>>Catatan kedua<<
Kenapa di Negara, Singaraja dan Denpasar kondisi teater modernnya "sudah agak mendingan" dibandingkan dengan enam kabupaten lain?
Di Negara, tahun 1993-an, teater Kene didirikan oleh Nanoq da Kansas. Seiring waktu kemudian Teater Kene mengubah nama menjadi Bali Experimental Teater. Berbagai pertunjukan pernah mereka pentaskan di Negara, Denpasar dan Singaraja. Bahkan mereka juga pernah berkeliling Jawa dan juga pentas di Jakarta. Selain mengadakan pementasan, Bali Experimental Teater pada kurun 1998-2000 juga rutin menggelar acara RAJER BABAT. Event ini merupakan ajang apresiasi antar pelaku dan komunitas seni; teater, sastra dan lukis. Bukan hanya kelompok seni yang ada di Bali, namun event ini juga beberapa kali diikuti oleh kelompok seni dari Jawa, Lombok dan Sumatra. Pementasan, diskusi dan pameran digelar tak hanya memusat di satu tempat tetapi menyebar di beberapa tempat Negara. Hal tersebut membuat masyarakat Negara (ikut merasa) terlibat dalam event. Tak heran bila sampai tahun ini (2007) masyarakat Negara tak terlalu buta dalam mengapresiasi teater maupun seni sastra.
Di Singaraja, sepanjang tahun 1990-an hingga sekarang sering terjadi peristiwa teater yang diadakan kelompok teater lokal Singaraja, maupun kelompok teater tamu dari luar Singaraja bahkan dari luar Bali.
Teater Seribu Jendela merupakan teater kampus yang dimiliki Undiksha (dulu IKIP Negeri Singaraja). Mereka cukup produktif mengadakan pementasan, rutin melakukan regenerasi anggota dan menggelar festival teater di Singaraja. Dukungan dari pihak kampus membuat Teater Seribu Jendela tetap bertahan hingga sekarang, meski sempat mengalami masa pasang surut seperti layaknya teater kampus lain.
Adalah prof Sunaryono Basuki (dosen senior di Undiksha), Hardiman (dosen seni rupa Undiksha) dan jajaran staf akademik lain yang selalu menjadi "pemomong" mahasiswa-mahasiswa Undiksa yang tergabung di dalam Teater Seribu Jendela.
Di luar kampus, Sanggar Kampung Seni Banyuning yang dimotori Putu Satria Kusuma merupakan kelompok teater modern yang produktif. Hampir setiap tahun dari tahun 1990an akhir hingga 2007 ini mereka selalu mewakili kabupaten Buleleng untuk pentas teater modern di Pesta Kesenian Bali.
Denpasar, sebagai pusat pemerintahan propinsi, irama teater modern sudah terdengar sejak 1980-an. Tahun 1980-an, teater modern digelorakan oleh Abu Bakar, Anom Ranuara dan Kadek Suardana. Pertunjukan-pertunjukan teater sering mereka lakukan dengan benderanya masing-masing sebagai kelompok teater independen. Abu Bakar dengan bendera Teater Poliklinik, Anom Ranuara dengan Teater Mini Badung dan Kadek Suardana dengan Sanggar Putih. Pertunjukan-pertunjukan giat mereka lakukan baik sebagai pementasan tunggal maupun "dalam rangka" pesanan instansi tertentu. Mereka juga acap bermain untuk pertunjukan di TVRI Denpasar. Persentuhan mereka dengan mahasiswa dan pelajar, memberi inspirasi bagi pelajar dan mahasiswa membikin kelompok teater.
Tahun 1990an, di Universitas Udayana, hampir setiap fakultas memiliki kelompok teater. Sebutlah teater Justisia yang dimiliki fakultas hukum, Sanggar Purbacaraka milik fakultas sastra, fakultas ekonomi mempunyai teater Equilibrium, Teater Hipokrates dimiliki fakultas kedokteran. Sedang di SMA, teater Angin dimiliki SMA 1 Denpasar, teater Tiga dimiliki SMA 3 Denpasar.
Program perlombaan teater modern yang diadakan oleh senat mahasiswa fakultas sastra Universitas Udayana yakni Lomba Drama Modern setiap tahun agaknya memacu tumbuhnya kelompok-kelompok teater dan saling bersaing untuk terus berkarya. Sayangnya gegap gempita LDM yang diadakan sekali dalam setahun, mati di tahun 1997. Seiring matinya lomba drama modern tersebut, perlahan kelompok teater umum dan teater kampus yang pada tahun 1990 semakin banyak, turut pula gulung tikar. Teater-teater fakultas anggotanya makin menipis dan berakhir tragis. Sementara kelompok teater umum dan sanggar seni modern lambat laun tersengal-sengal.: hidup segan mati tak mau.
*bersambunglah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar