Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Selasa, 19 Desember 2006

Festival Tirtagangga I

FESTIVAL TIRTAGANGGA I
22 -24 DESEMBER 2006
TAMAN TIRTA GANGGA
DESA ABABI KECAMATAN DENPASAR
KABUPATEN KARANGASEM
BALI-TIMUR
PENGHORMATAN BAGI IBU
DAN
IBU BUMI (PERTIWI)
(HARI IBU, 22 DESEMBER)
KOMUNITAS TIRTAGANGGA
MEMPERSEMBAHKAN:
SENI MUSIK SPIRITUAL YOGANANDA:
PESRAMAN SARASWATI MAHAPRADNYA
DESA PENYATUR SAREN, BUDAKELING
KARANGASEM
SENI MUSIK TRADISIONAL KARANGASEM:
GENJEK TIRTAGANGGA
CEPUNG SEMALUNG
SENI MUSIK MODERN
(LAGU BERBAHASA BALI):
GADING BAND
PESTA BACA PUISI
ARTAWA, BRATA, COK SAWITRI, KENITEN, MUDA WIJAYA, TUSTHI EDDI, RAKA KUSUMA, REDIKA, SUNARTA , PUDANARYA (Karangasem)
ABU BAKAR (Denpasar), ANGGA WIJAYA (Negara),
GAYATRI MANTRA (Sabha Yowana Denpasar), YASTINI (Tabanan)
Kolaborasi Seni Bali-Lampung:
Sanggar Kerthi Bhuana Lampung-Sumatra
WORKSHOP SENI:
TEATER BALI - MODERN
Oleh:
COK SAWITRI
MEDIA DAN PENGEMBANGAN SASTRA DAERAH BALI
Oleh:
BALI ORTI (MEDIA BALIPOST)
DAN
MAJALAH BURATWANGI (KARANGASEM)
SENI LUKIS:
MADE BUDIANA (Denpasar) , WAYAN REDIKA ( Sanggar Lempuyang Karangasem), SUPENA (Kelompok Galang Kangin, Gianyar)
KOMPETISI SENI LUKIS DAN BACA PUISI
TINGKAT SD, SMP, SMA SE- KABUPATEN KARANGASEM
***************************
English
PReMIeRe
TIRTAGANGGA ART FESTIVAL
DECEMBER 22-24, 2006
TAMAN TIRTA GANGGA
DESA ABABI KECAMATAN DENPASAR
KABUPATEN KARANGASEM
(EASTERN BALI)
“OFFERING TO MOTHER
AND
MOTHER OF THE LAND (PERTIWI)”
(Mother Day, December 22)
TIRTAGANGGA community
PRESENTS:
YOGANANDA SPIRITUAL MUSIC :
PESRAMAN SARASWATI MAHAPRADNYA
DESA PENYATUR SAREN, BUDAKELING
KARANGASEM
TRADISIONAL MUSIC Of KARANGASEM:
GENJEK TIRTAGANGGA---CEPUNG SEMALUNG---RINDIK ABABI
MODERN BALINESE SONGS:
GADING BAND
POEMS READING FIESTA
ARTAWA, BRATA, COK SAWITRI, KENITEN, MUDA WIJAYA, TUSTY EDDI, RAKA KUSUMA, REDIKA, SUNARTA , PUDANARYA
(Karangasem)
ABU BAKAR (Denpasar), ANGGA WIJAYA (Negara),
GAYATRI MANTRA (Sabha Yowana Denpasar), YASTINI (Tabanan)
Balinese-lampung Art Colaboration:
Kerthi Bhuana Lampung-Sumatra
aRt WORKSHOPs:
BALI - MODERN Theater
By:
COK SAWITRI
MEDIA and DEVELOPING BALI LITERARY
By:
BALI ORTI (MEDIA BALIPOST)
And
BURATWANGI Magazin (KARANGASEM)
PAINTING:
MADE BUDIANA (Denpasar) , WAYAN REDIKA ( Sanggar Lempuyang Karangasem), SUPENA (Kelompok Galang Kangin, Gianyar)
Painting and Poem Reading Competition :
Students in Karangasem Regency

Minggu, 29 Oktober 2006

Susahnya Melacak Jejak para Aktor Sekolah

Semarak Pekan Seni Remaja (PSR) Kota Denpasar 2006 baru saja usai. Di PSR yang merupakan program tahunan sebagai ajang adu kreativitas seni antarsiswa tingkat SMP maupun SMA/SMK ini, berbagai cabang kesenian -- tradisi maupun modern -- dipertandingkan. Namun, menengok perkembangannya selama lima tahun ke belakang, apakah PSR semakin dewasa ataukah menurun drastis seperti ajang kanak-kanak yang hanya menggenapi sebuah rutinitas?

---------------

ADALAH lomba drama modern (LDM), salah satu cabang perlombaan seni modern yang selalu diikutkan dalam PSR. Mengutip pernyataan Ketua Panitia PSR 2006 bahwa ajang ini merupakan program pencarian bibit-bibit potensi dalam bidang seni, maka selayaknya pelaksanaan LDM PSR ini segera dievaluasi ulang.

Secara kuantitas, peserta LDM dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang menyegarkan bagi iklim perteateran sekolah. Betapa tidak, tahun 2006 ini saja ada sembilan SMA dan enam SMP yang mengirimkan dutanya. Dibandingkan dengan peserta LDM tahun 2000, tentu ini adalah indikator yang bagus bagi penggalian bakat dan minat siswa terhadap teater. Sebelum tahun 2000, peserta LDM amat minim. Paling-paling hanya diikuti oleh Teater Angin SMAN 1 Denpasar, Teater Topeng SMAN 2 Denpasar, Teater Tiga SMAN 3 Denpasar dan Teater Antariksa SMAN 7 Denpasar. Sementara Teater Blabar SMAN 4 Denpasar, Teater Wayang SMAN 5 Denpasar dan Teater Enam SMAN 6 Denpasar terkadang turut berpartisipasi dan kadang tidak.

Baru setelah tahun 2001, LDM diikuti hampir semua kelompok teater SMA. Bahkan pada 2003, bertambah satu peserta dari sekolah swasta yaitu Teater La Jose dari SMAK Santo Yoseph. Hal yang mengejutkan terjadi pada 2004, bertambah pesertanya dari SMA Dharma Praja -- meski disayangkan pada tahun berikutnya sekolah ini tidak lagi mengirimkan dutanya.

Hampir sepanjang tahun 2000 hingga 2006, pementasan-pementasan yang disajikan saat LDM menunjukkan gejala kreativitas anak muda yang sangat berbakat. Keliaran-keliaran serta kenakalan positif di usia remaja yang tengah bergejolak tercurah habis dalam bentuk pementasan. Tidak heran, bila orang harus terhenyak saat menyaksikan pementasan dalam LDM ini. Betapa ide kreatif mereka sangat hebat dan pementasan yang disajikannya sangat menarik untuk dikaji.

Berbeda dengan LDM sebelum tahun 2000-an, di mana lakon-lakon yang dipentaskan terus-menerus sama dan terkesan itu-itu saja, maka sejak 2003 peserta boleh memainkan naskah bebas. Adanya kebijakan panitia membebaskan peserta memilih naskah dan tidak terpaku kepada naskah yang disediakan panitia membuat teater sekolah makin berani mencoba ide-ide baru. Seiring dengan hal tersebut, beberapa teater sekolah bahkan berani menampilkan naskah-naskah yang tergolong berat dan biasanya hanya dimainkan kelompok profesional. Pilihan mereka memainkan naskah-naskah baku, misalnya "Kisah Cinta dan Lain-lain" karya Arifin C. Noor, "Pelangi" karya Nano Riantiarno, "Tumirah Sang Mucikari" karya Seno Gumira Ajidarma ternyata bukan pilihan yang sekadar sok-sokan.

Teater Angin SMAN 1 Denpasar dan Teater Tiga SMAN 3 Denpasar dari tahun ke tahun terus bersaing secara ketat untuk mempertahankan gelar terbaik. Tak heran bila kedua kelompok teater ini terus-menerus menjaga kualitas pementasan dan berusaha untuk menyuguhkan pementasan terbaiknya. Beruntungnya ketotalan mereka dalam berteater dan tentu dengan harapan dapat menghasilkan emas, mendapatkan dukungan penuh dari pihak sekolah.

Justru yang mengagetkan adalah kemunculan Teater Blabar yang kurang intens menjadi peserta, tiba-tiba pada 2001 berhasil menjadi Penyaji Terbaik I. Sebut juga Teater Antariksa yang sempat mendominasi perolehan emas untuk kategori pemeran pria terbaik selama tahun 2000 hingga 2002. Begitu pula dengan Teater La Jose yang baru pada 2003 menjadi peserta LDM dan pada tahun yang sama menjadi Penyaji Terbaik I dan mendapatkan emas dari Pemeran Wanita Terbaik. Tahun-tahun berikutnya, Teater La Jose tumbuh menjadi grup teater sekolah yang layak diperhitungkan. Tahun 2005, Teater Topeng SMAN 2 Denpasar, yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan dalam perolehan penghargaan terbaik nyatanya juga menggebrak.

***

KEMUNCULAN bakat atau potensi keaktoran dan garapan pemain muda dalam LDM ini tak dibantah lagi memang silih berganti, tidak dapat diprediksikan sebelumnya dan makin meningkat. Meski disayangkan potensi keaktoran mereka yang sangat menonjol, sekarang raib entah ke mana dan susah dilacak seiring lulusnya mereka dari bangku sekolah. Pun kualitas pementasan di tahun 2006 kali ini, dari sembilan peserta lomba hampir keseluruhan kelompok teater terlihat berusaha keras menyajikan pementasan terbaiknya. Keberagaman bentuk penyajian menunjukkan betapa sebenarnya semua kelompok teater sekolah mempunyai kelebihan yang menonjol satu dengan yang lainnya.

Pementasan Teater Tiga misalnya, yang memainkan lakon "Tumirah Sang Mucikari" mencoba menawarkan penyajian dengan kekuatan artistik lighting yang memukau. Teater La Jose yang mengangkat lakon "Pelangi" karya Nano Riantiaro lebih mengedepankan kekuatan artistik realis yang sangat detail. Beberapa pementasan teater yang lain memang masih kukuh pada konvensi dramaturgi normatif, meski tidak terlalu didukung oleh penawaran konsep artistik yang matang. Sebutlah Teater Topeng yang memainkan naskah "Tamu Muntaber" atau Teater Angin yang mementaskan "Basur''. Keduanya menggunakan setting artistik dan tata cahaya yang minimalis.

Harus diakui bahwa mereka punya potensi-potensi yang sangat berbakat di keaktoran dan merata dimiliki oleh setiap aktornya. Ibarat batu permata, mereka adalah intan yang belum digosok dengan cermat. Hampir sama juga dialami Teater Wayang yang setia dengan naskah "Raib" karya Gus Martin, potensi besar yang dimiliki para aktornya mesti dikandaskan oleh konvensi baku pemanggungan dengan setting yang kaku. Selebihnya, tetap saja kita pantas memuji mereka yang telah berusaha keras mengolah naskah, mengasah keaktoran dan mencoba menawarkan gagasan artistik maupun tata cahaya. Bahkan, keberanian Teater Antariksa yang mencoba memainkan naskah buatan sendiri adalah hal yang selayaknya tidak dipandang sebelah mata.

***

MENEMPATKAN LDM PSR sebagai ladang persemaian munculnya seniman-seniman teater di masa depan adalah hal yang sangat berlebihan. Bahkan, bermimpi yang paling sederhana pun, misalnya menggugah semangat generasi muda pada seni pertunjukan atau sekurang-kurangnya menjadikan mereka publik penonton teater modern di Bali adalah sebuah mimpi yang tetap susah terbeli. Sebab, untuk menuju cita-cita yang mulia tersebut jelas membutuhkan banyak komponen yang harus dilibatkan.

Sebagai sebuah ekstrakurikuler, teater sekolah memang banyak mengalami kendala yang bertumpuk. Dari masalah regenerasi, waktu dan tempat latihan hingga perizinan kepada orangtua. Belum lagi tuntutan proses belajar mengajar yang mengharuskan siswa berkonsentrasi penuh terhadap mata pelajaran wajib. Bila benar cita-cita mulia PSR adalah untuk mencari bibit-bibit aktor potensial, selayaknya pihak-pihak yang berkompeten segera duduk bersama untuk mencarikan saluran terbaik bagi bibit yang telah ditemukan. Sehingga para aktor berbakat, aktris berpotensi besar dan sutradara hebat yang telah dihasilkan lewat PSR ini benar-benar akan terbina dan akan menjadi manusia yang profesional di bidangnya.

Bila segenap komponen yang ada bisa bersinergi, bukan tidak mungkin, suatu hari akan ada pementasan teater di Pesta Kesenian Bali (PKB) dengan pemain, sutradara dan tim produksi hasil LDM PSR, misalnya. Melihat kemungkinan-kemungkinan yang paling realistis untuk dikerjakan, sepantasnya para pekerja teater modern Bali optimis dapat mendapat regenerasi teater yang berpotensi. Sudah seyogianya program tahunan Pemkot Denpasar yang sudah berjalan selama 22 tahun ini terus diprbaiki hingga iklim perteateran modern Bali makin bagus dan corak teater modern Bali makin terlihat jelas.

* giri ratomo,
Mahasiswa FKH Unud,
pendiri UKM Teater Orok Unud

Sabtu, 30 September 2006

Nyanyian Datar Wanita Batu

Oleh: Jayakumara, alumni Fakultas Filsafat UGM, Yogya

Tokoh teater senior Bali, Abu Bakar, menampilkan Wanita Batu. Secara artistik monolog ini terasa kedodoran dan paralel secara tematik dengan Nyanyian Angsa Rendra.

Wanita Batu adalah karya monolog yang bercerita tentang luka pelacur. “Nama saya Sarimin. Asal Muntilan,” ujar Indrawati, mengawali pementasan monolog itu. Kalimat ini mengingatkan kita pada bait awal sajak Nyanyian Angsa karya dramawan-penyair WS Rendra, “Maria Zaitun namaku. Pelacur yang sengsara.” Selanjutnya, melalui Indrawati, cerita Sarimin berlanjut.
Sarimin telah kehilangan kedua orangtuanya. Ibunya pulang tanpa kepala dan bapaknya mati dibunuh, entah oleh siapa. Sarimin bagaikan selembar daun yang jatuh dari pohon lalu membatu di dasar sungai.
Derita Sarimin masih berlanjut. Ia dituduh PKI. Sempat berontak tapi sia-sia, karena petugas negara memerlukan laporan administrasi untuk kenaikan pangkat, untuk melanjutkan hidup. Sarimin berontak, mempertanyakan segala sesuatu. Ia menghadapi yang disebut oleh filsuf Kalr Jaspers “situasi batas”, terutama kematian.

Sampai di sini, penulis naskah agaknya enggan berpikir berbelit-belit. Ia enggan mensublimasikan derita fisik ke tataran infrahuman. Lalu, tema yang dibangun sejak awal pun patah begitu saja. Persoalan lalu kembali pada derita fisik Sarimin: luka sebagai pelacur. Sebagai pelacur Sarimin mesti melayani anak sekolah, mahasiswa, sopir, hingga seorang kakek. “Kelamin saya tidak berbentuk kelamin lagi. Ia sudah menjadi mesin,” desah Sarimin dalam ritme orang bersenggama. Dari kelamin Sarimin keluar benda-benda, seperti rantai, bayi mati, plastik yang dilemparkan begitu saja ke arah penonton. Adegan ini berhasil memberi efek kejut pada penonton, tetapi mementahkan pemberontakan eksistensial Sarimin yang sudah mulai terbangun.
Maka, resep Hollywood pun berlaku di sini. Cerita begulir secara linier: Sarimin kawin dengan Doel sembari tetap menjalani profesi sebagai pelacur. Sampai pada suatu titik, ia bertemu seorang wanita tua yang membungkuk dan menyembahnya. Keduanya bersenggama dan Sarimin merasa menikmati dengan sungguh. “Aku orgasmus”, teriaknya. Adegan ini terasa sebangun dengan persetubuhan Maria Zaitun dengan seorang lelaki ‘tegap dan elok wajahnya’ dalam Nyanyian Angsa. Sang suami, Doel, tahu dan cemburu. Lalu ia mati. Sarimin sedih dan— lagi-lagi—pemberontakan eksistensial Sarimin muncul: ia bertanya, mengapa? Tiba-tiba saja Sarimin berubah menjadi tua, beruban. Monolog yang disampaikan selama hampir satu jam pun berakhir.
Monolog ini dipentaskan di tempat pertunjukan Geok milik seniman Wayan Dibia, di Banjar Sengguan, Desa Singapadu, Kabupaten Gianyar, pertengahan Agustus lalu. Penataan panggung, pencahayaan, dan kostum bisa dikatakan minimalis. Panggung didominasi kursi kayu ukuran besar dan sebuah balok kayu yang digantung—entah untuk apa. Sementara selama pertunjukan hanya satu-dua jenis lampu sorot digunakan. Demikian juga kostum sangat sederhana. Indrawati hanya mengenakan baju kebaya warna merah dan celana sebatas lutut. “Saya memang suka yang minimalis”, ujar sang sutradara, Abu Bakar.

Hanya saja pernik-pernik properti yang digunakan selama pertunjukan sangat terasa mengganggu. Uang receh yang ditebarkan, rantai, dan bayi yang dikeluarkan dari liang kelamin sampai dengan sosok patung yang terbuat dari kayu yang digunakan berhubungan kelamin sangat mengganggu konsentrasi penonton fokus pada persoalan yang ditawarkan: pemberontakan eksistesialis Sarimin atau sekadar pamer luka.
Pementasan semakin menjadi terganggu dengan vokal Indrawati yang datar. Selama pertunjukan ritme vokal Indrawati tidak pernah mengambil nada rendah. Pola ritme vokal Indrawati terasa konstan dengan diselingi hentakan vokal meninggi. Justru dengan pola ritme vokal seperti itu pertunjukan terasa lebih hambar. Indrawati lebih menonjolkan sisi kemarahan orang kalah, yaitu pelacur, bukan pengolahan luka demi peningkatan kadar eksistensial. Ekspresi energi feminin seorang pelacur yang mendayu-dayu untuk mencari pelanggan bisa dikatakan nihil. Singkat kata, Indrawati belum mengolah yang disebut pemonolog Bali Cok Sawitri ‘eksplorasi diam’.
Abu Bakar mengakui itu. Menurutnya, ia terlalu banyak menjejalkan ide kepada sang aktris, sehingga Indrawati menjadi kedodoran. Ini merupakan pengakuan ironis bagi sutradara sekelas Abu Bakar, karena kritik sama pernah disampaikan Abu pada penampilan Ida Ayu Kade Tresna pada Parade Monolog, di Taman Budaya Denpasar, Mei 1999 silam. Bila ditelusuri lebih jauh, pementasan Wanita Batu bukan saja mengalami kegagapan dalam mengungkapan ide secara artisitik, tetapi juga membuahkan pertanyaan lanjutan: ide apa di balik naskah yang bolak-balik mengalami revisi itu, paralelitasnya dengan Nyanyian Angsa? Sebagaimana Sarimin, Maria Zaitun pun mengalami derita fisik yang bertubi-tubi akibat sipilis yang menggerogoti tubuhnya. Bedanya, derita fisik Maria Zaitun bertransformasi menjadi kenikmatan metafisik setelah ia melakukan persetubuhan mistik dengan sosok lelaki yang dalam interpretasi kritikus sastra A Teeuw diidentifikasi sebagai Kristus.

Sajak Nyanyian Angsa dimulai dengan diusirnya Maria Zaitun oleh Majikan Rumah Pelacuran, “Ini biaya melulu. Aku tak kuat lagi. Hari ini kamu musti pergi.” Maria Zaitun mengunjungi dokter langganannya dan hanya mendapatkan injeksi vitamin C. Ia juga ke gereja tetapi terbentur birokrasi. Maria Zaitun berjalan di tengah terik matahari. Kulitnya mengelupas di aspal jalan. Ia mencoba mengobati diri dengan mengingat masa mudanya. Sampai akhirnya ia bertemu seorang lelaki, ‘Rambutnya ikal dan matanya lebar’ dengan luka ‘di kedua telapak tangan’ dan ‘di kedua telapak kaki’. Mereka bersenggama, dan Maria Zaitun pun ‘berlayar ke samodra yang belum dikenalnya’. Lelaki menyebut dirinya dengan ‘mempelai’. Klimaks sajak itu adalah teriakan yang kini dijadikan judul sebuah buku: “Pelacur dan pengantin adalah saya !!!” Abu Bakar sendiri mengernyitkan kening, angkat bahu, ketika dimintai konfirmasi atas kesamaan tema antara Wanita Batu dengan Nyanyian Angsa. Sejurus kemudian, “Begini, saya tidak suka menjiplak ataupun menyontek karya siapa pun. Ini adalah karya seni. Biarkan dia begitu,” tandasnya singkat.

Lepas dari ragam persoalan demikian, sebagai sutradara senior Abu Bakar masih menyisakan sedikit ‘kebesaran’-nya. Kehadiran M Katib (60) sebagai peran pembantu sangat menghidupkan panggung yang terasa mati. Warga Pemogan, Denpasar, ini terasa alami. Ini mengingatkan kita pada kesuksesan Abu dalam menangani Kaseno saat membawakan naskah Anton Chekov, Bahaya Racun Nikotin, beberapa tahun lalu.

Jumat, 22 September 2006

Sulit Bermain Teater, Jangan Takut...

Pentas "Nyanyain Angsa" Teater LAH
Jumat 22 September 2006
Oleh: Nuryana Asmaudi

SEBUAH komunitas baru yang menamakan diri Teater Look and Heart (LAH), Jumat (22/9/2006) lalu pentas di Gedung Wantilan Taman Budaya Denpasar. Pada (17/9) juga di halaman SMAK Santo Yoseph, Denpasar. Pentas ini cukup "mengejutkan" kalangan teater di Denpasar. Mengapa?


Pasalnya, naskah yang dimainkan adalah "Nyanyian Angsa" karya Anton Chekov, sebuah naskah teater yang sejatinya cukup berat dan membutuhkan aktor yang kuat untuk memainkannya. Sementara Teater LAH belum memiliki jam terbang. Ini juga nomor garapan pertama kelompok teater yang berdiri tahun 2005 itu.


Berhasilkah Teater LAH memainkan "Nyanyian Angsa"? Jika yang dikehendaki adalah sebuah kesempurnaan, sudah pasti harapan penonton atau publik teater tak akan terpenuhi. Yang pasti, kalangan teater patut men-support anak-anak muda yang baru memulai kerja panggung, yang hanya dengan modal keberanian semangat memainkan naskah yang berat ini. Semangat dan kepercayaan diri mereka itulah yang patut dihargai dan didukung.


Dadi Reza Pujiadi, pemain utama sekaligus sutradara mengakui, pementasan ini hanya bermodal keyakinan dan percaya diri semata. "Saya tahu naskah ini sangat berat, tapi saya tergoda dan terpikat untuk memainkannya. Saya justru ingin menikmati susahnya main. Jadi, saya nekat. Saya yakin saya akan mendapat banyak pelajaran darinya," aku Dadi.


Pengakuan Dadi tentu tak sekadar basa-basi. Seperti nampak dalam permainannya di panggung dalam dua kali pementasannya, Dadi memang cukup payah dan terbata-bata. Biarpun secara teks pemain hafal naskah, hal itu belum mampu membantu keberhasilan pertunjukan seperti yang diharapkan. Mulai dari karakter penokohan, pesan cerita, hingga unsur elemen dasar keaktorannya belum menyentuh sasaran.


Popularitas Semu


Naskah "Nyanyian Angsa" menggambarkan tentang fenomena kehidupan seorang aktor terkenal yang telah lebih dari 40 tahun malang melintang di panggung teater. Ia sangat dikagumi masyarakat penonton teater. Ia selalu dielu-elukan, mendapat tepuk tangan meriah dari para penggemarnya.


Namun, belakangan ia baru sadar bahwa semua itu ternyata hanyalah kepopuleran dan keberhasilan semu: orang hanya menyanjung dan mengaguminya saat main di panggung, sebatas aktingnya. Selebihnya dia tak berarti. Dalam kehidupan nyata ia gagal dan tak dianggap ada. Bahkan hanya untuk mendapatkan seorang gadis penggemarnya yang dia cintai saja ia tak berhasil. Ia gelisah, kesepian, kecewa, dan terjerembab dalam kesunyian yang menyakitkan. Sebuah fenomena kehidupan orang panggung yang absurd dan menakutkan.


Karya pengarang besar Rusia ini memang menantang untuk dipanggungkan. Namun Teater LAH berani melayani tantangan itu dengan kenekatannya. Kedua personel yang memainkannya tergolong sangat muda dan belum banyak punya jam terbang. Terlebih Patrik (pemeran Nikita Ivanitck, orang tua yang jadi pembisik di panggung teater) adalah murid kelas III SMAK Santo Yoseph Denpasar, yang baru beberapa kali naik panggung di teater sekolahnya. Sementara Dadi Reza (pemeran tokoh utama Vasilli Svietlovidoff, komedian berumur 68 tahun), juga masih sangat muda. Selama ini Dadi dikenal sebagai pelatih Teater La-Jose SMAK Santo Yoseph Denpasar.


Karenanya, kalau permainan mereka belum berhasil memenuhi tuntutan naskah dan harapan penonton tentu sangat bisa dimaklumi. Seperti kesan Abu bakar dalam dialog seusai pementasan, dia melihat Dadi lebih berhasil saat menjadi sutradara dibanding menjadi pemain. Tetapi, kata Abu, ada potensi dan harapan yang cukup besar atas suksesnya pertunjukan itu, juga masih banyak waktu dan kesempatan untuk menyempurnakan,pada garapan selanjutnya.


Menurut Abu, naskah ini memang berat. "Saya belum pernah melihat kelompok teater yang benar-benar berhasil memainkan naskah ini," tutur Abu. Seraya menandaskan, sebaiknya penilaian jangan melulu mempersoalkan bagus atau tidak, berhasil atau kurang berhasil, tetapi bagaimana menjaga semangat dan kebersamaan dan menghidupkan panggung teater agar tetap ada.


Pentas "Nyanyian Angsa" Teater LAH di Wantilan Taman Budaya Denpasar malam itu mengalami sedikit perkembangan dari permainan sebelumnya di halaman SMAK Santo Yoseph. Terutama saat memasuki tiga perempat adegan bagian akhir, mulai terlihat greget dan emosi pemain. Patrik juga mengalami perkembangan lebih baik. Karenanya, untuk garapan-garapan selanjutnya, sangat mungkin akan bisa lebih bagus lagi. Terutama pada ilustrasi musik dan lampu yang perlu disempurnakan lagi.

Minggu, 17 September 2006

Pentas Nyanyian Angsa


WAKTU DAN ABSURDITAS CHEKOV

Catatan oleh: Abu Bakar

Sunyi absurd, tepuk tangan absurd, ruang teater yang kosong lebih absurd. Vasili Svietlovidoff – komedian 68 th. yang lebih dari 40 th. hidup menggeluti dunia teater lewat Nyanyian Angsa karya Chekov, akan memaparkan kesunyiannya itu. Sunyi yang menakutkan, tepuk tangan yang menggairahkan hampir jadi ciri khas Chekov bahwa dia jarang memberi kesempatan kita untuk lepas tertawa tanpa menitipi sejumlah luka, hingga yang lahir cuma senyum. Senyum yang sama juga diharapkannya dari penonton saat kita menonton Racun Tembakau komedi lain karyanya. Kesukaan mencampur tragedi dan komedi, dan meramunya dalam struktur lakon yang tak konvensional, membuat pementasan Nyanyian Angsa oleh teater LAH (Look At Heart) kali ini patut disimak. Namun adonan absurd sekarang ini lahir dari tangan Dadi Reza Pujiadi sebagai Vasili Svietlovidoff, yang disamping bermain juga sekaligus menyutradarainya. Sementara peran Promter (pembisik) diambil oleh oleh Patrick Christian Leslie Erlangga. Kecendrungan mana yang akan dia pilih, malam ini kita akan melihatnya lewat NA adaptasi Djohan Nasution.

Tentu kita banyak berharap bahwa LAH akan jadi lokomotif lain yang mampu menggeret gerbong teater Bali bergerak lebih kencang ke alam kubur, atau masa depan yang penuh tantangan.

Wassalam

Abu Bakar


Catatan Sutradara…

oleh: DADI REZA PUDJIADI

Vasilli, saya, dua buah liang berkat…

Apakah saya adalah dia? Ketika Vasili berada di puncak sadarnya, ia bagai angin yang menapikan debu, atau tiupan sangkakala yang sembunyikan suara, ia menolak semua… Ia tak dapat membuang itu. Apa mungkin? Jika mampu, dan punya alasan, dapatkah Vasili lari dari kenyataan yang sekian lama dia bentuk? Dunia yang bernama Teater? Acting yang sudah menyatu dalam napasnya selama 40 tahun? Dapatkah ia sangkal?

Saya boleh sesekali atau lebih bersumpah serapah atas secuil penderitaan yang kadang datang bersama sangsi, atau tersenyum dengan luka tak pernah mau berhenti tersenyum. Namun inilah pilihan sesungguhnya. Saya tak mau berbohong, saya tak mampu berbohong, tak mampu…

Ah, saya memang sudah jadi dia. Toh, seperti Vasili saya sudah merasa sok gagah di usia muda.

Membaca naskah Nyanyian Angsa membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Lakon ini tak pernah membuat saya berhenti tersenyum. Senyum penderitaan Vasili bertransformasi ke dalam bayangan saya. Mabuk, usia tua, terbuang, semangat…

Lakon ini pun tiba-tiba membuat saya mencoba meneropong dua buah liang yang selama ini menjadi berkat saya di dunia. Tentu saja. Manusia lahir dan mati. Keluar dari liang rahim telah menunggu liang kubur. Itulah berkat saya, dan saya merasa punya keinginan berguna. Menjadi berharap, setelah nikmatnya air tetek ibu, di liang lain telah menunggu sungai susu...

Vasili berada di liangnya, yang juga liang saya. Saya merasa terkurung, saya juga jatuh cinta, sekaligus sangsi. Tapi semangatLah membuat saya percaya…

Salam

Look At Heart


Latar Belakang

Hubungan antara karya pentas dengan masyarakat layaknya harus seperti hubungan dua orang sahabat. Saling menjaga dan mengisi kekurangan, dan terutama pengertian. Tanpa kita sadari telah lama hubungan yang dulu harmonis, telah pula renggang, berjalan sendiri-sendiri di tempat yang gelap dan suram. Pentas “Nyanyin Angsa” karya Anton P Chekov terjemahan Djohan A. Nasution, oleh komunitas Look At Heart mencoba menyatukan dan mengajeg-kan kembali kemesraan itu. Isi cerita yang berisi ketakutan-ketakutan akan masa lalu yang jaya, ketakutan terhadap hilangnya kepercayaan dan mungkin, kesepian dapat membuahkan kesan mendalam bagi kita yang hidup di negeri ini. Nyanyian Angsa juga memberi sebuah nilai tentang pentingnya mencintai dan menjaga hidup, agar tak selalu merasa ringkih, tolol, ketakutan dan merasa disia-siakan.


Look At Heart

Look At Heart berdiri di Denpasar, tepatnya pada tanggal 01 April 2005. Sebuah komunitas yang bergerak di bidang kesenian. Khususnya seni teater. Nyanyian Angsa karya Anton P Chekov ini adalah produksi pertama Look At Heart. Lihat Ke Hati. LAH berusaha bijaksana, tanpa pretensi membaca diri sendiri, alam kecil dan alam besar tempat kami berada. Lah adalah inti doa dalam menjaga proses berkesenian kami. Lah, memang harus ada.


Alamat sekretariat: Jl. Teuku Umar, Gang Rajawali no. 8 Denpasar- Bali.
Contak person. 081805672862 (maliana)

Pentas:

- Minggu, 17 September 2006,

di Teater La Jose-SMAK Santo Yoseph,

Jl. Serma Kawi no. 4, Denpasar.

- Jum’at, 22 September 2006

di Wantilan Art center,

Jl. Nusa Indah, Denpasar.

PROFIL

Pimpinan Produksi

Maliana

nia_maliana@yahoo.com

Beberapa kali me-manage pertunjukan teater dan sebagai lighting dalam pementasan,antara lain: Lysistrata (2003), Fragmen Basi Pars Pro Toto (2003), Harga Vagina (2005), Topeng (2006). Pertama kali menulis sekaligus menyutradarai naskah Harga Vagina dalam Parade Temu Teater Perempuan 2005.

Sutradara & Aktor

Dadi Reza Pujiadi

dadireza@yahoo.com

Pengalaman pertama keaktorannya adalah tahun 1987 ketika bermain drama di panggung HUT Kemerdekaan RI di kampungnya, tahun 1989 ikut Sanggar AGA (Anak Gudang Air) yang sering mengisi acara Cerita Untuk Anak di TVRI. Tahun 1996 ikut Diklat Pelatih Teater dan Workshop2 teater. Menulis Naskah Teater, Film. Beberapa naskah pernah ditulis dan disutradarai sendiri seperti: Cerita di Balik Layar (1999), Awas Gajah Di Depan Mata (2000), Kawin Muda (2001), Bashar (2003, Wasiat (2005)), GOL(2005), juga: Lysystrata (2003), Sampek&Engtay (2004), BOSS (2005), AUT (2005) dll. Dia juga bisa menata musik untuk pentas.

Aktor

Patrick Christian Leslie Erlangga

Siswa kelas 3 SMAK Santo Yoseph. Anggota Teater La Jose sebuah komunitas ekstra-kurikuler di sekolahnya. Pernah jadi ketua Panitia Gelar Teater La Jose Se-Bali, pertama kali mengenal peran serius adalah ketika bermain lakon Umang-Umang karya Arifin C Noor, pernah jadi sutradara Lakon Lampu-lampu di Taman karya Mas Ruscita Dewi. Terakhir menjadi aktor pria terbaik 2 di PSR ketika berperan sebagai Rody dalam naskah Pelangi karya Nano R Tiarno. Kali ini ia ditantang jadi Nikita Ivanitch. Prompter yang terjebak permainan tolol Vasili.

Pelaksana Produksi

Navynia Mutiara

Mantan Ketua Teater La Jose yang kini jadi mahasiswa Ekstensi Sastra Inggris UNUD. Pernah terlibat sebagai Aktor dalam Lakon Lysystrata (Teater La Jose) tahun 2005.

Bayu Krisna Adhyatma

emillio_jalero@yahoo.com

Mulai mengenal teater sejak terlibat sebagai crew artistik dalam beberapa produksi di Teater La Jose di awal tahun 2006 sebagai simpatisan. Pernah turut bermain sebagai aktor dalam pementasan drama musikal dan fragmentasi Minggu Pagi Di Sebuah Puisi ( Teater la Jose, 2006)

Artistik

Elvis O. Parluxtond

parluxtond@gmail.com

Bersama sejumlah kelompok teater di Bali sering terlibat produksi baik sebagai penata panggung maupun penata lampu, diantaranya : Death of A Salesman (KelompokSatuKosong Delapan, 2004), Melamar Tuhan, Aku Bukan Perempuan Lagi, Anjing Perempuan, Badan Bahagia (Cok Sawitri, 2003 - 2005), Nyunyann...Nyunyenn (Kelompok RakaRai, 2005), Minggu Pagi di sebuah Puisi (Teater La Jose, 2006) dan beberapa nomor pentas lainnya.

Tata Lampu

Nur Setyanto

Dikatakan sebagai pemuda seperempat abad lebih yang sering bergelut bersama arus listrik, membuat segala ke-bentuk, ke-rupa, ke--- indahnya cahaya. Mau tahu segalanya bersinar…(tukang lampu keliling). Selain bergelut di Teater Air Tanah juga pernah terlibat dalam proses produksi diantarana : Death of A Salesman (KelompokSatuKosong Delapan, 2004), Nyunyann...Nyunyenn (Kelompok RakaRai, 2005), Minggu Pagi di sebuah Puisi (Teater La Jose, 2006), serta di beberapa bentuk proses produksi dan pementasan di Bali. Tentram dihati.

Tata Musik

Selasa Kliwon

Berdiri akhir 2003, adalah sebuah kelompok musik yang bermarkas di kampus Sastra Jl. P. Nias Denpasar. Dalam kerja kreatifnya, Selasa Kliwon selalu mengusung kebebasan dalam memainkan instrument dan jenis musik terutama dalam nuansa etnik. Pernah terlibat mengawal tata musik dalam beberapa nomor pementasan teater : Harga Vagina (Komunitas BoeKoe, 2005), Drama Reading Waiting For Godot (Tunjung Putih – Ubud Fest.2005), Takoet (SatuKosongDelapan,2006)., selain itu, Selasa Kliwon sering juga meramaikan pentas – pentas musik kontemporer di Denpasar.

Tata Rias & Kostum

Yuanita Ramadhani

Ita.ramadhani@gmail.com

Terlibat dalam berbagai pementasan di Bali dan luar Bali, baik sebagai actor, penata musik, penata rias & kostum serta Stage Manager, diantaranya; Melamar Tuhan, Puitika Melamar Tuhan, ¼ Melamar Tuhan, Aku Bukan Perempuan Lagi, Anjing Perempuan, Badan Bahagia, (Cok Sawitri 2002-2005), Death Of Salesman (Kelompok Satu Kosong Delapan, 2004), Malam Jahanam (Teater Orok Noceng, 2003) , Nyunnyann…. Nyunnyenn (Kelompok Raka-Rai, 2004), Minggu Pagi Di Sebuah Puisi (Elvis O.Parluxtond/Teater La Jose 2006) Harga Vagina (Maliana, 2005), dan beberapa nomor pementasan lainnya.

Properti & Tata Pentas

Obe Achmad Marzuki

obe-am@yahoo.com

Kelahiran. Jakarta 30 Juli 1975 Anak pertama dari tujuh saudara. Dari pasangan (Alm) MH. Thamrin dan Sri Maryati ini sering membatu kawan – kawan kesenian ketika di Jakarta maupun di Bali. Belakangan aktif menulis puisi dan melukis.

Agus Juliartha & Mario J. Fony

Keduanya saat ini aktif menjabat sebagai ketua dan wakil ketua Teater La Jose. Sebagai aktor, pernah juga terlibat dalam beberapa nomor pementasan & happening art Teater La Jose diantaranya : Umang-umang (2004) Pelangi (2005-2006) Minggu Pagi di Sebuah Puisi (2006).

Still Camera

N.Sinaga

crimudra@yahoo.com

Tukang foto keliling. ..

Ipank,emak ku memanggil

Salam kenal, Anak Jakarta yang lagi ber-atmosfer di Bali. Yang dapat tugas dokumentasiin,sering terlibat dalam pementasan teater, mendirikan komunitas Teater Petik di Jakarta dan Komunitas Pemuda Priok. Kini di Denpasar Bali buat Rumah Produksi namanya: Lintang, Bikin film Indie, judulnya “Ketika Anak Urban Membuka Mata” kebetulan yang jadi sutradaranya…..VIVA…!

Sabtu, 01 April 2006

Upaya Mendekatkan Diri Dengan Masyarakat?

Catatan penyelenggaraan pentas seni PSR 2006 di balai banjar

oleh Jauhar Mubarok (jauhar.re@gmail.com)


Pentas seni drama modern antar SMU se-kota Denpasar dalam rangkaian Pekan Seni Remaja [PSR] XXII kembali diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Nasional Kota Denpasar. Untuk tahun 2006 kegiatan ini diadakan di sebuah balai banjar di wilayah Kesiman, Denpasar Timur. Tahun sebelumnya kegiatan ini diadakan di lingkungan sebuah SMU. Kegiatan ini telah menjadi rutinitas yang kehadirannya selalu didamba dan ditunggu, tidak saja oleh SMU-SMU yang memiliki kegiatan ekstrakurikuler atau kelompok teater untuk unjuk kebolehan dalam dunia teater, tapi juga oleh para penggiat dan penikmat seni teater untuk menikmati dan melihat perkembangannya dari tahun ke tahun, baik secara kualitas dan kuantitas.

Cukup menarik ide PSR 2006 yang diselenggarakan di sebuah balai banjar, di mana banjar merupakan ruang sosial yang sudah sangat akrab dan dekat dengan kehidupan masyarakat Bali. Dapat dikata banjar merupakan ruang publik yang keberadaannya sangat vital bagi masyarakat Bali. Banjar merupakan ruang interaksi sosial untuk membentuk dan meneguhkan ikatan solidaritas identitas sekaligus sebagai ruang publik yang vulgar akan akses terhadap kreativitas krama-krama banjar. Maka sebuah langkah yang cukup bagus ketika PSR {SMU] 2006 ini diadakan di sana bila hal ini dimaksudkan guna lebih mendekatkan diri serta mempopulerkan seni drama modern kepada masyarakat umum. Selain itu untuk menepis anggapan bahwa keberadaan seni (drama) modern (men)jauh dari masyarakat tradisi. Para pendukung kesenian modern menjaga jarak dengan masyarakat dan menjadi menara gading. Sebagaimana yang terjadi pada beberapa catatan sejarah kemunculan seni borjuis/elit atau tinggi yang dipengaruhi oleh sistem sosial feodal kerajaan pada masa lampau. Para pendukung kesenian elit menganggap rendah kesenian masyarakat awam.

Selain itu juga menangkis anggapan bila banjar hanya membuka diri khusus pada seni tradisi semata. Seolah-olah banjar tidak memberi ruang-peluang terhadap tumbuh –kembangnya seni modern. Seni drama modern sama halnya dengan seni drama tradisi atau dengan kesenian lainnya yang sama-sama berangkat, dimiliki, dan didukung oleh masyarakat, tanpa ada jeda dan batas yang menimbukan klasifikasi rendah dan tinggi.

***

Tidak berhenti di sini saja. Seni merupakan suatu dunia tersendiri yang punya hak atas kediriannya sendiri, yang menjaga jarak dengan realitas dunia serta etika konvensional kemasyarakatn, misalnya. Begitu pula hak atas ke-ruang-an dan segala prasyarat yang representatif untuk mendukung aktivitas keseniannya di mana dirinya berada/dipentaskan. Dan dalam seni pertunjukan, seperti halnya seni drama modern punya tataran ideal terhadap sarana dan prasarana yang mendukung totalitas penampilan. Proporsi ideal kesenian. Misalnya ruang yang lapang dan tinggi untuk setting ruang dan tata lampu pencahayaan, ruang yang terbebas dari gangguan aktivitas lain di luar dirinya, dan sebagainya. Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah balai banjar cukup representatif untuk pementasan seni drama modern yang ideal? Atau memang sebuah kesengajaan pihak penyelenggara untuk melihat kekuatan dan kecerdasan para penggiat seni drama modern remaja dalam mengatasi keruangan yang ada?

PSR merupakan kegiatan yang telah dan (mungkin) akan selalu diselenggarakan setiap tahunnya, tentu saja para penyelenggara harus mempertimbangkan dan memperhatikan sarana dan prasarana yang representatif guna mendukung tumbuh- kembangnya aktivitas kesenian di kalangan remaja. Hal ini agar PSR tidak menjadi kegiatan rutinitas setengah hati yang malas dan hanya menjalankan program kerja; yang penting diselenggarakan!.

Namun di sisi yang lain Bali mempunyai ruang yang cukup representatif sebagai ruang perhelatan kesenian, yaitu Taman Budaya atau Art Centre. Dari papan nama yang terpampang saja masyarakat telah digiring pada pengertian bahwa art centre adalah ruang publik yang khusus ditujukan untuk kegiatan kesenian/kebudayaan. Bukan sekadar papan nama mainan penuh keisengan. Dan sarana dan prasarana yang tersedia pun cukup menarik dan representatif untuk segala macam perhelatan kesenian. Mengapa PSR sekarang dan tahun kemarin yang merupakan kegiatan tahunan tidak diselenggarakan di Taman Budaya?

Pertanyaan-pertanyaan semacam di atas sering kali terlontar dari antar para pengunjung (publik seni) disela-sela menikmati PSR di Kesiman. Dengan PSR diadakan di balai banjar seolah-olah membiarkan Taman Budaya tidak lagi memiliki arti; membiarkan Taman Budaya tetap lapang dan lengang, tanpa penghuni dan aktivitas keseniannya. Secara tidak langsung “masyarakat” telah menghilangkan nilai fungsionalnya bagi kehidupan manusia itu sendiri, sebagaimana maksud dari pembangunannya yang telah menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Bukankah Taman Budaya dibangun bukan sebatas dijadikan gedung-gedung yang berdiri, setelah itu ditinggal pergi. Menjadi pajangan. Atau memang sudah saatnya Taman Budaya menjadi museum yang tetap berdiri dengan kediriannya yang megah, sendiri, dan mati.

Semoga PSR 2006 ini tidak diselenggarakan di Taman Budaya bukan karena alasan mahalnya harga sewa yang melangit dan elit serta pihak pengelola yang lebih memilih irit (pelit?). Dan bukan pula karena pihak pengelola Taman Budaya takut tempatnya kotor oleh sisa-sisa kegiatan kesenian akibat keengganan penyelenggara membersihkan karena merasa sudah menyewa. Seperti selentingan yang kerap kali mengalir disela-sela menikmati pentas drama modern di balai banjar di Kesiman. Bila selentingan ini benar, maka ini menjadi tanda atas kematian ruangnya.

Taman Budaya bukan lagi menjadi ruang publik yang dapat diakses oleh siapa saja, meskipun dengan tujuan untuk menumbuh-kembangkan kegiatan kreativitas seni. Taman Budaya mungkin suatu saat nanti menjadi ruang kuasi-publik atau malahan ruang privat yang seolah-olah publik. Ruang publik yang hanya dapat diakses oleh pihak-pihak berharta-mampu menyewanya. Taman Budaya akan menjadi sebuah kenangan bagi para penggiat seni dan kesia-siaan maksud para perancang-penggagasnya. Pada akhirnya para penggiat seni (baik modern dan tradisi) harus susah payah mencari ruang-ruang publik lain yang sekiranya dapat diakses dengan keminiman anggaran yang tersedia. Dan beranggapan pentas seni drama modern PSR 2006 diselenggarakan di balai banjar karena alasan untuk mendekatkan seni modern kepada masyarakat, adalah terlalu dini.

Pengalihan ruang pementasan lebih disebabkan oleh “keterpaksaan” yang merugikan para penggiat seni di kalangan remaja. Adalah karena kesadaran untuk membumikan beragam aliran-bentuk seni dalam kehidupan masyarakat. Cukup disayangkan.

Kemudian bagaimana dengan penyelenggaraan PSR tahun depan?.

|re.denpasar.2006

* Jauhar Mubarok, pengamat teater.
Tinggal di Denpasar, berkutat di dunia antropologi. Aktif di pers alternative KONAK. Juga bergiat di pers kampus "Sunari Penjor", majalah antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.



Senin, 30 Januari 2006

Saatnya Aktivitas Seni Teater di Tangan Remaja

Catatan Gelar Teater La Jose 2005

Oleh: Nuryana Asmaudi


Kini saatnya aktivitas seni teater di Bali ada di tangan remaja. Tidak percaya? Lihatlah, betapa maraknya aktivitas teater di kalangan remaja dan sekolah di Bali beberapa tahun belakangan ini. Remaja yang sebagian besar pelajar, begitu banyak yang meminati kegiatan teater. Mereka menggelar berbagai aktivitas teater mulai dari pelatihan, pementasan, parade, hingga festival di berbagai kesempatan.


DI Singaraja saja misalnya, ada festival teater antar-SMA se-Buleleng yang diadakan oleh Teater Seribu Jendela IKIP Singaraja. Di Denpasar, setiap tahun ada lomba drama modern di Pekan Seni Remaja (PSR). Juga ada Lomba monolog untuk kalangan pelajar SMP dan SMA se-Bali yang diadakan oleh Teater Tiga Trisma SMAN 3 Denpasar. Lalu, "Gelar Teater La-Jose" (Gatel) yang diadakan oleh Kelompok Teater La-Jose SMAK Santo Yoseph Denpasar. Dan beberapa kegiatan teater lainnya.

Acara "Gatel", misalnya, hingga Desember 2005 lalu sudah yang ketiga kalinya digelar. Kegiatan ini setiap tahun diikuti tak kurang dari sepuluh kelompok teater dan komunitas seni, mulai dari kelompok teater sekolah hingga kelompok teater atau komunitas seni senior. Bahkan, tahun lalu, "Gatel" juga menghadirkan kelompok teater dari Columbia.


"Gatel 2005" digelar pada akhir Desember 2005. Event ini diikuti sepuluh kelompok teater dan komunitas seni. Mereka masing-masing Teater La-Jose SMAK Santo Yoseph Denpasar, Teater Air Tanah Fapet Unud, Komunitas Mata Denpasar, Teater Wayang SMAN 5 Denpasar, Teater Blabar SMAN 4 Denpasar, Teater Topeng SMAN 2 Denpasar, Teater Kembang Lalang Denpasar, Teater Autentik SMPK Santo Yoseph Denpasar, Teater Antariksa SMAN 7 Denpasar, dan Teater Angin SMAN 1 Denpasar. Selama seminggu, mereka tampil dengan nomor-nomor pementasan tersendiri di Aula SMAK Santo Yospeh.


Meski para pengisi "Gatel" ini sebagian besar adalah kelompok teater sekolah, namun drama yang mereka suguhkan tidak bisa dipandang sepele. Hampir semua tampil bagus. Bahkan, tak kalah bagus dengan drama dari teater profesional di Denpasar.


Sebagian besar remaja itu berteater secara mandiri -- mulai dari membuat naskah cerita sendiri sampai menyutradarai sendiri.


Secara umum, teater sekolahan yang tampil di "Gatel 2005" memang layak dipuji. Mereka telah mengalami perkembangan yang cukup membanggakan jika dibanding dengan permainannya di event-event lain sebelum ini. Para pementas rata-rata sudah bisa menyajikan pertunjukannya secara lebih padat, tak bertele-tele, menjaga kekompakan pemain, membangun dinamika pertunjukan, mengontrol vokal para pemain, menjaga keutuhan cerita, hingga membangun gereget dan daya tarik pertunjukannya secara baik.


Satu hal yang paling membanggakan, pementasan dari teater-teater sekolah itu rata-rata disutradarai sendiri.


Teater Topeng SMAN 2 Denpasar misalnya, berhasil tampil jauh lebih bagus dibanding penampilannya dalam "Gatel" tahun sebelumnya. Dengan menggarap cerita "Tamu Muntaber" karya Putu Satria Kusuma, drama yang disutradarai oleh Ida Ayu Tira Shakuntala itu benar-benar tampil memikat.


"Drama ini memang digarap oleh anak-anak sendiri, saya mempercayakan sepenuhnya kepada Tira untuk menyutradarai sendiri tanpa campur tangan saya. Pokoknya mereka saya bebaskan untuk berkreasi," ujar Giri Ratomo, pembina teater SMAN 2 Denpasar.


Teater Angin SMAN 1 Denpasar, yang menampilkan teatrikalisasi puisi juga menggarap pementasannya sendiri. Mulai dari naskah puisinya hingga penyutradaraannya, sepenuhnya tak ada campur tangan orang lain. Mereka menggarap "Perempuan di Ranjang Perajam" karya Ketut Sudiani, yang disutradarai oleh Putu Rastiti. Hasilnya juga membanggakan, bagus, dan memikat. Begitu pun Teater Blabar SMAN 4 Denpasar yang tampil dengan naskah "Hitam Putih" karya/sutradara Johanes. "Kami sengaja membuat naskah sendiri, biar mandiri dan bisa lebih menghayati serta memainkannya dengan enak, karena idenya dari kami sendiri. Tak ada campur tangan pelatih," aku Johanes.


Teater Wayang SMAN 5 Denpasar pun menggarap pertunjukannya sendiri. "Saya sangat sibuk akhir-akhir ini. Saya tak sempat menangani pementasan anak-anak. Mereka sendiri yang memutuskan memilih naskah dan menggarapnya sendiri. Saya tadi ditelepon dan disuruh nonton, itu saja," aku Muda Yasa, pembina Teater Wayang. Teater Wayang mengangkat lakon "Raib" karya Gus Martin, disutradarai Budi Widiatmika.


Teater La-Jose SMAK Santo Yoseph, meski ada campur tangan pelatihnya, namun penyutradaraannya dipercayakan pada murid sendiri. Kevin, yang menyutradari "Pelangi" karya Nano Riantiarno, sejak awal nampak sibuk merancang pementasannya bersama kawan-kawannya. Begitu juga Petrik yang menyutradari "Lampu-lampu di Taman" karya Mas Ruscitadewi. La-Jose tampil dua kali di acara ini.


Memang tak semua penampilan teater sekolah ditangani sendiri oleh siswa. Teater Autentik SMPK Santo Yoseph Denpasar yang tampil lebih bagus dari tampilannya di "Gatel" tahun sebelumnya, misalnya, pementasannya disutradarai oleh pelatihnya Dadi Reza Pujiadi, menggarap lakon "Topeng" karya Mas Ruscitadewi. Teater Antariksa yang menyuguhkan "Romeo dan Juliet" gubahan Radita Pendet pun disutradarai oleh pelatihnya, Radita Pendet.


Para penampil lainnya, yakni Teater Air Tanah Fapet Unud menampilkan "Jonggrang Air Mata Api" adaptasi puisi Giri Ratomo. Komunitas Mata menyuguhkan "Negeri Cukong" karya/sutradara Radita Pandet. Teater Kembang Lalang (selanjutnya akan berganti nama Teater Hutan Lalang, red), menyuguhkan drama "Wasiat" karya/sutradara Dadi Reza Pujiadi, pun tampil memikat.


Yang pasti, para pementas di "Gatel 2005" ini memang membanggakan. Menurut Dadi Reza Pujiadi, pelatih Teater La-Jose SMAK Santo Yoseph, event yang digelarnya itu memang sengaja tidak dibuat layaknya lomba. Peserta diberi kebebasan berekspresi agar leluasa dalam berkarya. Mereka juga tidak perlu bersaing untuk mencari juara. Seperti juga dikatakan oleh Kepala SMAK Santo Yoseph Drs. Piet Nengah Suena, "Gatel" memang dimaksudkan sebagai ajang berkekresi untuk mengembangkan bakat dan potensi dalam teater. Juga untuk ajang keakraban dan silaturahmi antarkelompok teater, terutama teater sekolah di Denpasar.


Sebagaimana harapan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Denpasar, Drs. I Gusti Ngurah Yadnya, B.A., saat membuka acara "Gatel 2005", acara ini bisa menjadi salah satu alternatif memupuk-kembangkan bakat dan minat anak muda serta pelajar di Bali, agar bisa berkembang sebagaimana seni tradisi lainnya. Kalau saja dalam lomba drama di PSR yang setiap tahun digelar Pemkot Denpasar bisa dijadikan sebagai ajang berekpresi secara lebih santai dan enjoy seperti "Gatel" ini, mungkin PSR menjadi lebih "indah".


General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan