Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Jumat, 30 November 2007

After Fashion on the Street - Bali Fashion Week 2007

>>Narcis<<

Karena sadar akan ketampanannya, Narciscus mati tenggelam ke dasar telaga

Dan kini kami sedang dalam rangka Narciscus Project!

Kliping-kliping situs di bawah ini memuat photo dan berita tentang Fashion on the street Bali Fashion Week 2007 dan tentu saja foto yang terpampang adalah fashion yang didisain oleh kami - Bali theatre community -

Bila ingin membaca berita lengkapnya, anda tinggal klik foto dibawah..







Selasa, 27 November 2007

Pentas Tari Malino

>>Pentas Keliling Yayasan Batara Gowa di Bali<<

Bertempat di Jaba Pura Kahyangan Tiga, Yayasan Batara Gowa Makassar menggelar karya tarinya.









Banjar Teges Kanginan Ubud malam itu tak ada tanda-tanda akan ada acara pagelaran. Anak-anak berlarian di jalan, beberapa orang tampak bergerombol di balai banjar, empat orang anak muda nampak asyik ngobrol di warung kopi.

Saya yang sampai di Teges pukul 19.30 mulanya agak ragu; benarkah di banjar ini malam ini (Selasa, 27 November 2007) akan ada pentas dari Yayasan Batara Gowa Makassar?

Keraguan agak hilang saat saya melihat baligho besar di parkir pura yang menginformasikan pentas tari Ma’lino. Tapi saya tak langsung masuk ke Pura yang letaknya berhadapan dengan balai banjar itu. Saya masuk ke warung kopi dan ngobrol dengan anak muda yang tengah asyik ngopi. Dari obrolan saya tahu bahwa mereka bukan dari banjar Teges tapi dari Sukawati (sekitar 15 menit dengan kecepatan 60 km/jam). Mereka memang sengaja datang ke Teges malam itu untuk menonton pentas tari dari Makassar.

Saat serunya kami ngobrol, tiba-tiba dari arah pura, terdengar suara gendang bertalu-talu. Kami pun menghentikan obrolan dan bergegas ke pura. Orang-orang yang tadi tampak bergerombol di balai banjar juga sudah tak ada lagi.

Setelah melewati pintu pura dan masuk pelataran pura saya terkaget. Bila di halaman pura (tempat parkir) tampak sepi, tapi di dalam pura bagian jaba (pelataran) sudah penuh sesak dengan orang.

Jaba Pura Kahyangan Tiga yang bentuknya amphitheatre itu disesaki dengan penonton anak-anak, bapak-bapak, ibu-ibu hingga kakek-kakek. Tampaknya malam itu warga banjar Teges semuanya meruah di jaba pura. Seandainya ada juru absen, barangkali total orang yang hadir mendekati 400an orang. Mereka berdesak hingga di dua pintu masuk ke pura.

Seperti layaknya menonton pertunjukan tari tradisi yang acap digelar di jaba pura ini, mereka menonton dengan santai dan riang. Anak-anak duduk di barisan depan ditemani ibu mereka, di barisan belakang bapak-bapak dan orang yang sudah tua duduk sanati sambil merokok. Di Bali, Jaba pura biasa digunakan untuk mementaskan tari-tarian tradisi yang bersifat hiburan/menghibur. Areal pura memang dibagi menjadi tiga; pelataran, tengah dan dalam. Di setiap areal memiliki kode etik tertentu untuk mementaskan seni pertunjukan. Untuk tari yang bersifat ritual sakral hanya dipentaskan di areal dalam, yang sifatnya semi sakral dimainkan di tengah dan yang hiburan di pelataran. Pertunjukan yang bersifat hiburan tak boleh dimainkan di areal tengah dan dalam. Begitupun sebaliknya.

Di atas panggung tampak 3 lelaki bermain gendang, 1 lelaki bermain seruling dan 1 wanita yang memainkan kecrek. Mereka duduk di lantai beralas tikar pandan. Tak ada lampu warna warni layaknya di gedung pertunjukan. Penerangan yang dipakai sangat natural; bulan purnama dan tiga lampu petromaks.

Irama rampak dan dinamis menggugah orang-orang untuk berdatangan. Tak seberapa lama, Ketut Rina – seniman asal banjar Teges -, memulai acara dengan membacakan informasi seputar pagelaran yang akan dilangsungkan. Semua berlangsung dengan santai dan ringan, tak ada kelihatan ceremonial opening ataupun apa.

Yayasan Batara Gowa dari Makassar dengan dukungan Yayasan Kelola akan mementaskan dua nomor tabuh (musik) dan tiga nomor tari-tarian, demikian informasi yang saya dapatkan.

Mengawali pagelaran, musik Tunrung Rincik dimainkan. Suasana kompak dan bersemangat sangat terasa saat melihat dan mendengarkannya. Para pemain gendang yang memainkan gendangnya dengan rampak dan ritmis membuat para penonton larut. Anak-anak tertawa saat melihat pemain gendang begitu bersemangat dan ekspresif. Nada riang dan cepat serta “terlihat lucu” barangkali akrab dengan suasana keseharian warga desa.

Selesai musik Tunrung Rincik, dilanjut dengan tari Tondokku. Tarian yang dibawakan oleh 5 orang perempuan ini lebih terasa suasana “Melayu”-nya, baik musik maupun gerakannya. Tak heran bila bapak-bapak di belakang saya bercakap-cakap dengan bahasa Bali menerka-nerka asal tarian ini.

Hanya memakan waktu kurang lebih 11 menit tarian ini usai, kemudian disambung dengan musik Doleng-Doleng. Penelusuran terhadap berbagai unsur kemungkinan musikal dari vocal dan kecapi, menyuguhkan keunikan dan kesegaran tersendiri. Suara-suara yang kadang meninggi dan tiba-tiba merendah seakan mengajak pendengar ke muasal daerah penciptaan: Makassar.

Suguhan musik yang segar, disusul dengan tari Pajoge Macening. Lima perempuan bugis yang menari dengan anggun, selaras dengan kostum yang dikenakan. Tentu berbeda dengan gerak tari Bali yang lincah. Tapi itu tak menyurutkan penonton untuk terus menikmatinya. Vocal pemain gendang dan penyanyi wanita yang melatari menjadi daya tarik tersendiri. Celetukan-celetukan pemain gendang yang terdengar lucu, menggugah penonton untuk tertawa.

Seusai Pajoge Macening kemudian diseling sebentar dengan permainan musik. Tak seberapa lama, lima orang penari perempuan muncul. Dengan gemulai mereka menarikan tarian Ma’lino. Tarian yang terinspirasi dari tarian klasik Makassar yakni tari Pakarena.

Bagi saya ini menarik, saat adanya pertemuan tarian klasik Makassar di tempat yang biasanya disuguhkan tarian tradisi Bali. Betapa tidak? Ada perbedaan gerak, ritme dan nuansa yang sangat berbeda. Bila tarian Pakarena ditarikan – meski dalam bentuk baru – penuh dengan kelembutan dan gemulai, sedang tari-tarian yang biasa diapresiasi warga desa adalah tarian yang ekspresif, ritmis dan lincah. Setidaknya dengan adanya pementasan tari Malino dari Yayasan Batara Gowa Makassar ini membuka wacana warga dengan keberagaman Indonesia yang beraneka namun tetap satu ika yang mempunyai kekhasan masing-masing.

Minggu, 25 November 2007

Fashion the Street

>>Sehabis Main di Jalanan<<

Untuk pertama kalinya saya maen di acara fashion.

Bareng Rika Puspasari, Moch Satrio Welang, Ketel Subekti, Joo Mubarok, Giri Ratomo, Dandiasri, Bintang Riyadi dan Benny. Juga gerombolan teater Topeng SMA 2 Denpasar yang sebagian besar wanita. Kami bermain-main di jalan. Sepanjang jalan antara Discovery Mall hingga depan mc donald Kamasutra Kuta.




Sabtu, 24 November 2007

Mencari Monolog-er Bali?

>>Monolog berbahasa Bali<<

Sabtu tadi, bertempat di Taman Budaya Bali digelar acara lomba monolog berbahasa Bali untuk pelajar SMA se Denpasar. Saya terharu, bahwa masih ada orang yang bersimpati membuat event teater. Saya juga terharu saat mendengar bahwa pihak taman budaya bali mendukung penuh acara ini; dari menyediakan tempat, menyediakan konsumsi untuk peserta dan juri, menyediakan hadiah-hadiah buat para pemenang.

Sayang sekali saya tak bisa menonton langsung acara lomba ini. Makanya sampai tulisan ini diturunkan saya masih ngendusngendusketerangan; siapakah yang menggagas acara ini dan bagaimana acara ini berlangsung?

Jumat, 23 November 2007

Semoga Anda Tak Rugi

>>Sehabis nonton pertunjukan<<


Baru saja saya pulang dari kampus Institut Seni Indonesia Denpasar. Tadi kampus ISI Denpasar yang biasanya pada sore hari sangat sepi sekali berubah menjadi hingar bingar. Maklum, di kampus ini lagi di gelar hajatan Festival Kesenian Inonesia.
Sebagai orang yang ngga sekolah di ISI, saya tak terlalu peduli dengan festival ini. Yang saya tahu, malam ini ada pementasan teater dari STSI Bandung jurusan teater. Disutradarai Rahman Sabur.
cleguk..
Saya sudah lama pengin nonton karya beliau.

Sehari sebelumnya Elvis dateng ke tempat saya ngebawa undangan. Undangannya ga tanggung-tanggung besarnya. Kalau biasanya undangan paling ukurannya se postcard, tapi pertunjukan ini undangannya se gede poster. Bolehlah..

Elvis cerita kalau temen-temen Bandung lagi sibuk nyiapin perahu untuk pentas. Panjangnya duapuluh meter. Bahannya dari bambu semua. wouw..

Sejak Senin kemarin, saya memang (hampir) terlilit jadwal, jadwal dan jadwal. Pagi mesti ke Laboratorium virologi untuk penelitian virus avian influenza, pulangnya sore jam duaan. Terus jam empatan nongkrongin anakanak teater topeng; latihan monolog basa bali dan latihan Mak Comblang. Malemnya di matamera ngobrolin fashion the street-nya Bali Fashion Week.

Jadi, ga nyempetin nongkrong di ISI bareng tementemen Bandung dan KSDD yang mbantuin mereka nyetting.

Dan malam tadi saya berhasil menyempatkan nonton "NOAH"nya Rahman Sabur dkk...wuuuuh..

Anda (yang di Denpasar) rugi saat anda tak bisa nonton pementasan ini.




Rabu, 21 November 2007

Teater Bali dan Pekerjaan Rumah

>>Gagap ber-Komunikasi?<<

Wah sial betul itu namanya: gagap ber komunikasi. Macet saat berdialog. Atau bahkan tak ada dialog. Monolog. Semua serba tek tek tek. Istilahnya: kurang meng-hek-kan penonton. Para pelaku ngobrol sendiri.

Saat bertemu muka, tak mampu mengungkapkan kata-kata.

Dan kesialan berikutnya: tak ada catatan-catatan yang akurat. Peristiwa teater yang terjadi kapan dimana bagaimana siapa dan seterusnya.

Selasa, 20 November 2007

Teater Bali dan Pekerjaan Rumah

>>Catatan ketiga<<

...pada dasarnya manusia memiliki keinginan bawah sadar untuk menguasai orang lain...


Saya beranggapan, bahwa manusia terlahir memiliki keinginan untuk "menjadi lebih" dibanding manusia lain.

Senin, 19 November 2007

Teater Bali dan Pekerjaan Rumah

>>Catatan kedua<<

Kenapa di Negara, Singaraja dan Denpasar kondisi teater modernnya "sudah agak mendingan" dibandingkan dengan enam kabupaten lain?


Di Negara, tahun 1993-an, teater Kene didirikan oleh Nanoq da Kansas. Seiring waktu kemudian Teater Kene mengubah nama menjadi Bali Experimental Teater. Berbagai pertunjukan pernah mereka pentaskan di Negara, Denpasar dan Singaraja. Bahkan mereka juga pernah berkeliling Jawa dan juga pentas di Jakarta. Selain mengadakan pementasan, Bali Experimental Teater pada kurun 1998-2000 juga rutin menggelar acara RAJER BABAT. Event ini merupakan ajang apresiasi antar pelaku dan komunitas seni; teater, sastra dan lukis. Bukan hanya kelompok seni yang ada di Bali, namun event ini juga beberapa kali diikuti oleh kelompok seni dari Jawa, Lombok dan Sumatra. Pementasan, diskusi dan pameran digelar tak hanya memusat di satu tempat tetapi menyebar di beberapa tempat Negara. Hal tersebut membuat masyarakat Negara (ikut merasa) terlibat dalam event. Tak heran bila sampai tahun ini (2007) masyarakat Negara tak terlalu buta dalam mengapresiasi teater maupun seni sastra.


Di Singaraja, sepanjang tahun 1990-an hingga sekarang sering terjadi peristiwa teater yang diadakan kelompok teater lokal Singaraja, maupun kelompok teater tamu dari luar Singaraja bahkan dari luar Bali.

Teater Seribu Jendela merupakan teater kampus yang dimiliki Undiksha (dulu IKIP Negeri Singaraja). Mereka cukup produktif mengadakan pementasan, rutin melakukan regenerasi anggota dan menggelar festival teater di Singaraja. Dukungan dari pihak kampus membuat Teater Seribu Jendela tetap bertahan hingga sekarang, meski sempat mengalami masa pasang surut seperti layaknya teater kampus lain.

Adalah prof Sunaryono Basuki (dosen senior di Undiksha), Hardiman (dosen seni rupa Undiksha) dan jajaran staf akademik lain yang selalu menjadi "pemomong" mahasiswa-mahasiswa Undiksa yang tergabung di dalam Teater Seribu Jendela.

Di luar kampus, Sanggar Kampung Seni Banyuning yang dimotori Putu Satria Kusuma merupakan kelompok teater modern yang produktif. Hampir setiap tahun dari tahun 1990an akhir hingga 2007 ini mereka selalu mewakili kabupaten Buleleng untuk pentas teater modern di Pesta Kesenian Bali.

Denpasar, sebagai pusat pemerintahan propinsi, irama teater modern sudah terdengar sejak 1980-an. Tahun 1980-an, teater modern digelorakan oleh Abu Bakar, Anom Ranuara dan Kadek Suardana. Pertunjukan-pertunjukan teater sering mereka lakukan dengan benderanya masing-masing sebagai kelompok teater independen. Abu Bakar dengan bendera Teater Poliklinik, Anom Ranuara dengan Teater Mini Badung dan Kadek Suardana dengan Sanggar Putih. Pertunjukan-pertunjukan giat mereka lakukan baik sebagai pementasan tunggal maupun "dalam rangka" pesanan instansi tertentu. Mereka juga acap bermain untuk pertunjukan di TVRI Denpasar. Persentuhan mereka dengan mahasiswa dan pelajar, memberi inspirasi bagi pelajar dan mahasiswa membikin kelompok teater.

Tahun 1990an, di Universitas Udayana, hampir setiap fakultas memiliki kelompok teater. Sebutlah teater Justisia yang dimiliki fakultas hukum, Sanggar Purbacaraka milik fakultas sastra, fakultas ekonomi mempunyai teater Equilibrium, Teater Hipokrates dimiliki fakultas kedokteran. Sedang di SMA, teater Angin dimiliki SMA 1 Denpasar, teater Tiga dimiliki SMA 3 Denpasar.

Program perlombaan teater modern yang diadakan oleh senat mahasiswa fakultas sastra Universitas Udayana yakni Lomba Drama Modern setiap tahun agaknya memacu tumbuhnya kelompok-kelompok teater dan saling bersaing untuk terus berkarya. Sayangnya gegap gempita LDM yang diadakan sekali dalam setahun, mati di tahun 1997. Seiring matinya lomba drama modern tersebut, perlahan kelompok teater umum dan teater kampus yang pada tahun 1990 semakin banyak, turut pula gulung tikar. Teater-teater fakultas anggotanya makin menipis dan berakhir tragis. Sementara kelompok teater umum dan sanggar seni modern lambat laun tersengal-sengal.: hidup segan mati tak mau.



*bersambunglah..

(like a) curhat

>>From Moko with Love<<

Dear Diary,


Mungkin karena dalam beberapa hari ini aku ngga ada aktivitas (BEN stuck!), hari-hariku habis di D-net. Selalu D-net yang menjadi stasiun terakhir, meski aku sadar bahwa D-Net bukan kota tujuan. Mungkin karena di sini aku punya Free-Member untuk menjadi Warga Dunia. Semoga internet menjadi pintu itu.

Mengawali rutinitas baru (model lama), check email berharap ada harapan yang nyasar di kotak inbox. Ngga beruntung, lalu buka file2 inbox email orang lain. Sebetulnya hal itu mengiurkan, but it's wronk way. Butek, buntu, butuh sesuatu, searching google. Nice done but nothing.

Bingung cari keyword. Ketemu, ketik "t.e.a.t.e.r". Berbagai situs, forum, dan blog memuat kata itu. Total hasil yang keluar ditampilan; Urutan 1 - 10 dari sekitar 13,600,000 hasil penelusuran untuk teater. (0.07 detik)

Ngobrolin teater aku selalu inget temen satu ini, Mr. to mBro. Untuk masalah satu ini memang ngga enak tanpa melibatkan kamu mBro!
Kamu yang suka mendobrak semua kepalsuan ini dengan banyolan-banyolan tolol.
Kamu yang suka melakukan inovasi-inovasi yang kadang menjengkelkan (NB: benih tanpa janin (orok), PPA, pentas legian, bloggerisasi (wacanaisasi) teater, and any others.
Kamu yang resah dalam beberapa kegetiran dan kemudian kamu tertawa (ato mentertawakan?)
Dan inget mBro, satu pelajaran terbaik adalah
"You can not make everbody happy"

Bagiku tomBro adalah ikon, tapi jelas bukan idol. Dia terlalu kerdil untuk dijadikan idol. Tapi dia menjelma menjadi sebuah peran dalam pikiranku.
Lecutan semangatnya seakan ngga habis. Belum reda tamparan temen satu ini, muncul tamparan baru main teater di panggung catwalk. Aneh!=Segar?
Totalitasnya di bidang teater terkadang memunculkan pertanyaan, apakah teater bisa jadi sebuh profesi, menjadi semacam karir dalam pekerjaan.
I don't know. Are u know's mBro?
It's Ok, jika kamu sedang berpikir tentang karir untuk hal ini.
"Aku akan meniti karir keteateranku?"
Tapi kembali aku ingin bertanya pada kamu mBro,
"Untuk karir yang mana?"

"You was bet your truely career for that nonsense activity"
jawabku lagi menolak argumenmu. Mendingan jadi dokter hewan yang sudah jelas juntrungannya. Kamu kuliah dan belajar tentang itu.
"Kamu ngga bisa mengambil dua-duanya, kamu harus memilih mBro!"
"Kamu mungkin enggak, tapi aku bisa." jawabnya

Ketika tiba-tiba embun dari AC D-net netes di kepala, baru aku tersadar bahwa sebenarnya aku sedang bercakap-cakap dengan diri sendiri.
Wadaw bahaya, bisa gila aku ini. Wabah to mBro.

Mungkin aku akan gila jika obrolanku dengan peran menjadi to mBro masih memunculkan dialog-dialog sentimentil. Aku sebagai individu dengan to mRo yang boleh aku katakan sebagai sisi lain kejiwaanku (Young -evil- Spirit).
Aku yang terlahir dalam ranah kebudayaan modern Jawa dan aku sebagai Karang-Kemojing yang masih kolot.
K.A.R.A.N.G.K.E.M.O.J.I.N.G, sebuah kata kunci yang menarik untuk digoogling.
& the result are : Urutan 1 - 8 dari 8 hasil penelusuran untuk "karang kemojing". (0.06 detik), 3 situs punya to mBro, 1 situr punya orang kayak to mBro. 2 mungkin punya dia juga. 1 punya instansi, dan yang terakhir situs data sekolah kejar paket B.

Google Said
Supaya hasil yang terlihat benar-benar relevan, kami telah menyingkirkan beberapa entri yang sangat mirip dengan 8 hasil temuan yang sudah ditampilkan. Jika diinginkan, silakan ulangi pencarian dengan mengikutsertakan hasil temuan yang tadinya disingkirkan.
Mungkin ini maksud Anda: "karang kamojing"

Hahahahaha...
Google saja nolak. Akan tetapi to mBro tetap saja mencoba meng-akali tehnologi dengan membuat banyak keyword link tentang Karang Kemojing.
Jujur tulisan ini, dibikin dalam 2 topik. Menerima teater dalam hubungannya dengan Semangat Muda & Pantang Menyerah" dan tentang to mBro, karakterisasi kegilaan akut yang mewabah.
In the momment i'm stuck.
To hard for wake up.
Anjrit ternyata menjadi muda begitu susah,
begitu susah...
begitu tidak gampang dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah.

Hidup bukan googling...
Hidup bukan emailing...
Hidup bukan choosing...
Bukan soal memilih rumah, memilih pasangan, memilih karir,
memilih tV flat 67 inchi, memilih hand phone,
memilih punya tabungan atau memilih simpan di bawah bantal.
Memilih untuk tidak memilih (golput), memilih untuk menolak,
dan menolak untuk memilih.

Menolak untuk memilih peran to mBro!

teater, pilih peran.

Moko
in the stuck momment, getting a little spirit from your blog.
if i know's i was wrong, i'll never do that. TTG for U'r Misery Life.
because it i must gathering sign.

hehe kamu ketahuan

>>postingan dari Moko<<

Semoga GATEL bukan

Bermain teater.
Bermain Seni Teater.
Seni Bermain Teater.
Teater Seni Bermain
Teater = Bermain ?

Saya selalu males ketika diajak temen pergi ke retail film apalagi pas patungan uang buat sewa DVD. Jujur saya agak terpaksa (kadang penjaganya ngga ramah). Tetapi pas nyampe di sana satu hal yang selalu membuat tertarik adalah banyaknya koleksi movie terbaru; Kaku, Milih, Sewa, Mahal, Tonton, dan PUAS! (kapitalisasi huruf sebagai tanda double salut)

Malam itu ke kost Dedy, pengen mandi dan mo nitip nyuci beberapa potong baju. Jika ngomongin Dedy (Stop! nude cams chat), saya selalu punya rantai asumsi model gini - Kost. >> Internet Phishing. >> Benalu keSENIan Bali. >>. Big FatDaddy >> Totally J*mlo. >> Mesin Cuci Pengering Auto. - (i love your washing machine Ded, Swear!)
Jika saya bilang benalu, ini berarti dia memang suka nempel dan nempel belum tentu jahat. Belum tentu jahat bisa berarti baik, baik modal ke surga. Tapi untuk kasus ini, tidak ada tiket ke surga buat seorang benalu. Pas nyampe di Kost dedy, ternyata ada; Reynald, Elvis, Kriting, n of course The big D lagi ngomongin teater.

"Nice conversation topic, but...?"

Ada yang ngeganjal perasaan saat Elvis nawarin FreePass pin GATEL. Gila sebuah kehormatan untuk bisa nonton teater dengan status "Undangan VIP" (jika kamu pikir narsis atau berlebih,saya juga berpikir demikian). Jadi berpikir ngeganjal dan kontradiktif dengan perasaan tersanjung adalah ketika refleksi pementasan GATEL tahun kemaren.
Begitu banyak pemain muda yang berbakat, begitu beragam naskah yang dipentaskan, dan begitu semarak tata pangung (konsep) minimalis yang ditawarkan. Lalu setelah acara itu berakhir, kemanakah semua itu?
Selalu, untuk pentas teater, saya rasakan; bebas, alternatif, datang-pergi, gratis, murah, tonton, dan BIASA SAJA!

Saya selalu berpikir bahwa teater adalah ruang alternatif yang begitu potensial, tapi mengapa selalu saja semua itu tampak main-main. Teater tidak menjadi sebuah kantor yang kaku hingga karyawan akan sangat takut untuk tidak melakukan aktivitasnya. Teater tidak menjadi kabin pesawat yang setiap orang tidak akan berani keluar sebelum sampai pada tujuannya. Teater tidak menjadi kurikulum yang mempunyai staf pendidik yang bergaji sama dengan gaji guru lainnya.

Tapi mungkin teater adalah pilihan, teater adalah sampingan, teater adalah pelajaran extraco., teater adalah unit kesenian, teater adalah bermain, teater taman, dan pentas teater adalah taman bermain.
Setiap orang bisa come and go
Setiap orang bisa say goodbye and hello
Setiap orang bisa stuck and flow
Setiap orang bisa lead and follow
Setiap orang bisa high and low
Setiap orang bisa fast and slow
Setiap orang bisa menjadi dan menjadikan pentas teater sebagai ruang aktivitas yang paling kosong.
Menjadikan sebuah aktivitas ruang kosong yang paling potensial.
Seperti anak kecil yang bermain.
seperti anak kecil yang aktif bermain.
Seperti anak kecil yang aktif terus bermain.
Kosong,
Potensial,
GATEL >> KOSONG >> POTENSIAL.

teater, Empty but Potensial!


Moko
(Pacar Dian, lagi selingkuh sama Maya. Anti Happy Hour (paket perendahan status). Lagi memikirkan koneksi internet gratis temen yang ketahuan. ixixix...semoga bayar bukan halangan.)
Note to u mBro = be Hacker Billing

Sabtu, 17 November 2007

Teater Independen

>>Ke-independen-an Teater Independen<<

Siapa yang benar-benar independen? apa sih independen? Mampu ga kita independen?

Ngomongin teater independen, di Bali, benar-benar ada atau mengada-ada?

Rabu, 14 November 2007

Teater Bali dan Pekerjaan Rumah

>>catatan satu<<

Hari ini saya pengin ngobrolin pekerjaan rumah (kelompok) teater (di) Bali.

Berbicara Bali, acap kali cerminnya mengecil menyempit menjadi -hanya- seputar Denpasar. Ini jelas tidak adil. Padahal ada sembilan kabupaten dan kotamadya di Bali. Namun kenyataannya, berbicara teater modern dan penyebarannya di Bali memang tidak merata.

Denpasar, Negara dan Singaraja barangkali akrab dengan pementasan-pementasan teater. Meski, sebenarnya itupun masih seputar ibukota kabupaten -atau bahkan- seputar kampus saja. Belum mencapai kota kecamatan apalagi sampai ke banjar-banjar.

Enam kabupaten lain yakni Badung, Bangli, Gianyar, Klungkung, Karangasem dan Tabanan hampir-hampir sayup semampai bisikbisik teaternya. Dalam setahun, belum tentu ada pementasan teater modern di enam kabupaten itu.

Secara kepadatan penduduk dan pendapatan perkapita, Badung menempati ranking pertama. Dengan mengandalkan obyek wisata pantai Kuta dan Nusa Dua, Badung cukup banyak dikunjungi wisatawan domestik dan manca. Bila kita sambung sambungkan dan mencari-cari pertanyaan maka akan muncul pertanyaan: mengapa malah di Badung tak ada kelompok teater modernnya? Kenapa jarang ada pementasan teater modern di Badung? Padahal banyak penduduk dan pendapatannya diatas rata-rata? calon penonton juga banyak? bule-bule lagi.

Gianyar, mempunyai banyak tempat wisata pantai, juga pusat art-nya Bali. Gianyar mempunyai Ubud, desa seni yang lebih banyak dipadati tamu-tamu asing. Mengapa di gianyar jarang ada pementasan teater modern? Tidak ada aktivitas teater modern? Padahal semestinya kemungkinan pertemuan budaya bisa terjadi di Ubud.

Dari Bangli, Karangasem dan Tabanan di dapat pertanyaan yang sama. Kenapa?



Selasa, 13 November 2007

Paling Tidak

>>Yang angetanget tai ayam<<

Lumayan juga. Meski hujan sudah mulai nangkring di bulan ini, tapi hangatnya hawa teater makin meresap.

Lumayan juga sepetak tempat di kampus Universitas Udayana dipakai latihan "Mencari Hidoep Baka" - nya Amal Hamzah oleh Teater Orok. Saat jalan ke taman budaya, ada sekelompok anak muda lagi latihan naskah "Lawan Catur". Mampir ke SMA 2 Denpasar, anak-anak teater Topeng lagi sibuk latihan latihan "Mak Comblang".

Paling tidak, akhir tahun tak sesepi pertengahan tahun. Grup-grup teater di Denpasar mulai bergiat lagi.

Apa kondisi ini akan terjaga menjadi sebuah kebutuhan latihan meski tak ada event?

Senin, 12 November 2007

Hasil Seleksi GATEL 2007

>>Anget-Anget Tahi Ayam<<

Baru saja hasil kurasi peserta GATEL diumumkan. Jumlah keseluruhan peserta GATEL 2007 yang mengumpulkan formulir seleksi ada 9 grup. Dari teater sekolah ada Teater Ombak SMA 1 Kuta Utara, Teater Topeng SMA 2 Denpasar, Teater Tiga SMA 3 Denpasar, Teater Blabar SMA 4 Denpasar, Teater Kirana SMA 6 Denpasar dan Teater Antariksa SMA 7 Denpasar. Sedang dari teater kampus ada Teater Orok Universitas Udayana dan Sanggar Purbacaraka Faksas Universita Udayana. Satu kelompok teater umum yang juga mengumpulkan formulir seleksi adalah Komunitas Mata.

Tahun ini panitia GATEL menunjuk 3 orang sebagai tim kurasi yakni Elvis O Parluxtond, Yuanita Ramadhani dan Giri Ratomo. Menurut tim kurasi, kriteria pertama yang menjadi pertimbangan sebuag kelompok dapat lolos seleksi atau tidak adalah dilihat dari aktivitas latihan atau proses latihan naskah yang akan dipentaskan. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kesiapan tim produksi, pemilihan naskah dan track record pementasan-pementasan sebelumnya.


Tim kurasi sendiri mengeluhkan bahwa sedikit sekali kelompok teater yang menyadari pentingnya latihan rutin, meskipun tidak ada event pementasan. Tidak heran bila, dari 9 kelompok yang mengikuti seleksi hampir kebanyakan tak bisa lolos.
Mereka yang lolos dan akan pentas di panggung GATEL adalah Teater Topeng, Teater Blabar , Teater Kirana dan Teater Orok.

Kata salah seorang tim kurasi, sebenarnya Teater Tiga memenuhi persyaratan lolos seleksi, namun disayangkan sampai hari pengumuman seleksi pihak sekolah SMA 3 Denpasar belum memberikan ijin anak didiknya ikut berpartisipasi di event GATEL.

Dari hasil kurasi ini, bisa dipastikan tanggal 14 sampai dengan 19 Desember 2007 nanti, panggung GATEL akan semarak dengan pementasan teater terpilih. Kata salah seorang panitia, Meymey, ada 5 bintang tamu yang akan manggung. Mereka adalah Creamer Box dari Bandung, Teater LAH dari Jakarta, TEKU dari Jogjakarta, Teater Seribu Jendela dari Singaraja dan Kelompok Satu Kosong Delapan dari Denpasar.

>>

Minggu, 11 November 2007

Teater di Denpasar; apa kabarmu?

Hallo lagi pada ngapain?

>>

Maap oom, tante..kami masih bobo ajah. Sekarang dah mulai musim ujan masalahna..so, mending bobo ajah

<<

Loh ga latihan?

>>

Latian apya? emang mw pentas kapan?

<<


Ya latiyan ajah. Emang latiyan mesti pentas ya? pa latiyan mesti buwat pentas?

>>

Ya iyalah uums..tanteee.. masya teriyakteriyak puterputer tubuh kringeten tapi ga jelas buwat apa en mawu apya...weeew

<<

Undangan

MENONTON DRAMA:
CUPAK TANAH


karya:
Putu Satria Kusuma

Produksi:
Teater Kampoeng Seni Banyoening.

Tempat/ tanggal:

Kamis, 8 Nopember 2007, di
CCL ( Jl. Setia Budhi No. 8 / 169 A Ledeng
Bandung )
PK 20:00 WIB

Sabtu, 10 Nopember 2007, di
ISI Yogyakarta ( Lapangan Fakultas Seni Pertunjukan, ISI )
PK. 19.00 WIB

Senin, 12 Nopember 2007, di
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel
Surabaya.
PK 20:00 WIB

Pementasan di Tiga Kota terselenggara Atas
Dukungan
Hibah Seni YAYASAN KELOLA.

Gatel di hari Minggu

>>Malam Minggu atau Hari Minggu atau apalah<<

Teman akrab saya - cowok - berkelakar;" mBrow, ini malem Minggu looh..masa gini-gini ajaaaah". Saya diam saja.
Teman saya yang lain, sambil berkemas dengan rambut klimis dan wangi, nyengir dengan santun dan ngomong;" ums..pergi dulu ya..ehm ga malem mingguan neh?". Saya ikut senyum.

Iya ya? Malem Minggu. Dan sekarang hari Minggu.

Hari Minggu pagi.
>> di Bali hari Minggu ini adalah hari banyupinaruh. Satu hari setelah hari raya saraswati - hari penghormatan kepada dewi pengetahuan - orang berbondong-bondong pergi ke pantai. Berendam atau sekedar jalan-jalan. Pantai di Bali biasanya tumplek blek penuh manusia.
Tapi sepertinya dari pagi subuh tadi hujan turun tiada terkira. Cobalah tengok dahan dan ranting, pohon dan kebun basah semua. Kuta, Sanur, Lebih, Lovina ramai ga ya?

Seramai teman-teman teater La jose kah?

Ups..pembaca yang budiman..
Hari Minggu ini panitia GATEL (gelar teater se bali) yakni teman-teman La Jose dari SMAK Santo Yosep sudah mulai rapat rapet merapatkan diri untuk event yang akan digeber Desember nanti. Mulai 14 sampai 19 Desember 2007, Denpasar akan disuguhi tontonan teater dari kelompok teater umum dan SMA dari Bali serta luar Bali.

Mudah-mudahan yang main benar-benar uhui ya....

Semestinya begitu. Kenapa? sebab GATEL kali ini hanya kelompok terseleksi saja yang bisa mentas.

Weeeeeh heboooh amat...emang ada yang mau ngikut?

Jangan salah! Ternyata event GATEL merupakan durian yang lama ditunggu keruntuhannya oleh para penggiat teater. Maklum, para penggiat teater (Denpasar) masih selalu mentas "dalam rangka".

ehmmm..jadi dalam rangka ada event baru produksi, begitu?

BetuL! tak heran bila ada 5 teater SMA di Denpasar (ples 1 - tuan rumah -)yang mulai sibuk milih-milih naskah dan tentu mulai latihan. Ditambah 2 teater kampus dari Denpasar yakni teater Orok dan Sanggar Purbacaraka Faksas Universitas Udayana ikut pula mulai latihan. Terus ada pula Komunitas Mata dan teater SatuKosongDelapan ikut-ikutan heboh latihan.

wuuuh semangat banget boosss..trus mereka pentas semua?

Belum tentu. Sebab GATEL kali ini ada proses kurasi. Jadi sebelumnya kelompok teater yang akan mentas dan sudah menyerahkan naskahnya tersebut akan diseleksi oleh tim kurasi. Bila mereka memenuhi syarat baru bisa mentas.

Weeeeh susyah ya? emang syaratnya apa aja?

Nah ini dia..kata panitia, penyeleksian didasarkan pada proses latihannya. Artinya, bila kelompok teater tersebut sampai hari ini belum mulai latihan, besar kemungkinan mereka tak lolos. Panitia - juga tim kurasi - sampai hari ini sudah mulai melakukan kontak per telpon maupun datang langsung ke tempat latihan calon peserta tersebut.

Seruuu jugaa...terus kapan diumumin yang lolos seleksi?

Kata panitia, hasil seleksi yang bakal pentas di GATEL akan diumumkan besok di SMA Santo Yoseph Denpasar.

Trus dari luar Bali siapa ja yang maeeen?

Dari luar Bali di pastikan ada Creamer Box dari Bandung, Teku dari Jogjakarta, LAH dari Jakarta. Dari Teater Seribu Jendela Singaraja juga akan pentas dan mereka merupakan tamu undangan.

>>Semoga GATEL tahun ini benar-benar ada yang beda secara kualitas<<



Sabtu, 10 November 2007

NakNik Communty, Merayakan Keberanian dengan Teater

Oleh Anton Muhajir

Sepuluh mangkok bakso, dua piring siomay, dan satu mangkuk mie ayam seperti jadi pelengkap kegembiraan kami Minggu malam, pukul 20.00 Wita, lalu. Denganlahap anak-anak menyantap menu kaki lima di pusat kaki lima Renon Denpasar tersebut. Tiga lagu dari pengamen, yang semuanya mereka ikuti, menambah perayaan malam itu.

Kami pantas merayakan malam itu. Sebab kami sudah melewatinya, meski tidak sukses-sukses amat. "Yang penting kami sudah tampil," kata Gede Santika, salah satu dari 11 anak itu. Mereka bisa bisa melewatinya. Dan itu sebuah modal awal.

Malam itu, anak-anak yang tergabung dalam Naknik Community itu baru saja usai mementaskan teater di wantilan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali. Mereka salah satu penampil dalam Pesta Seni Anti Diskriminasi yang diadakan Ikatan Korban Napza (IKON) Bali. "Pentas seni ini sebagai bentuk kampanye agar mantan pecandu narkoba maupun pecandu narkoba tidak terus mendapat diskriminasi dari masyarakat lain," kata Koordinator IKON Bali, IGN Wahyunda.

Seperti temanya, pentas seni yang dilaksanakan IKON Bali itu pun mengundang berbagai kelompok. Ada pegiat teater, musisi, seniman, aktivis, atau sekadar penggembira. Campur aduk. Jerinx, salah satu musisi ternama di Bali anggota Superman is Dead, dengan band-nya yang lain, Devildice, diundang sebagai bintang tamu. Aktivis Wayan Suardana alias Gendo, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Bali ikut hadir memberikan orasi. NakNik Community turut hadir sebagai penggembira.

Toh, meski sekadar penggembira, NakNik Community cukup lama menyiapkan penampilan malam itu. Anak-anak yang semuanya tinggal di Jalan Subak Dalem Gang V Denpasar Utara itu sudah berlatih sejak sebulan sebelumnya.
Tiap hari mereka berlatih di halaman rumah No 18. Itu rumah kami, tempat saya, istri, dan Bani anak kami tinggal.

NakNik Community lahir karena ketiadaan kegiatan menyenangkan dan mendidik di gang kecil tempat kami tinggal. Maka, sejak dua tahun lalu kami tinggal di sana, kami mengajak anak-anak itu untuk membuat sesuatu. Kami bikin majalah dinding tiap bulan sekali, meski kadang juga dua bulan sekali. Tiap 17 Agustus kami bikin lomba Agustusan. Ada pula pentas seni diisi nyanyi dan tari pada saat tertentu, misalnya hari raya Kuningan tahun ini. Ketika liburan kami mengadakan kemah bersama, di belakang rumah.

Perayaan ulang tahun, bakar ikan, bakar ketela, buka puasa bersama (meski banyak yang tidak puasa), atau sekadar bermain di halaman rumah kami lakukan untuk menumbuhkan kebersamaan. Juga keberanian bersuara. Dan, teater adalah salah satunya.

Maka, ketika IKON Bali mengabarkan rencana untuk mengadakan pentas seni, kami menyambut dengan penawaran, "Boleh nggak anak-anak di gangku main teater di sana?" tanya Luh De Suriyani istri saya sekaligus pengempu NakNik Community. Tentu saja Wahyunda dan kawan-kawan IKON Bali menyambut gembira tawaran itu.

Naskah yang saya buat sekitar Agustus lalu itu pun kami pakai lagi. Ceritanya tentang ksatria semut hitam mencari obat ARV untuk membantu mantan pecandu yang sudah kena AIDS, bukan hanya HIV. Dua ksatria semut hitam (Jenny dan Risma) itu mencari ARV (Wira, Komang, Wayan, dan William). Mereka diperintah ratu semut (Ayu) yang hendak menolong rakyatnya Agus, mantan pecandu yang kena AIDS.

Perjalanan mencari ARV itu dihalang-halangi nenek sihir (Tata) dan dua gagak kembar (Made dan Gede). Namun perjuangan mereka berhasil sehingga bisa menolong Agus.

Tiap malam pukul 07.30 Wita, kami berlatih. Halaman rumah sempit itu kami pakai sebagai panggung. Istri saya yang menunggu mereka latihan.

Latihan itu tidak mudah. Ada saja masalah. Lebih sering karena masalah di antara mereka. Ada yang ngambul karena tidak suka dicandain. Ada yang barantem dari yang semula bercanda. Paling parah adalah anak-anak yang masih kecil, Wira, Komang, William, dan Kadek yang hampir tiap malam berantem. Ujung-ujungnya ada yang nangis. Latihan pun terhenti. Untungnya mereka masih kecil, rata-rata kelas 1 SD, jadi mereka juga cepat baikan.

Masalah lain, ekonomi keluarga anak-anak itu termasuk kelas bawah. Sementara kami juga butuh kostum untuk tampil. Untuk beli kostum jelas tidak mungkin karena mahal. Jalan keluarnya kami pakai saja pakaian seadanya asal nyambung: kaos hitam, bando, daun pisang kering, dan apa pun yang bisa kami pakai.

Kostum yang apa adanya itu ternyata ditambah masalah lebih besar lagi: kurangnya tata suara (sound system) di panggung malam itu ketika anak-anak tampil. Ini yang paling parah sebab suara anak-anak itu jadinya tenggelam di antara sekitar 100 penonton malam itu. Masih untung suara narator terdengar jelas.

Minimnya suara itu juga berdampak pada ketidakjelasan cerita bagi penonton malam itu. Maka, ketika anak-anak selesai tampil dengan mengandalkan dialog datar tanpa ekspresi atau gerak tubuh yang mendukung, penonton seperti tidak tahu. Tidak ada tepuk tangan ketika anak-anak selesai tampil.

Mungkin penonton kecewa dengan penampilan seadanya kami. Tapi kami tidak. Kami senang karena kami sudah melewatinya. Kami memilih keberanian sebagai tujuan, bukan pujian.

"Ternyata asik banget bisa tampil" kata Ayu.

"Kapan-kapan kami mau lagi," sahut Nyoman.

Maka, kami pun merayakan penampilan sederhana kami malam itu. Kami bergembira di tempat makan. Tidak peduli dengan sekitar 20 pengunjung lain yang nyengir-nyengir melihat kami. Kami tetap saja bernyanyi. [b]


RE: complain

>>Lalu? B E K E R J A
"(Bukan) sekedar hanya"<<


complain Moko atas tulisan : Lalu?

Gambar/Lukis menjadi Design
Wayang menjadi Animasi
Puisi(mantra) menjadi Musik
Drama menjadi Film
Sastra menjadi Skenario,
Teater menjadi Rumah Produksi (PH) ?

Ulat aja bisa jadi kupu-kupu
Cebong aja bisa jadi katak
Jentik aja bisa jadi nyamuk
Masak teater enggak?

Bunga aja jadi buah
Biji aja jadi tunas
Batang aja jadi Pohon
Masak teater engga?

Kayaknya ini sebuah metamorfasis yang harus digagas dalam reorientasi kurikulum
sebuah pemikiran akan The Panoramas of the Moving Thing, bahwa semua harus bergerak
dan berubah. Melakukan metamorfosis diri untuk menjadi lebih baik.

Kayak roda yang terus bergulir, kayak air yang terus mengalir,
kayak saya yang terus menyindir, kayak kalian yang harus berpikir.
Berpikir teater harus bergerak kemana?
Berpikir teater harus menjadi apa?
Berpikir teater harus mengajak siapa?
Berpikir teater harus bergerak?

Ya, karena bergerak adalah energi dan yang berhenti hanyalah poskampling.
kalian pun ngga mau diangga si Udin, hansip PPT yang suka tergesa-gesa menyikapi masalah.
Karena bergerak adalah migrasi (Inca/Maya).
karena bergerak adalah hijrah (Muhammand)
Karena bergerak adalah diaspora (Yahudi).
karena bergerak adalah exodus (Rastafara)
karena bergerak adalah kolonialisasi (Belanda/Sekutu)
karena bergerak adalah urbanisasi (keluarga aku)

Seperti itulah semua harus bergerak. Bergerak untuk melakukan perubahan, seprti model rambut kamu yang tidak pernah
tenang karena keusilanmu. Kadang menjadi pirang, menjadi panjang, menjadi pendek, menjadi runjing, menjadi trend, menjadi gunting, menjadi salon, menjadi tangan tukang cukur madu rasa yang centil.
Perubahan akan menjadi mode yang beraujung pada peradaban.
Peradaban Karang Kemojing (asli primitif)
Peradaban Googling (i always do this)
Semuanya harus berkembang dan menyebar kayak virus yang sedang kau tanam.
Kalau kau sadar bahwa kau menanam, pasti- kau berhak memanen hasilnya.
Dan jika sabar, dia akan menghidupnya.

Kau buat tempat itu, kujaga wacanamu
kau jawab wacanaku, kau bunuh bidangku.
Kau pelaku - aku temanmu!

teater, kerja!

moko (teman yang jahat)

Maap

>> maap yang dingin
mari berkemas
dengan berjabat tangan
atau sesloki vodka<<

Pembaca yang budiman, maapkan saya sebab dua hari ini saya tak sempat inggap mengup load tulisan. Tulisan tentang teater bali dari saya mapun dari teman-teman.

Ada beberapa tulisan yang dah yangkut di imel saya, dan sekarang saya akan meng up loadnya..

Terimakasih.

Rabu, 07 November 2007

Lalu?

>> Sekedar hanya <<

Di (room) samping saya tadi duduk manis perempuan wangi dan cantik. Ini di Warnet. Ruangan kecil yang bisa menjadi tempat "ngintip" ruang-ruang kecil dari ruang besar di dunia.

Dari ruang kecil ini saya bisa "mengintip" Karang Kemojing - sebuah tempat yang jelas-jelas tak termuat di peta atlas Indonesia-. Meski di google earth Karang Kemojing cuma terlihat sebagai cekungan hitam diantara gunung-gunung karang berwarna putih, tapi saya bisa membayangkan bagaimana aktivitas Karang Kemojing saat ini, detik ini (Karang Kemojing adalah sebuah tanah perdikan di sekitar perbatasan Jawa Barat -Jawa Tengah. Coba klik google earth search Ajibarang/Purwokerto. Maka di arah barat daya ada tampak pegunungan berwarna putih)

Lewat ruang kecil ini pula saya bisa "ngintip" si teater.

Teater bukan sesuatu yang kokoh dan bisa berdiri sendiri. Salah besar bahwa teater adalah gudang penjawab semua pertanyaan. Dia bukan paman google.
Salah besar bila para pelaku teater mengeram seorang diri di dalam kubangan kelompoknya. Berkubang ditahi bau.

Ubud Writers and (un)Readers Festival

>>Pilihan Peternak Teater :Essai Jawaban<<

tulisan
dari kedai d-net (bunyirantau@yahoo.com)

Beberapa hari sebelum acara tersebut berlangsung saya dapat undangan dari pihak panitia untuk melakukan peliputan. Masalah publikasi dan penggunaan media sangat dipentingkan dalam acara reguler tersebut. Tidak bemaksud menilai dari sisi negatif, akan tetapi kritik atas event akbar tesebut adalah mencari pembaca (yang sebenarnya) yang terlibat aktif.

Saya tidak menemukan secara jelas kategori pembaca tersebut. Dalam artian begini, sang penulis jelas akan mendapat tempat yang nyaman dari panitia karena mereka adalah undangan. Sedangkan pembaca ada dalam kamar hotel berapa?
Bahkan di dalam katalog acara pun saya tidak melihat satupun profile yang tertulis sebagai Reader.

Tapi jelas tulisan ini tidak akan mengupas masalah event tersebut. Tulisan ini akan bercerita tentang kisah klise romantis seorang tokoh pecinta, namun sayang bukan wanita tapi pecinta teater. Sedangkan narasi di atas hanya sebagai inspirasi bagi saya untuk menjadi penulis dan pembaca kisah ini.

Saya mulai memperkenalkan Nalingga,
sosok tua yang saya telah kenal sejak 2 tahun yang lalu.
Kali ini saya bercerita tentang kegamangan saya tentang bidang yang saya geluti, tentu kalian sudah tahu - bahasa, sastra, & media -. Saya terlalu susah untuk menjadi bagian dan berperan di sana. Itu masalah saya.
Nalingga diam dan menjawab "Buka pintunya, Jangan Ambil Kuncinya"

Saya ngga ngerti tentang maksud perkataan dia, tapi saya ngga mau tampak bodoh dengan mengulang pertanyaan saya. Saya mulai memakai teman sebagai analogi untuk mengulang pertanyaan.

"Teman saya juga punya kendala, dia ada di Teater dan dia merasa begitu bebal di dalamnya tapi dia tidak bisa untuk meninggalkannya." Dia lebih beruntung dia bisa masuk dan berdinamika di dalamnya, "tapi dia merasa bahwa dia ada dalam wilayah Muda. Itu permasalahan dia, dan dia selalu tampak resah."

Dengan tenang Nalingga berkata"Buka pintunya, Jangan ambil kuncinya."

Karena jawaban yang sama saya merasa bosan dan kemudian meluncurkan kembali pertanyaan. "Kenapa kami dilarang untuk mengambil kunci itu, apakah kami tidak pantas untuk menjadi penerus dari ruang itu? Jangan kau bilang karena kami terlalu muda."
Nalingga semakin sabar untuk mendengarkan amarahku dan setelah aku berhenti karena lelah dia mulai bercerita.

Aku akan bercerita tentang Kamar rahasia dan seorang raja yang kejam. Dia melakukan segala tindakan yang dia suka. Setiap penduduk sangat benci padanya, namun tiada pernah menjatuhkannya. Hanya karena raja tersebut mempunyai sebuah kunci kamar rahasia yang bisa membuat setiap orang akan merasa tenang jika melihat di dalamnya. Setiap orang yang hendak melawan atau menolak perintah, mereka akan dibawa ke kamar tersebut dan kemudian mereka akan berubah pikiran.

Dalam kerajaan itu hidup pula seorang, pangeran tampan dari kerajaan lain yang ingin menghentikan kekejaman tersebut. Dia menegtahui bahwa sesuatu yng membuat hari penduduk yang menolaknya adalah sebuah kamar rahasia dan raja punya kunci itu.

Pada suatu malam pangeran melakukan pencurian untuk mendapatkan kunci tersebut dan dia berhasil. Karena keberhasilan itu dia akhirnya melakukan kudeta dan merencanakan pemancungan terhadap raja. Raja telah ditawan dan dia mengumumkan pemancungan tersebut. Dia menjadi raja selanjutnya, banyak penduduk yang senang namun ada juga yang ngga suka karena hukuman pancung tersebut dinilai terlalu keji.

mendengar ketidaksetujuan tersebut akhirnya sang Pangeran memanggil mereka yang kemudian diajak ke dalam kamar rahasia dan seprti biasa penduduk itu berubah pikiran.
Peristiwa tersebut berlangsung terus menerus, curi-mencuri kunci dan melakukan tindakan keji telah berlangsung turun menurun.
emnjadi rantai kisah kekejaman seperti tongkat estafet yang di alihkan dari satu tangan ke tangan yang lain.
Sampai pada suatu ketika ada seorang lelaki peternak yang tanpa sengaja melihat kunci yang terjatuh dari seorang raja yang kebetulan lewat di depannya. Dia sadar bahwa kunci tersebut adalah kunci yang diperebutkan. Dalam sekejab muncul keingingan dalam hatinya, bergejolak hingga menjadi opsi-opsi tindakan;

1. Mengambilnya dan mengumumkannya untuk menjadikan dirinya seorang raja.
2. Mengambilnya dan berdiam diri, bermaksud untuk mendapat ketenangan dan kesenangan pribadi.
3. Atau memikirkan menutup pintu membuang kunci dan menutup dalam-dalam cerita kamar rahasia.


Nalingga mengakhiri cerita dalam pilihan-pilihan tersebut dan bertanya, "Jika jadi peternak itu apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku bingung harus memilih mana!" jawabku bimbang.
Dengan tegas dia bilang, "aku tidak menyuruhmu untuk memilih. Memilih bukanlah tindakan"
Dia menegaskan hal itu dan saya masih bingung, karena dia tidak menuruhku memilih, hanya mengatakan, "Apa yang akan kamu lakukan?"


Teater, Buka pintunya jangan ambil kuncinya!

Circle K, Copy & Paste untuk Gerai Ritel Teater

>>BUSINESS OPPORTUNITY<<
MAU BISNIS SIMPEL? BUKA TOKO RITEL TEATER


Mini store 24 jam produk local kini hadir di bisnis ritel consumer goods. Selain menawarkan berbagai kelebihan, investor juga dijanjikan balik modal dalam setahun.

Bentuk gerainya sederhana. Layaknya sebuah toko ritel yang didominasi dengan nuansa hijau. Isi dalamnya, adalah produk-produk consumer goods, seperti minuman ringan nonalkohol, rokok, tissue, permen, obat-obatan, house hold, majalah, CD, VCD/DVD, laundry outlet, kartu telepon prabayar dan berbagai barang lainnya. Pendeknya, di dalam toko ritel tersebut bisa tersedia 600 hingga 2000 item produk. Itulah gerai baru toko ritel 24 jam yang bernama Circle K. CK, adalah toko ritel yang dikembangkan oleh beberapa ahli yang berlatar belakang ritel, industri rokok, tekstil dan distribusi. Kolaborasi dari para ahli ini akhirnya muncul konsep toko yang simple (simple store) yang pertama kali di Indonesia (asumsi ini ngga pake survey). “Toko kami bisa diletakkan di berbagai tempat terbuka seperti halaman parkir, tempat hiburan, sekolahan, ruko, mal atau gedung kantor dan beberapa lagi lainnya,” kata penjaganya yang cantik (Note for storegirl: Sumpah kalo saya sukses, bakal saya ajak kamu kawin).

Tapi sayang kali ini saya tidak akan bilang masalah bagaimana cara saya untuk mendekati cewek tersebut, atau seberapa besar uang yang saya keluarkan untuk belanja di ritel itu permalam.
Ngga akan nyambung dengan blog teman saya (Mbro kau gila ya, kau kasih saya tempat untuk mengkritik ruangmu ini) yang dibikin dari sisa-sisa kekuatan untuk tetap meyakinkan bahwa teater memang sebuah ruang yang ideal. Tempat ini dibuat untuk menghidupkan teater dan mematikan teater. Sekali lagi kamu gila mBro!

Kembali kepersoalan ritel, saya mungkin bukan salah satu costumer yang baik apalagi loyal. Akan tetapi ngga tahu mengapa setiap ke tempat tersebut, saya selalu merasa nyaman dan seakan ada yang membisiki saya untuk kembali belanja ke sana. Dan saya harap itu adalah sebuah doa yang keluar dari penjaga cewek yang saya taksir (kayaknya dia memang suka pada saya, saya yakin itu!). Jujur ngga ada yang memaksa saya, ngga ada todongan pistol atau ancaman yang akan membahayakan jika saya tidak memilih untuk belanja di sana. Itulah sebabnya saya merasa bahwa ritel adalah ruang yang nyaman dan sebuah bisnis yang menguntungkan.

Dari pengalaman itu, saya sangat tertarik untuk membuat sebuah usaha dengan model kinerja seperti itu, sebuah usaha ritel. Jelas saya butuh modal dan butuh penjaga yang menggoda seperti penjaga tersebut.
Saya mulai memikirkan barang apa yang akan saya jual.
Saya mulai memikirkan tempat mana yang saya bakal siapkan.
saya mulai memikirkan promosi apa yang saya sediakan.
Saya mulai memikirkan harga berapa yang saya tawarkan.
Saya mulai memikirkan penjaga apa yang saya karyawankan.
Saya mulai memikirkan hal apa yang saya "image"kan.
Saya mulai memikirkan dan mulai memikirkan.

Menghitung dan mengumpulkan data dan modal apa yang saya punya. Menjawap setiap apa yang saya pikirkan dengan kalkulasi keuntungan dan kerugian. Memprediksi dan menentukan solusi dari masalah dan kendala yang bakal dihadapi. Yups, semua sudah di neracakan dan telah menjadi big planning dengan kerangka kerja yang telah dituliskan.

Done, semua telah disiapkan, telah selesai dalam sebuah bisnis ritel baru, ritel teater. Ada yang tertarik untuk infestasi?
dan kamu mBro siap saya karya(wan)kan. Are you ready mBro?.


Teater, buka ruang!

Moko (pengusaha(an) teater)

Senin, 05 November 2007

Mencari Peternak Teater Bali

>>Akankah menjadi sebuah kebutuhan?<<

"Kenapa anda memilih menjadi peternak?" tanya saya suatu waktu saat bertandang ke pak Wayan, peternak babi di daerah Petang, Badung, Bali.
Pertanyaan tersebut tentu tidak serta merta sontak begitu saja. Sebelumnya saya sudah ngobrol kanan kiri depan belakang. Kangin kauh orang Bali bilang.

Beliau tersenyum saja saat mendapat pertanyaan dari saya. Pak Wayan seorang peternak babi yang bersahaja di kaki pegunungan utara kabupaten Badung. Beliau memulai ternak babi sebelum bom bali pertama meledak. Beliau mengawali dari nol. Apa saja yang beliau persiapkan?

Tak lama kemudian beliau bercerita kepada saya.

Pertama beliau sudah merencanakan, berapa ekor babi yang akan beliau ternak. Saat itu pak Wayan memilih hanya memelihara dua ekor saja; jantan dan betina. Jenis apa yang diinginkan? berhubung babi impor jenis bibit landrace harganya terjangkau dan harga jual serta permintaannya tinggi maka beliau memilih jenis babi itu sebagai bibit. Beliau sudah menakar berapa duit yang akan beliau keluarkan untuk membeli dua ekor babi siap kawin.
Beliau juga merencanakan bagaimana kandang yang sehat, bagus dan nyaman untuk babi-babi tinggal. Beliau mengkalkulasikan dengan cermat. Hingga kemudian, pada awal 2000 beliau membikin kandang semi permanen di atas tanah yang beliau miliki. Beliau sudah perkirakan; efek dari bau limbah babi. Sehingga beliau memanfaatkan areal tanah di luar pemukiman. Kebetulan sumber air di tempat itu cukup memadai. Cukup baik untuk sanitasi serta pelimbahan babi yang bau.

Setelah kandang berdiri, dengan menentukan hari baik menurut perhitungan kalender Bali, beliau pergi ke Baturiti untuk membeli bibit babi, langsung dari depot penjualan bibit babi yang dimiliki dinas peternakan propinsi Bali.

Sekian hari, sekian minggu dan sekian bulan, babi pak Wayan tumbuh sehat, gemuk dan senang beranak. Setiap harinya pak Wayan selalu memberi pakan yang tepat. Setiap bulannya pak Wayan selalu berkonsultasi dengan dokter hewan lapangan yang rajin berkunjung. Persediaan obat, vitamin selalu disiapkan beliau.
Babi pak wayan tak lagi cuma dua ekor. Setiap kali beranak minimal lima ekor. Anak generasi pertama, pak Wayan tak menjualnya begitu saja. Beliau memilih babi betina yang punya puting susu banyak, bodinya juga terlihat baik sebagai calon bibit babi yang unggul. Sedang yang jantan beliau cuma sisakan seekor saja. Setelah dua kali beranak, baru pak Wayan total menjual babi-babinya ke pasar.

Sekian tahun berjalan, saat bom bali pertama meletus, pak Wayan masih tetap bertahan. Permintaan daging babi tetap tinggi. Beliau tak hanya menjual babi ke pasar atau penduduk sekitar. Tapi, beliau berani langsung menerima order daging babi untuk restoran. Pasca bom bali kedua, usaha pak Wayan mulai agak terganggu, permintaan daging dari restoran mulai berkurang. Tapi pak Wayan tetap gigih. Sekian tahun menggeluti ternak babi, beliau telah bertekad meneruskan usahanya. Babi-bali tetap terjaga pemberian pakannya, kesehatannya dan kebersihan sanitasinya. Beliau juga mulai mencoba mencari alternative penjualan produk olahan daging babi yakni membikin kerupuk kulit babi. Luar biasa. Pak Wayan memang gigih, sampai hari ini anda bisa mencari bibit babi yang bagus silahkan kunjungi peternakan pak Wayan, pengin mencoba kerupuk kulit babi silahkan cicipi kerupuk kulit babi pak Wayan. Hampir semua orang di Petang hingga Denpasar, Gianyar, Singaraja, Negara, Klungkung, Bangli, Karang Asem dan Nusa Penida pasti kenal pak Wayan.

Lantas sampai hari ini, adakah seseorang yang benar-benar "beternak teater" di Bali? Yang memperhatikan pemilihan bibit, memikirkan kandang yang baik, merawatnya agar tetap sehat dan memikirkan "melemparkan" produknya sebagai sebuah kebutuhan masyarakat?

Siapakah yang kira-kira bersedia?

Jangan-jangan kita hanya seorang penjual nasi jinggo yang dirumahnya cuma pelihara beberapa ekor babi. Sehingga orang hanya tahu kalau kita adalah penjual nasi jinggo. Bukan peternak babi.

virus HIV, virus avian influenza dan virus teater

>>Yang tersisa semalam<<

Semalam (04 November 2007) saya baru saja mengikuti acara yang dibikin oleh IKON Bali. IKON Bali adalah salah satu LSM yang bergerak di masalah korban narkotika dan zat psikotropika.
Sembilan puluh persen pengurus dan anggotanya dalah para mantan pemakai dan pecandu yang sudah divonis HIV + dan aids.

Kemarin malam, bertempat di Wantilan DPRD propinsi Bali - Renon Denpasar, mereka membikin malam apresiasi. Seperti umumnya acara "orang muda", acara ini dipenuhi dengan hingar bingar live musik dari band-band lokal Bali. Disela-selanya ada semacam orasi dari IKON Bali. Disela-selanya juga, ada beberapa aktivis HIV?aids yang membacakan puisi karya mereka. Sungguh mengharukan. Saat mereka sudah divonis oleh paramedis dengan virus yang mematikan itu, tapi mereka masih semangat untuk survive..dan berkreasi.

Panggung Wantilan DPRD di kanan kirinya dipenuhi graviti-graviti hasil karya korban. Di sekitar gedung juga dihiasi beberapa spanduk dan poster (dengan tulisan tangan). Malam itu gedung wantilan dipenuhi penonton. Tua muda, pemakai, pecandu, yang tidak pernah memakai narkoba, intel polda, anak-anak SMA dan anak kecil yang dibawa orang tuanya bercampur jadi satu. Saya merasa nyaman diantara mereka.

Saya malam itu diminta bermain-main diatas panggung itu. Barangkali oleh para "teaterwan" itu cuma "sekedar". Biarin. Kapan saya bisa bersama-sama larut dengan mereka?

Sebelumnya, saya dihubungi oleh Gung Q, koordinator acara ini. Dia kurus. Saya kalah kurus dibanding dia. Dia bilang" Tom, bisa minta tolong ga? kami dari IKON, mau bikin blablablabla" panjang lebar dia cerita tentang orang-orang di dalam IKON. Intinya: dia pengen pas malam acara itu ada yang maen teater.

Ehm, teater? Dalam sebuah acara musik. Disempilin acara teater. Bolehlah. Toh di Denpasar - saya pikir - masih secuil orang yang pernah liat teater. Macam teater juga masih secuil.
Teater? benda apa itu? Lawak? Operet? Drama? paling kayak gitu..

Malam kemarin saya penuhi permintaan Gung Q. Saya main. Main-main.
(setelah seharian ngurusin flu burung yang ga kelar-kelar. Ambil virus, tanam virus di telur berembrio, penen virus, Uji HA/HI, positif ngga nya virus avian influensa itu..wuuuh)

Dan saya main-main lagi dengan virus. Virus teater. Tak mungkin saya main teater model drama di acara musik. Mau mainin jadi bapak yang punya anak kena Aids? wuhakakak ga lucuuu...operet? nyaingin tukul?

Tak. Saya cuma punya modal tubuh. Tubuh saya bisa digerakin.
Malam itu saya bergerak. Meski bagi beberapa orang bilang nari, breakdance..terserah. Saya menggerakan tubuh saya, sedikit bla-bla dan menjahili penonton. Ya, saya sekedar mau bilang: saya sama dengan kamu. Kita sama.

Malam kemarin semakin membukakan saya: ada banyak sahabat-sahabat kita - yang di Bali jumlahnya ribuan - yang dihinggapi virus HIV yang perlu support dari kita. Dan tentu kita juga mesti menjaga diri kita, tanpa mengucilkan mereka.

Salam.


Sabtu, 03 November 2007

Abu Bakar (masih) di NY (masih) ngomongin Teater Bali

>>Berteater untuk Tomo<<

Aku tua tapi aku tak terlambat untuk terus belajar. Ada laki-laki tua (menurut ukuran kita) pada usia 55 baru masuk semester I Fak. Kedokteran di Harvard. Tentu dibanding pemuda-pemuda usia 20-25-an, gampang sekali dilihat betapa speed si tua itu begitu kendor. Dia memerlukan dua-tiga kali penjelasan untuk memahami sesuatu dan barulah pemahaman yang alot itu ia simpan dalam memorynya "yang" ternyata kendor juga. Repot, kapasitas memory yang cuman 1 kb bersanding dengan rekan-rekan sekuliahnya yang rata-rata 1 gb. Ia harus memeras keringat untuk hal yang sebenarnyalah begitu "elah",- gampang. Tapi akhirnya dengan segala duka nestapa, kuliahnya di fak. Kedokteran itu selesai juga. "Juga" dengan skor yang rendah.

Dan sekarang dengan speed rendah plus kapasitas memory 1 kb ini, apa yang sedang aku pelajari? Aku sedang belajar untuk melihat segala sesuatu dari kacamata positif, dari aspek baiknya, dari faedahnya, dari nilai gunanya betapapun kenyataan yang sedang dihadapi begitu pahitnya. Apa yang sedang aku cobakan ini sama sekali bukan hal baru, sesuatu yang sudah begitu lumrah, sehingga boleh dikata "aku" adalah orang yang terlambat mempelajari mata kuliah yang satu ini. Sementara berpuluh-puluh buku sudah habis tuntas membahasnya, ternyata aku masih pada lembar Introduction "bersikaplah positif dalam memandang sesuatu."

Bukan hanya terhadap soal-soal besar terhadap soal kecil pun. Maka ketika kau bilang bahwa Art Centre ditutup untuk segala macam kegiatan selepas pk. 20.00, maka sebagai bagian dari pelajaranku itu tak segera aku tafsirkan bahwa peraturan galak itu ditujukan untuk memberangus aktifitas kalian,- teater kita. Bahwa Art Centre perlu diberi istirahat, bahwa Satpamnya perlu waktu mengaso, bahwa beban tanggungjawab yang mereka pikul untuk menjaga kelestarian bangunan seni itu haruslah berjalan, bahwa ongkos listrik perlu dihemat, bahwa sekali duakali ada juga maling yang mencopot kabel atau nyuri piting lampu bahwa antara kita ada juga yang sedang jatuh cinta lalu bersungut-sungut di sudut buat cinta birahi. Faktor positif berikut, kalau belum jelas: Ya tanya. Yang bener saja Mas. Emangnya Art Centre ini milik Embahmu? Kalau tak rela dijadikan rumah seniman jadikan saja asrama tentara biar dijaga bedil di depan sana!

Nah, aku tak ingin lagi ngotot-ngototan begitu. Mencoba memahami maunya orang. Kalau berkenan ikut kalau tak berkenan tak ngedumel. Ternyata tak gampang. Hingga kini masih saja aku berada di Introduction itu, masih saja mudah berang lalu segera menuduh mereka meng-anak tirikan kita. Soalnya begini. Aku dan segenap teman-teman teater kita sebaiknya (dan kupikir belum terlambat) untuk kembali ke halaman I Introduction Teater yang memuat beberapa pertanyaan, "yang" segera perlu dijawab, jawaban mana akan menentukan perlu tidaknya kita melangkah ke bab berikut. Pertanyaan itu ternyata sederhana yaitu : Teater itu apa dan untuk apa anda berteater? Jika hanya untuk gagah-gagahan. untuk eksotik-nyentrik, untuk identitas dan eksistensi diri, untuk gaul, untuk mengisi waktu luang, untuk meraih ketokohan, untuk berontak thd. tradisi, untuk meraih kepeloporan dalam bidang kesenian dan alasan-alasan lain yang sebanding dengan itu, maka demi tanggungjawab terhadap teater itu sendiri, sangatlah tidak terlambat tinggalkan teater. Dengan meninggalkan teater maka anda telah menyelamatkan teater dan citra teater akan terhindar dari kerusakannya. Tentu saran ini membuat kita semua terperangah bahkan terlecehkan. Tetapi bertolak lagi dari usaha berpikir positif di atas "opini" semacam itu begitu kuatnya di lingkungan masyarakat kita bahwa yang dimaksud dengan teater itu lho aktifitas pemuda-pemuda kita yang kuliahnya pada ngadat, yang urakan yang begadang yang jerit-jerit mau berontak.Maka dengan alasan yang juga harus ditafsirkan positif beberapa orang tua melarang putra-putriku ikut teater. Mendingan kau kursus Inggeris, ambil pelajaran ekstra komputer. Aku tak ingin kuliahmu jebol atau jadi orang macam
( lalu beberapa nama mereka sebut dimana namaku malah dipasang di tempat pertama sebagai biang kerok yang tak patut dicontoh). Maka bila kb memoryku cukup berkait dengan berpikir positif itu, dengan lapang dada harus kuakui tak ada kesalahan apapun terhadap kekuatiran mereka. Amat benar adanya gelisah dunia teater akan buat gelisah pikiran orang tua. Berontak galak di rumah, apa-apa dibuat akting, teriak vokal yang buat tetangga komplin, jean baru dicabik-cabik, rambut hitam dicelup warna. Jadi bagian koreksi dan mungkin juga tanggungjawab kita untuk menjelaskan dengan sabar isi Introduction: kenapa mereka kepingin ikut teater sementara citra teater sudah sedemikian buruknya.

Tomo.
Maka akanlah mengejutkan kamu bahwa akupun yang oleh orang sini "ditokohkan" sebagai tokoh teater, untuk, mewaspadai teater sebelum menjatuhkan pilihan padanya. Dalam jumlah yang sudah tak terhitung aku menolak untuk pentas teater, menolak untuk melatih teater, menolak dipercaya sebagai orang teater dan bahkan menjauh dari dunia teater. Aku sedang membuat koreksi bahwa aku sedang berada dalam citra buruk yang telah terbentuk itu. Artinya kepadamu aku ingin bilang: mari citra teater yang telanjur buruk itu kita buat kembali ke asal. Sebuah dunia sunyi sebuah pernyataan yang lepas dari segala macam tendensi di atas.

Dalam usiaku yang terlambat kucoba untuk berpikir begitu.
Susah, susah sekali.
Pikiran yang bisa jadi mengecewakan kau ini, sama sekali tak kumaksudkan mengendorkan semangatmu dalam berteater.
Hormatku Abu.

Teater Rendah Hati

>>Surat dari Abu Bakar di NY<<

Tomo: soal Harvard, Silahkan. Aku juga sudah lupa isinya. Jika kau pandang ada guna silahkan. Tetapi setahuku aku tahu diriku: nyeleneh tak punya nilai. Jadi niat meng-upload itu pertimbangkan agar penyakitku tak nular ke lain orang. Cuma,- nah ini penting Nietzche kata orang, bukan hanya dikabarkan sakit tetapi juga resmi gila megalomi. Thus Spoken Zarathustra-nya ditulis dalam kondisi jiwa yang kayak begitu itu. Artinya begini Mo: "Semoga sembayang dan doamu kenceng," maka siapa tahu si Zarathustra itu adalah aku.

Betul aku masih di AS. tapi Nov. ini sudah balik ke Bali. Dari Warih aku dengar Art Center buat Festival Drama Modern bahasa Bali. Suatu upaya yang baik bukan? Sabar, sabar jangan keburu menuduh bahwa itu hanyalah bentuk konvensasi dari mereka setelah kau diusir tak boleh latihan di sana. Jika kau yang kuasa itu bangunan jangan-jangan bukan pk. 20.00, malah 4 sore kawasan itu sudah kau tutup. Festival itu hendaknya kita sambut dengan kesungguhan hati, "jangan-jangan" kehidupan teater yang kerakap ini bisa kembali kita gairahkan dari sana, berangkat dari sana. Saat pintu mereka buka jadilah tamu yang baik.

"Mungkin" kita-kau-aku dan segenap teman-teman teater kupandang perlu untuk secara total memperbarui sikap kita "agar" para birokrat itu tak lagi "alergi" lihat wajah dan penampilan kita. Bila serba serba sedikit harus membungkuk saat bicara, itu adalah cara yang paling murah untuk menggaet hati mereka. Sekali-sekali jean robek jangan dipakai, rambut disisir bubuhi tancho, atau ngomonglah dengan bahasa rendahan "agar" segala sesuatunya bisa sepadan, setidaknya jangan buat citra bahwa mereka lebih goblok dari kau. Kadek adalah contoh baik. Bajunya selalu bersih, kerjanya profesional, naik turun pergi pakai kendaraan, tak terus "nyeker" jalan kaki macam si Utay atau Bowo. Mereka perlu citra dan kita buat citra. Bukankah kita orang teater?
Dengan kata lain ingin kukata bahwa (dan kau tahu ini) bahwa citra kita (sebagai orang teater/kelompok) jelek amat di mata birokrat yang punya kuasa itu. "Kalau bisa Putu Satria jangan dikasih pentas di sana nanti rusak panggung kita," kata seorang pejabat yang langsung aku dengar. Rasanya waktu itu Putu Satria membawa berkarung-karung tanah ke atas stage untuk menggambarkan sesuatu dalam adegan dramanya. Dan kali lain stage mereka basah kuyup oleh kita, lalu waker kena damprat boss "Sudah saya bilang orang-orang teater itu jangan dikasih pentas di sini. Stage kita jadi rusak semua!"

Tak ingin mengelak penyakit macam begitu memang ada pada kita. Sudah sepantasnya mereka marah. Kembali. Jadi demi teater, untuk teater, mari kita perbarui sikap mental kita terutama saat beradaptasi pada domein yang bukan wilayah kita. Apakah melacur? Ya tidak dong. Sehingga bila disimpulkan kayaknya aku sedang mengajak kalian untuk berteater dengan cara yang rendah hati, cara biasa, tak dar-der-dor, jujur, lepas dari sensasi sebagai bagian dari pembersihan citra itu.

Apa bisa anak-anak muda di ajak begitu? Nah itu mah soalnya lain lagi.
hormatku Abu.

Aku dan Surat-surat Abu yang membakar

>>Saat Koneksi Internet Melambat<<

Saya sempat berpikir, mending kita balik ke masa lalu: pake surat n ngirimnya pake merpati pos. Dijamin takkan ada gangguan dikoneksi jaringan. Bisa dibayangkan pula, saya harus mengkoleksi berratus-ratus merpati atau bahkan beribu-ribu merpati tukang anter surat (konon merpati pos cuma hafal satu alamat saja. Jadi misal, saya punya 10 teman surat menyurat berarti saya mesti punya 10 merpati juga)
Dijamin pula, saat saya punya ribuan merpati pos, maka ilmu kedokteran saya bisa diamalkan. Juga dijamin, saya benar-benar akan kewalahan ngurusin merpati dibanding ngurusin burung.

Jadi kenapa tak disyukuri saja keadaan saat ini? Meski putus nyambung, ada dan tak ada.

Kembali ke nggosipin teater Bali.
Tempat yang bikin panas dingin bagi para aktor, sutradara, penata artistik, tukang kritik, penikmat, pembaca, pemberi dana dan siapa saja.

Saya sebelumnya ngimelin mr Abu, bersapa ria minta ijin untuk meng uP-Load imel-imel beliau kepada saya. Saya tulis begini:

From: tomo_orok@hotmail.com
To: abu_xxxxxx@xxxx.com
Subject: RE: Teater untuk apa-siapa?
Date: Thu, 18 Oct 2007 03:25:58 +1200

Syukurlah masih bisa konek.

hari ini terasa lebih ngga akrab. koneksi sangat lambat.

>>apa bapak masih duduk-duduk sambil melototi monitor sambil sebentarbentar mengelus jenggot dan menggeraikan rambut?<<

Mungkin saya sekedar iseng. berteater?
untuk apa?

Sekedar. Kata teman-teman cuman sekedar. Sekedar pakai "saja". Patah semangat? Biasanya yang mudah patah adalah kayu, besi atau beton yang campuran semennya terlalu banyak.
Semoga otak saya dan "teater" yang sekedar ini ngga cepet patah. Biarin aja.
>>Trus kamu mau ngapain tomo?<<
Pulang kampung; ke karang kemojing. Nerusin jadi lurah hehehe..nyuntik-nyuntik kambing, pelihara-pelihara ayam.
>>Kawin?<<
Entar dulu. Masih sakit ati.
>>Katanya gay?<<
Gay khan kecenderungan setiap lakilaki. Mmmm...bisex? wooow..
>>Kalo gitu ngapain pulang ke karang kemojing yang super terisolir n ga ada di peta itu?<<
Loooh, sudah saya katakan: jadi lurah. Kasihan buyut saya. Mbabat alas, buat cucu buyut cicit udegudeg siwur eeeeh desanya malah ditinggal kosong melompong. Yang muda-muda pada minggat semua ke jakarta. Taiwan. Malaysia. Belum lagi para pendatang-pendatang yang seenaknya ngambil perempuan-perempuan trus dijadikan bojo. Beeeeh.
>>Apa kamu frustasi ya?<<
frustasi karena apa memang?
>>Looh katanya sakit ati. Sebab cewek barangkali. Atau teater.<<
Ga ada ah. Ga benar itu. Mmmmm ada sih..sedikit.
>>Alaaaah gombal. Omong kosong<<
Ya udah kalo ga percaya. Yang pasti pulang kampung bukan sebab teater atau cewek.
>>Trus kamu lagi ngapain sekarang? sibuk ngobrolin teater, imelimelan sama pak Abu, bikin blog segala?<<
om..begini ya..ini udah jaman tekno khan? sedikit-sedikit komputer, henpon, english etc etc..masa kita terus jadi kura-kura siiiiiih. Nyungsep terus dibawah tempurung. Buka sedikiiit apa salahnya?
Ngobrolin teater ya emang itu yang masih terasa renyah. Mau ngobrolin cewek? beeeh bosen terusterusan ngomongin si a yang pantatnya gede, si c yang bodynya ehe, si h yang teteknya semlohe..belum lagi tiap hari nonton pilm begituan..bosen aaah. Ngomongin teater kayaknya belum abis kok. Tuh pak Abu aja yang dah sepuh masih semangat ngomongin teater.
>>Katanya kamu dokter anjing? Kok ga ngomongin anjing aja terus?<<
Loooh tiap hari dah ngomongin anjing. Ngomongin teater pasti ntar juga belakangnya ngomongin anjing. Anjing! kok ginigini aja y?
>>Ya ngomongin penyakitnya kek<<
Bener juga sih. Ayo ngomongin penyakit yuuuk. Yuuuk.

kayaknya seperti itu.

Jadi intinya mumpung aja deh. Mumpung lagi seneng ngutik-utik komputer. Mumpung lagi seneng ngomongin teater. Mumpung belum dipanggil untuk nerusin jadi lurah di karang kemojing....
dan masih banyak mumpung-mumpung yang lain...ehm mumpung juga belum dilarang ngobrolin teater, maen teater.

Saat itu beliau ngga menjawab. Maka kemudian saya imel lagi begini:

From: tomo_orok@hotmail.com
To: abu_xxxxx@xxxx.com

Subject: RE: Teater untuk apa-siapa?
Date: Fri, 2 Nov 2007 17:27:43 +1200

Bapak..
Gimana kabar?
masih d NY atau sudah pulang? Bali baru semaleman diguyur hujan. Masih kecil-kecil.

Maap bapak, email bapak yang mahasiswa harvard boleh di upload diblog? atau terlalu privacy?

Misal ada waktu, tengok-tengok lah blognya saya itu..

makasih bapak..salam buat ibu..

Berhubung, kemudian beliau dengan senang hati mengijinkan saya mengupload tulisan-tulisan beliau dari imel-imelannya dengan saya, maka pembaca yang budiman akan dapat menikmati tulisan mr Abu yang membakar.

Kamis, 01 November 2007

Event teater Bali, panggung Aktor bukan Penonton

>>Catatan dari Sudarmoko<<


Tidak sepenuhnya terlibat dalam aktivitas teater mungkin membuat tulisan ini agak kurang beralasan. Setidaknya bagi pelaku aktif di Bali pada umumnya dan spesifiknya, Denpasar. Hanya karena sebagian teman dekat (kebetulan dekat, for u Dedy) kayaknya membuat menilai teater bukan menjadi sebuah kebetulan. Mungkin juga karena saya juga sedang study di kota ini.

Keterjebakan ke dalam ruang kesenian membuat aktivitas pengisi waktu sehari-hariku dikota ini hanyalah menjadi penonton keliling. Menjadi penonton setiap acara kesenian di Denpasar atau pun kota lainnya, itu pun kebanyakan dalam event yang butuh uang alias gratis. Anehnya memang sungguh banyak event kesenian yang butuh penonton keliling seperti aku. Bahkan hanya untuk nonton aja kita dibayar dan dikasih pelayanan yang memuaskan (i Love u opening paint event).

Nah sayangnya ada satu ruang yang rada ketinggalan dalam model pedekatan menjaring penonton. Ruang itu bernama teater. Teeater tidak memberikan sedikitpun panggungnya buat para penonton, setidaknya untuk menyaksikan pentas dengan nyaman. Dan lucunya event teater di Bali hanya menjadi semacam "para aktor menonton pentasan aktor". Nah terus siapa yang berada sebagai "penonton" dalam pengertian sesungguhnya. Penonton keliling seperti saya misalnya, yang hanya tertarik melihat jalan cerita, tanpa harus memikirkan sambil berkata "anjing [dalam hati]" jelek banget gedungnya.

Dalam pementasan teater di Bali [hampir seluruh event] kurang memperhatikan keberadaan tempat penyelenggaraan acara. Kadang di gedung aula, kadang di kelas, kadang di tempat parkir, bahkan ada yang miris ada event reguler yang make bale banjar buat tempat pementasan. Memang ada juga sebagian yang bagus kayak di Art Center ato tempat lainnya yang bisa menciptakan suasana nyaman penontonnya.

Jika orang bisa nonton film dengan rela ngeluarin uang buat sewa kursi bioskop. Ato bayar karcis buat uang ganti panitia untuk ongkos akomodasi arti di pentas Musik, kenapa teater yang udah gratis tinggal nonton, saya harus komplain?

Jelas saya harus kompalin.
Dalam teater, penonton berhak atas panggung yang ada. Teater yang bagus adalah teater yang mempunyai keterlibatan aktif dalam pementasan. Sedangkan penonton teater yang bagus adalah penonton yang mempunyai pembedaharaan kode tanda dalam pementasan.

Kenapa harus begitu?
Dalam teater yang bagus sinergitas semua element harus nampak dan ngga boleh timpang. Ngga ada yang lebih dominan antara tukang lampu, penonton, aktor, perias, dekor panggung, sutradara, penanggung jawab pementasan, semuanya yang terlibat. Semua harus tampak dan di sana pesan dan kesan dari pementasan akan dapat dibaca dan ditangkap.

Tapi sayangnya seperti di atas disebutkan bahwa event teater di Bali hanyalah pentas Narsis aktor yang saling kenal satu sama lainnya. Seperti rantai makanan yang berputar melingkar dalam poros acara yang sama yaitu, Teater Bali. Terus mau bergerak kemana teater ini?

Dan kedepannya, kalo mendatangkan penonton saja kesulitan apalagi menciptakan seorang aktor handal. Jangan memaksa berjalan dalam lubang kubur yang sama. Sia-sia!

Teater, Bagi Panggung.

Moko
catatan dari tomo:
*Penonton teater, suka keliling-keliling sebab sering pusing. Cintanya masih tetap kepada seorang wanita. Ada keinginan yang kuat untuk balik "jalan
" bareng Dian Sastro. Dia masih bingung milih Bunga Citra atau Citra Bunga. Atau Dian?

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan