Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Sabtu, 10 November 2007

NakNik Communty, Merayakan Keberanian dengan Teater

Oleh Anton Muhajir

Sepuluh mangkok bakso, dua piring siomay, dan satu mangkuk mie ayam seperti jadi pelengkap kegembiraan kami Minggu malam, pukul 20.00 Wita, lalu. Denganlahap anak-anak menyantap menu kaki lima di pusat kaki lima Renon Denpasar tersebut. Tiga lagu dari pengamen, yang semuanya mereka ikuti, menambah perayaan malam itu.

Kami pantas merayakan malam itu. Sebab kami sudah melewatinya, meski tidak sukses-sukses amat. "Yang penting kami sudah tampil," kata Gede Santika, salah satu dari 11 anak itu. Mereka bisa bisa melewatinya. Dan itu sebuah modal awal.

Malam itu, anak-anak yang tergabung dalam Naknik Community itu baru saja usai mementaskan teater di wantilan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali. Mereka salah satu penampil dalam Pesta Seni Anti Diskriminasi yang diadakan Ikatan Korban Napza (IKON) Bali. "Pentas seni ini sebagai bentuk kampanye agar mantan pecandu narkoba maupun pecandu narkoba tidak terus mendapat diskriminasi dari masyarakat lain," kata Koordinator IKON Bali, IGN Wahyunda.

Seperti temanya, pentas seni yang dilaksanakan IKON Bali itu pun mengundang berbagai kelompok. Ada pegiat teater, musisi, seniman, aktivis, atau sekadar penggembira. Campur aduk. Jerinx, salah satu musisi ternama di Bali anggota Superman is Dead, dengan band-nya yang lain, Devildice, diundang sebagai bintang tamu. Aktivis Wayan Suardana alias Gendo, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Bali ikut hadir memberikan orasi. NakNik Community turut hadir sebagai penggembira.

Toh, meski sekadar penggembira, NakNik Community cukup lama menyiapkan penampilan malam itu. Anak-anak yang semuanya tinggal di Jalan Subak Dalem Gang V Denpasar Utara itu sudah berlatih sejak sebulan sebelumnya.
Tiap hari mereka berlatih di halaman rumah No 18. Itu rumah kami, tempat saya, istri, dan Bani anak kami tinggal.

NakNik Community lahir karena ketiadaan kegiatan menyenangkan dan mendidik di gang kecil tempat kami tinggal. Maka, sejak dua tahun lalu kami tinggal di sana, kami mengajak anak-anak itu untuk membuat sesuatu. Kami bikin majalah dinding tiap bulan sekali, meski kadang juga dua bulan sekali. Tiap 17 Agustus kami bikin lomba Agustusan. Ada pula pentas seni diisi nyanyi dan tari pada saat tertentu, misalnya hari raya Kuningan tahun ini. Ketika liburan kami mengadakan kemah bersama, di belakang rumah.

Perayaan ulang tahun, bakar ikan, bakar ketela, buka puasa bersama (meski banyak yang tidak puasa), atau sekadar bermain di halaman rumah kami lakukan untuk menumbuhkan kebersamaan. Juga keberanian bersuara. Dan, teater adalah salah satunya.

Maka, ketika IKON Bali mengabarkan rencana untuk mengadakan pentas seni, kami menyambut dengan penawaran, "Boleh nggak anak-anak di gangku main teater di sana?" tanya Luh De Suriyani istri saya sekaligus pengempu NakNik Community. Tentu saja Wahyunda dan kawan-kawan IKON Bali menyambut gembira tawaran itu.

Naskah yang saya buat sekitar Agustus lalu itu pun kami pakai lagi. Ceritanya tentang ksatria semut hitam mencari obat ARV untuk membantu mantan pecandu yang sudah kena AIDS, bukan hanya HIV. Dua ksatria semut hitam (Jenny dan Risma) itu mencari ARV (Wira, Komang, Wayan, dan William). Mereka diperintah ratu semut (Ayu) yang hendak menolong rakyatnya Agus, mantan pecandu yang kena AIDS.

Perjalanan mencari ARV itu dihalang-halangi nenek sihir (Tata) dan dua gagak kembar (Made dan Gede). Namun perjuangan mereka berhasil sehingga bisa menolong Agus.

Tiap malam pukul 07.30 Wita, kami berlatih. Halaman rumah sempit itu kami pakai sebagai panggung. Istri saya yang menunggu mereka latihan.

Latihan itu tidak mudah. Ada saja masalah. Lebih sering karena masalah di antara mereka. Ada yang ngambul karena tidak suka dicandain. Ada yang barantem dari yang semula bercanda. Paling parah adalah anak-anak yang masih kecil, Wira, Komang, William, dan Kadek yang hampir tiap malam berantem. Ujung-ujungnya ada yang nangis. Latihan pun terhenti. Untungnya mereka masih kecil, rata-rata kelas 1 SD, jadi mereka juga cepat baikan.

Masalah lain, ekonomi keluarga anak-anak itu termasuk kelas bawah. Sementara kami juga butuh kostum untuk tampil. Untuk beli kostum jelas tidak mungkin karena mahal. Jalan keluarnya kami pakai saja pakaian seadanya asal nyambung: kaos hitam, bando, daun pisang kering, dan apa pun yang bisa kami pakai.

Kostum yang apa adanya itu ternyata ditambah masalah lebih besar lagi: kurangnya tata suara (sound system) di panggung malam itu ketika anak-anak tampil. Ini yang paling parah sebab suara anak-anak itu jadinya tenggelam di antara sekitar 100 penonton malam itu. Masih untung suara narator terdengar jelas.

Minimnya suara itu juga berdampak pada ketidakjelasan cerita bagi penonton malam itu. Maka, ketika anak-anak selesai tampil dengan mengandalkan dialog datar tanpa ekspresi atau gerak tubuh yang mendukung, penonton seperti tidak tahu. Tidak ada tepuk tangan ketika anak-anak selesai tampil.

Mungkin penonton kecewa dengan penampilan seadanya kami. Tapi kami tidak. Kami senang karena kami sudah melewatinya. Kami memilih keberanian sebagai tujuan, bukan pujian.

"Ternyata asik banget bisa tampil" kata Ayu.

"Kapan-kapan kami mau lagi," sahut Nyoman.

Maka, kami pun merayakan penampilan sederhana kami malam itu. Kami bergembira di tempat makan. Tidak peduli dengan sekitar 20 pengunjung lain yang nyengir-nyengir melihat kami. Kami tetap saja bernyanyi. [b]


1 komentar:

Arifin mengatakan...

wah artikelnya sangat menarik nih.. terima kasih !

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan