memandang remeh ilmu humaniora yang membentuk budi pekerti, macam sastra/teater itu. Padahal mereka tahu bidang sastra pun ada hadiah nobelnya. Pendek kata, sastra/teater adalah ekstrakurikuler paling marginal di sekolah.

Banyak juga teater sekolah yang tidak memiliki pelatih tetap. Bahkan yang tragis lagi, ada beberapa sekolah (terutama swasta) yang tidak mempunyai ekstra sastra/teater sehingga bakat-bakat potensial dari siswa tidak tersalur dengan benar. Biasanya teater sekolah akan mulai menggeliat dan rame-rame mencari pelatih bila ada event lomba sastra/teater. Kalau tidak sedang menghadapi lomba, jarang yang rela latihan serius.
Nasib teater profesional lebih parah lagi. Sebagian besar sudah mati, mewarisi setumpuk kenangan usang. Para pendiri serta tokoh-tokohnya yang sebagian besar masih hidup, layaknya para veteran perang yang nyinyir mengisahkan kejayaan masa silam, ketimbang ikut suntuk memikirkan perjuangan selanjutnya, terutama menumbuhkan dan memelihara bibit-bibit baru di taman teater kita.

Teater profesional yang masih bertahan hingga kini bisa dihitung dengan jari tangan (tanpa jari kaki). Sebutlah misalnya, Teater Agustus (Gus Martin dkk), Teater Got (Agung Eksa Wijaya), Bali Eksperimental Teater (Nanoq da Kansas dkk), Sanggar Seni Banyuning (Putu Satria Kusuma dkk), Sanggar Kukuruyuk (Made Taro), Sanggar Posti (Yonas dkk), Bani Production (Dewa Jayendra dkk), Kalangan Rurung Rai (Rai Sulastra dkk), dan Komunitas Kembang Lalang yang bergerak di bidang sastra, performance art, dan seni rupa.

Bulan Maret tahun ini bisa jadi merupakan bulan terindah bagi pelaku dan pecandu teater di Bali. Ada dua event teater penting yang akan tergelar pada waktu yang hampir bersamaan. Tanggal 16-22 Maret 2003 Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Orok Unud menggelar Parade Performance Art III yang akan diikuti sejumlah grup teater dari beberapa kota di Indonesia. Pada 27 dan 29 Maret 2003 digelar lomba drama modern Pekan Seni Remaja (PSR) XIX oleh Pemkot Denpasar.

Keberanian Teater Orok dengan dana minim menggelar event teater tingkat nasional akan bersanding dengan formalitas Pemkot, yang ditunjang biaya besar menggelar PSR, tapi yang dari tahun ke tahun nyaris tanpa perubahan dan kemajuan berarti. Dalam dua event bergengsi ini, para pecandu teater akan bisa menyaksikan, menikmati dan mengukur kemajuan teater sekolah, teater kampus dan teater profesional di Bali dan beberapa kota di Indonesia.

Dengan penampilan teater-teater dari luar Bali dalam Parade Performance Art III, semoga bisa menjadi pancingan bagi para aktivis teater di Bali untuk kembali menumbuhkan dan memelihara benih-benih teater yang selama ini terlupakan. Sekali lagi, semoga!***

Penulis adalah pecandu teater dan aktivis Komunitas Kembang Lalang

Senin, 20 Januari 2003

Teater Bali Modern Belum Mati?

''Malam Jahanam'' Teater Orok
18 Januari 2003

Oleh: Iwan Darmawan


Apakah eksisnya Teater Orok bisa dipakai sebagai indikator bahwa teater Bali modern belum mati? Bisa ya, cuma belum kondusif. Kondisi belum kondusif ini dalam arti belum ada sebuah pemicu sehingga bermunculan teater baru yang berlomba-lomba mengejar pencapaian kreatif. Tidak adanya festival teater tentu bisa dijadikan salah satu kambing hitam, tapi bagaimana sebuah festival akan diselenggarakan bila cuma ada dua teater yang masih hidup? Persoalan klasik ini terus menjadi bahan pembicaraan di komunitas sastra di Bali bila sebuah teater muncul atau berproduksi. Sebuah keberanian memang diperlukan, tapi apakah harus berharap pada Teater Orok?


USAI pementasan "Malam Jahanam" karya Motingge Busye di Wantilan Taman Budaya Denpasar, Sabtu (18/1), pertanyaan pertama yang penulis utarakan pada sang sutradara Tomo, adalah kenapa kelompok Teater Orok belum mati. Perkenalan pertama pada teater yang didirikan 17 Oktober 1999 ini terjadi dua tahun lalu, saat melakukan latihan di Wantilan Taman Budaya, persiapan festival teater mahasiswa nasional di Kalimantan Timur (2001).

Setelah itu, Teater Orok terlupakan sampai sebuah billboard sederhana yang dipasang di depan kampus Unud mengabarkan bahwa teater kampus Universitas Udayana ini akan mempertunjukan produksi terbarunya. Mengejutkan tentu. Karenanya, timbul dalam pikiran pertama kali adalah kenapa Teater Orok belum juga mati, sementara teater lainnya di Bali cuma bisa diingat dari "nisan" karya-karyanya saja.


Lalu, masih eksisnya Teater Orok ini apakah bisa dipakai sebagai indikator bahwa teater Bali modern belum mati? Sebelum menjawab ini, orang juga harus mengingat kembali bahwa ada satu teater modern lagi yang masih giat bekerja, yakni teater Komunitas Seni Banyuning (KSB) pimpinan Putu Satria Kusuma yang memiliki home base di Buleleng. Dua teater ini tentu bisa dipakai sebagai tolok ukur bahwa teater modern Bali belum mati, cuma belum kondusif. Kondisi belum kondusif dalam arti belum ada sebuah pemicu sehingga bermunculan teater baru yang berlomba-lomba mengejar pencapaian kreatif. Tidak adanya festival teater tentu bisa dijadikan salah satu kambing hitam, tapi bagaimana sebuah festival akan diselenggarakan bila cuma ada dua teater yang masih hidup? Seperti menanyakan mana yang lebih dulu ayam atau telor jadinya.


Persoalan klasik ini terus menjadi bahan pembicaran di komunitas sastra di Bali bila sebuah teater muncul atau berproduksi, lalu siapa yang harus mengambil alih. Sebuah keberanian diperlukan, tapi apakah harus berharap pada Teater Orok? Tentu masih harus ditunggu.


Agak Kedodoran


Kembali kepada aktivitas Teater Orok yang malam itu langsung "diadili", Tomo sang sutradara jelas-jelas mengakui bahwa produksinya memang agak kedodoran, khususnya dalam vokal pemain yang belum maksimal. Selain itu, yang agak mengejutkan karena Teater Orok yang selama ini selalu menampilkan gaya kontemporer atau malah absurd, malah mengambil "Malam Jahanam" -- sebuah naskah realis.


Pada posisi mana pun teater Orok saat ini, tentu yang patut diacungi jempol adalah keberaniannya melakukan pementasan teater modern Bali di Taman Budaya, yang notabene sepi bila tidak ada pertunjukan atau Pesta Kesenian Bali (PKB). Pun keberhasilannya mengelola penonton (mengundang) sehingga ruang Wantilan penuh sesak, berbeda dengan teater lain yang hanya ditonton "teman-teman" saja akibat tidak mampu mendatangkan penonton.

"Malam Jahanam" yang bercerita tentang perselingkuhan antara Soleman (Agung Hary) dengan Paijah (Ratna Ariyati) istri dari Mat Kontan (Kori). Namun naskah menjadi kehilangan kejahanamannya karena dimainkan rada komedi, entah sengaja atau tidak. Kemampuan vokal yang sedang-sedang saja di tengah keramaian penonton membuat dialog terjadi terpatah-patah sehingga pesan tidak tersampaikan pada penonton. Permainanan teater akhirnya terlihat monoton. Untung ada tokoh Utay si orang sinting (Yosep Maulana) yang malah muncul dengan enteng dan setiap gerakannya mengundang tawa. Sisipan tokoh tukang pijat (Ines) seperti dipaksakan karena hampir tidak mempengaruhi plot. Penonton yang tidak pernah tahu naskah Motingge Busye ini bisa menebak bahwa tokoh tukang pijat itu ada, tapi membingungkan posisinya.


Tomo kembali memberi pembelaan bahwa mereka baru belajar dan sedang bermain-main di wilayah kreatif. Tentu pembelaan ini harus diterima dengan lapang dada. Hanya persoalannya, kalau Teater Orok yang sudah memiliki pengalaman mementaskan banyak karya terus bermain-main, lalu apa yang bisa ditunggu kecuali kematiannya? Maka, harapan besar ditumpukan pada Teater Orok untuk tidak segera lengser, tentu dengan membangun manajemen yang baik dan kaderisasi yang mapan.


General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan