Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Rabu, 31 Oktober 2007

Membunuh Protagonis dan Antagonis

>>Tulisan dari Sudarmoko<<

Selalu hal itu yang dicari dan diperdebatkan dalam setiap pementasan teater. Memang tidak selalu menjadi yang utama, obrolan pasca pementasan bahwa pemeran protagonis kurang ini atau kurang itu. Sehingga ngga ada keterwakilan karakter dari tokoh yang mau ditonjolkan. Aktor utama dianggap ngga bisa memainkan peran dengan baik. Pernyataan itu klise. Bahkan bisa di bilang pernyataan yang kolot.

Kontroversi yang membuat perkembangan teater hanya mute-muter saja adalah masalah naskah. Ini bukan berarti teater tidak butuh sebuah naskah yang baik untuk dipentaskan. Tapi labih jauh bahwa pemahaman naska bisa jadi sangat sempit bagi para penganut faham teater konvensional. Hal ini dikarenakan, teater sendiri telah dikungkung oleh pelaku-pelaku yang konvensional juga. Termasuk kamu Tom!

Pertama kita lihat bahwa yang dipakai dalam pemikiran teater adalah pemikiran ilmu drama. Meski banyak orang yang menganggap bahwa drama sama dengan teater, secara etimologi bahasa, kata drama berasal dari bahasa Yunani Draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak. Jadi drama bisa berarti perbuatan atau tindakan. (bengkelvenorika, unisma). Berdasarkan pemahaman tersebut, drama merupakan seni pentas yang menonjolkan aktivitas gerak oleh seseorang dan diwujudkan dengan berbagai media: di atas panggung, film, dan atau televisi. Di sini drama lebih memerlukan naskah sebagai panduan perolehan aktivitas gerak.

Sedangkan teater, berasal dari kata "theatron" yang mempunyai arti “gedung pertunjukan”, ada yang mengartikan sebagai “panggung” (http://id.wikipedia.org/wiki/Teater). Teater hanya menjadi tembat buat aktivitas sini drama. Dalam istilah ilmiahnya adalah dramaturgi. Hal ini berarti drama hanyalah salah satu bagian dari teater, atau bagian yang kebetulan berhubungan.

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa tidak lagi pentingnya sebuah tokoh utama, hal itu semata-mata bahwa konsep perwatakan hanyalah unsur dari seni drama itu sendiri, bukan dalam teater. Dalam drama konsep perwatakan hanyalah sala satu cara untuk menjelaskan karakter saeseorang sehingg aktivitas yang dilakukan bisa dipahami oleh penontonnya Dalam seni sastra hal itu disebut dengan penokohan. Sedangkan tokoh sendiri dimunculkan dalam 2 kutub demi lahirnya konflik yang akan membuat cerita dari seni sastra itu menarik.

Ada peri baik hati dan iblis yang jahat. Ada orang pintar yang disandingkan dengan pemuda bodoh. Ada ksatria yang ditandingkan dengan penguasa yang Jahat. Sungguh perbandingan yang tidak seimbang. Di sinilah karakterisasi Naskah konvensional itu ngga adil dan bodoh. Jelas bahwa protagonis dan antagonis adalah pion yang paling tolol karena mau perlakuan itu. Lebih bodoh lagi jika paktor yang mengelutinya mau memainkan kedua tokoh tolol itu. Tragis!

Ok. bukan berarti bahwa konsep konvensional itu buruk. Saya tidak mengatakan secara holistik, tetapi secara parsial bahwa hal itu memang buruk untuk waktu dan kondisi saat ini. Mungkin saat abad 18-19, konsep penokohan secara bipolar adalah sebuah rumus brilliant yang ada dalam seni pertunjukkan. Saya pun masih yakin dengan hal itu, ketika Romeo dan Juliet begitu mendunia hingga plagiarisme alur cerita hampir samar/tiada beda dengan Roro Mendut/Pronocitro, Sampe-EngTai, and [bad] other love story.

Tapi saat ini yang terpenting dalam seni pertunjukkan adalah bagaimana penonton bisa dimudahkan, dan lebih dimudahkan lagi. Yang perlu dibongkar ada beberapa hal.
pertama: konsep ruang pertunjukkan itu sendiri. Jika ngga da ruang yang benar-benar kreatif (yakin bahwa penonton akan jenuh). Di gedung sudah terlalu biasa.
kedua: Spontanitas yang segar untuk tema dan penyajian (Naskah Cerita sudah terlalu klise, kayak kaset cd Bokep yang diputa terus-menerus bikin lecek pikiran).
Yang terakhir, Bunuh karakterisasi (ngga perlu lakon) setidaknya perlu dicoba entah lebih memainkan properti, setting, suara, atau penonton sendiri.

Untuk menjadi gerak orang harus melangkah. untuk menjadi dinamis orang harus berpindah , untuk menjadi baik orang harus bertempur.
Bertempur melawan konvensi mapan yang sudah mulai usang.
Gathering,
Migration,
Fighting,

Teater, kill your actors!

moko
*pemerhati teater tinggal di Denpasar. Punya hobi dugem, hang out. Punya rencana bunuh diri tapi gagal, sebab dah kadung kecantol cinta dengan Dian Sastro

Senin, 29 Oktober 2007

Nasib Tukang Artistik

>>Siapa (itu) yang di belakang?<<

Seperti yang Dayu Kinanti lontarkan, bahwa apes betul jadi tukang artistik. Menjadi orang-orang yang mengerjakan set panggung, property, tata lampu dan tetek bengek lainnya.
Mereka menjadi orang-orang yang tak populer dan malah sering terabaikan. Meski tak sedikit pula tukang art yang menjadi populer dan disegani karena keahliannya.

Saat Grotowski menggembargemborkan bahwa teater dikembalikan lagi kepada aktor, maka lengkaplah sudah penderitaan orang-orang di belakang panggung, termasuk sutradara. Bila kemudian banyak pihak yang mengamini, tentu menjadi kesialan berikutnya bagi orang-orang di belakang peran.

Bahwa unsur teater sepokoknya ada 3 yakni aktor, penonton dan tempat pertunjukan. Artinya bila ketiga unsur pokok tersebut terpenuhi maka dapatlah dikatakan terjadi peristiwa teater. Aktor, artinya pemain, seseorang yang memainkan cerita atau peran. Penonton, artinya orang yang menyaksikan jalannya permainan sang pemain (aktor). Tempat pertunjukan, artinya tempat dimana permainan sang pemain itu terjadi. Tempat pertunjukan tidak melulu panggung konvensi tapi bisa menjadi lebih luas pengertiannya. Tempat pertunjukan bisa berupa jalan raya, cafe, mall, rumah petak, kantor de el el.

Bahwa bila aktor bisa memaksimalkan seluruh "daya tubuhnya" sebagai modal untuk bermain, maka hal-hal diluar tubuhnya dianggap sebagai tempelan semata. Artinya, si aktor harus mampu menggali potensi tubuhnya tanpa mesti tergantung dengan unsur lain diluar tubuh.

Aktor tak akan lagi tergantung dengan sutradara. Aktor yang selama ini menjadi boneka mainan sutradara, akan menjadi lebih merdeka. Dia menjadi sosok yang mampu menerjemahkan keinginan-keinginan estetis artistiknya sendiri.
Aktor tak lagi ribet dengan urusan kostum dan make up, sebab dengan kemampuan "daya tubuh luar dan dalam"nya, aktor bisa memainkan perannya. Aktor tak lagi merisaukan kerlap-kerlip lampu untuk membantu suasana emosional tokoh. Dia akan dengan lugas membawa penonton ke suasana emosional peran yang dilakoni meski di tempat terang benderang, siang hari di depan ruko misalnya.

Tuntutan menjadi seorang aktor yang mandiri, sungguh mempunyai sisi positif tersendiri. Saat aktor siap bermain dengan bermodalkan tubuhnya -tanpa mesti tergantung kepada sutradara, tukang artistik, penata make up de el el- maka peristiwa teater akan lebih sering terjadi dan akan lebih banyak orang yang mendapat pencerahan (bila memang tujuan bermain adalah untuk memberi pencerahan atau sekedar berbagi gagasan).

Akan menjadi lebih kompleks bila kita ngomongin sebuah peristiwa teater dalam kacamata "pentas grup teater".

Sebagai sebuah kerja tim, sebenarnya tak benar bila "orang-orang di belakang peran" menjadi terabaikan. Tercampakan. Tak dipandang dan ujung-ujungnya menggerutu sebab tak populer.

Sebuah pertunjukan ensamble yang bermuara pada pementasan, satu unsur melengkapi unsur yang lain. Sang sutradara tentu tak bisa sendirian. Pentas takkan terjadi bila tak ada aktor yang bermain. Pertunjukan kuran asoy kalau tak terdengar bunyi-bunyian atau ilustrasi musik. Pentas kurang "mengheekkan penonton" kalau lampu tak tertata dengan baik. Kurang wauw kalau kostumnya tak wauw. Dan tentu pementasan takkan terjadi bila tak ada produser yang berlintang pukang mencari dana dan mencairkannya.
Saat kesetaraan itu benar-benar diamini, tak akan terjadi satu unsur dominasi atas unsur yang lain.

Persoalannya adalah saat sebuah grup menjadikan sutradara sebagai dewa nahkoda pementasan. Grup takkan berjalan bila si sutradara ngehek misalnya. Seluruh jiwa raga grup melulu ada pada sutradara. Bahkan ada kelompok teater yang hanya punya sutradara (yang tak bisa bermain) tanpa mempunyai se-aktor-pun. Miris dan tragis.
Saat grup tumbuh seperti itu, tak heran bila "pamor" grup hanya dimiliki si sutradara. Selanjutnya yang beruntung adalah seseorang yang kebetulan menjadi aktor, dia akan kecipratan sedikit. Dan yang acap kali tak terdengar kentutnyapun oleh penonton adalah penata-penata yang berkeringat-keringat dibalik layar. Padahal, para penonton telah disuguhi suguhan paling prima hasta karya tukang artistik, lampu, properti, kostum, make-up, musik dan produser. Padahal aktor dan sutradara takkan dapat tepuk tangan penonton -atau cacian- tanpa keringat mereka.

Seperti yang mBah Roedjito almarhum (salah satu Mahaguru penata artistik Indonesia) katakan bahwa adalah sebuah pilihan untuk menjalani sesuatu yang jauh dari tepuk tangan dan pujian.

Dan selebihnya saya kembalikan kepada anda.

Belajar Manjadi Aktor

>>Menjadi aktor dengan a kecil<<

Dengan bermaksud untuk menyindir seorang tokoh teater yang menyebutkan "aktor dengan a besar" maka saya sengaja tuliskan ini.


Siapakah sang aktor? Bagaimana menjadi aktor? Mampukah saya menjadi aktor?

Sudah sering kita mendengar kata aktor. Di film, sinetron, panggung teater hingga panggung politik. Di dunia peran (film, sinetron dan panggung teater) seseorang yang memainkan seorang tokoh disebut sebagai aktor. Entah sebagai figuran ataupun menjadi tokoh utama, dia berhak dipanggil sebagai aktor. Entah cuma satu kali main atau berkali-kali memainkan tokoh dan karakter yang berbeda, dia berhak dipanggil aktor. Kepandaian seseorang memainkan berbagai watak dan berbagai peran, membuat gelar "aktor" menjadi idaman bagi para penggila seni peran. Tak heran pula bila seseorang sangat lihai menggunakan berbagai peran di dunia politik maka dia dijuluki "aktor intelektual".

Bagaimana menjadi aktor yang baik?
Ada banyak buku-buku yang mengajarkan untuk belajar menjadi seorang aktor. Stanislavski menjadi bapak peran yang dijadikan acuan mahasiswa-mahasiswa seni peran di dalam dan luar negeri. Bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia "Persiapan Seorang Aktor" oleh Asrul Sani, menjadi buku ajar di sekolah tinggi seni di indonesia. Buku itu menjadi pedoman awal seseorang untuk bermain drama.
Di Indonesia sendiri, WS Rendra telah menuliskan "teknik-teknik akting" hingga sekian seri yang dimuat di Kompas pada awal 70-an dan kemudian dicetak ulang oleh Direktorat Kesenian.
Dan masih banyak lagi yang bertebaran di toko buku-toko buku, perpustakaan dan situs-situs internet, tulisan-tulisan para praktisi maupun akademisi yang berkaitan dengan pelajaran menjadi seorang aktor.

Persoalan bahwa kemudian di Indonesia jarang dijumpai buku-buku tentang bagaimana belajar "akting" yang baik itu adalah hal yang tidak ingin saya omongkan disini. Sebab, di jaman sekarang teknologi membikin kita menjadi lebih mudah untuk belajar.

Coba saja kita berselancar di google kemudian ketik "stanislavski""acting" (ditulis sama persis seperti disamping, dengan tanda ") maka akan muncul
114.000 situs yang membahas teknik akting Stanislavski. Bila anda kreatif, tentu bisa melakukan pencarian bahan-bahan yang berkaitan dengan belajar akting dengan memainkan sintak google. Misalnya, anda ingin mencari bahan seminar atau skripsi atau tesis yang berkaitan dengan akting atau teater, anda bisa ketik .pdf teater maka akan dijumpai 1.760.000 file pdf yang berkaitan dengan teater.
(Anda juga bisa memainkan sintak google untuk berbagai macam pencarian. Bila anda ingin tahu lebih lanjut tentang sintak google, silahkan browsing di google)

Lalu bila kita telah mendapat bahan bacaan banyak, lantas kita mau apa?
Sebagai seorang yang tak mengenyam mata kuliah akting di sekolah seni, tentu saya tak bisa ngomongin bacaan-bacaan itu lebih jauh. Bagi saya, teori- teori akting itu tetap sebagai pengetahuan namun bukan sebagai penjara. Seseorang yang pengin belajar menjadi aktor -menurut saya- sebaiknya mesti tetap memperbanyak bacaan-bacaan sebagai pengetahuan. Namun yang lebih penting dan lebih nyata adalah prakteknya. Latihan-latihan. Setiap waktu. Dengan kesadaran dari diri bahwa seorang aktor mesti banyak membekali diri dengan pengetahuan atau ilmu.
(kata kakek saya almarhum, ilmu itu nyampar nyandung. Artinya ilmu bisa di dapat di sekitar kita sehari-hari dan sering tak kita sadari,meski sebenarnya si ilmu sudah terinjak dan tersandung)

Dalam keseharian, kita semestinya meluangkan diri untuk mengingat dan merekam kelakuan kita ataupun kelakuan orang lain. Sebentar saja, tak usah lama-lama. Lalu yakini bahwa suatu waktu apa yang kita rekam itu akan bisa manfaatkan saat kita memainkan sebuah peran.
Kita juga bisa meluangkan diri untuk melemaskan otot ataupun sekedar mengerti beberapa bagian dari organ, persendian, otot-otot dan tulang belulang kita.

Untuk menjadi aktor dengan "a" kecil semacam kita, sebenarnya latihan-latihan yang dilakoni akan menjadi lebih riang dan gembira. Tanpa akan menjadi sebuah beban bahwa kita adalah seorang aktor dengan "a" besar yang menjadikan aktor sebagai sebuah profesi dan beban "nama besar".
Kita bisa melakoni latihan saat di kamar mandi misalnya, yah sekedar berjinjit, membungkukkan tubuh atau melakukan gerakan lucu yang "lebih privasi". Apa beratnya melakukan hal-hal kecil untuk "sekedar" mengetahui seluk beluk tubuh sendiri?
Latihan-latihan kecil dengan riang gembira di kamar mandi saya pikir bisa dilakoni setiap hari. Bukan hanya saat mandi, latihan ringan bahkan bisa kita lakoni saat kita jongkok di toilet sambil buang air besar. Sungguh sangat mengasyikkan, melakukan posisi ekstrem saat buang air besar. Coba saja anda lakukan.
Saat di ruang kerja atau ruang kuliah, kita bisa juga melakoni latihan ringan. Yah sekedar mengamati gerak gerik teman, dosen, guru atau rekan kerja. Di jalan, di pasar, di mall, di warnet bahkan di atas ranjang bersama pasangan. Sungguh mendebarkan dan tak membosankan.
Sebagai calon aktor dengan "a" kecil (sudah calon, "a" kecil lagi) yang diperlukan hanya kemauan. Bukan karena ketertekanan. Anggap saja kalau toh kita gagal menjadi aktor, paling tidak kita akan menjadi lebih berwarna warni dalam hidup.
(bayangkan pasangan anda akan ternganga dengan gerak ekstrem anda, dosen anda akan terkesima dengan gaya anda yang kelihatan menguasai materi kuliah atau teman anda yang selalu teryakinkan bahwa anda selalu punya duit dan selalu siap mentraktir)

Jadi, mampukah saya menjadi seorang aktor?

Minggu, 28 Oktober 2007

ngomentari Komentar Dayu Kinanti

Membaca kembali komentar oleh Dayu Kinanti untuk tulisan "duuuh Lambatnya Koneksiku"

Lambat, renta, ngga berdaya.
Persis kayak nenek ato perempuan Jawa yang habis diperkosa.
Ngga ada yang bilang bahwa dia kehabisan tenaga, karena dia perempuan, maka wajar kalo dia ditakdirkan untuk tetap berjalan pelan.
Tapi apakah ini bukan perjalanan yang konstan?
Sebuah perjalan yang stabil, yang tetap dijaga iramanya agar dapat beraturan.
Tapi teater bukan sebuah koneksi.
teater hanya sebuah server yang menampung berbagai macam data yang diupload, dipampang, dan disombongkan oleh pelakunya.
[setelah itu -terkadang- dicampakkan]
Persis kayak cerita Perempuan Jawa yang telah lelah diperkosa.
Jangan berpikir ttg perawan, karena teater ternyata bukan perempuan. Dirias, dipercantiek , lalu dipersembahkan.
Koneksi hanyalah masalah kecepatan akses. Tapi yang lebih penting adalah user-nya.
Kalo belum butuh ngapain dipaksakan, tapi kalo udah perlu colong konesi itu meski harus pasang antena abal-abal.
kayak Kost-an mewah + fasilitas online.
Teater,
GILA!

Saya jadi berpikir, opini Dayu ada benarnya juga. Barangkali sekarang ini - dimana teater modern Bali lagi lambat - malah adalah sesuatu yang konstan. Lebih teratur. Beraturan.
Bila tiba-tiba di Denpasar setiap bulan ramai dengan pementasan-pementasan teater, bukankah itu malah mengganggu "kestabilan" teater modern Bali? Bukankah lebih nyaman seperti kondisi sekarang ini - tiga kali dalam setahun belum tentu ada pentas? Bukankah lebih asyik menunggu ada event baru bikin produksi?
Waaaaah....

(temen disampingku - oncep - menghela napas..ehm, hari gini kok masih ngomongin teater? trus kapan maennya?)

Tapi benarkah bahwa teater hanyalah sebuah server, yang dibikin untuk nampung data, diup load dan dipampang lalu dibanggakan oleh pelakunya?

Bila begitu adanya, sungguh luar biasa. Teater digunakan untuk menampung data-data memperbanyak isi curicullum vitae, bercerita kepada orang-orang bila dulu tahun anu saya pernah mentasin anu. Duluuu sekali.
Terus tiga tahun terakhir kemana aja om, tante? Lima tahun terakhir ngapain aja?

Benar juga kata temenku, si oncep, hari gini kok masih ngomongin teater. Ya udahlah biar aja. Lakuin aja apa yang masih bisa dilakuin. Yang masih bisa ngejaga latihan rutin, lakuin. Yang masih bisa produksi en pentas tunggal, lakuin. Yang masih bisa komentar, lakuin. Yang masih bisa nulis, tulisin. Yang masih bisa ngomong, ya ngomong aja.


Sabtu, 27 Oktober 2007

/KENAL-kan! Raden Prakiyul

>>Dari Pameran Tunggal di ISI Denpasar<<

Saya baru saja pulang dari acara pembukaan pameran tunggal karya teman saya. Teman saya yang berpameran itu adalah Raden Prakiyul Wahono Noto Susanto. Beliau saat ini masih aktif sebagai mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Fakultas Seni Rupa dan Desain jurusan seni lukis angkatan 2003. Menurut buku acara yang saya baca, selain melukis beliau juga aktif menulis buku. Selain menulis buku, beliau juga aktif menulis di kertas-kertas kosong, buku-buku teman, katalog pameran, koran lokal maupun internasional dan kertas yang tak terpakai yang beliau temukan di jalan.

Banyak penghargaan yang telah beliau raih, dari penghargaan lomba balap karung, makan krupuk hingga mendapat nominasi I lomba lukis HUT Denpasar XII, juga nominator penulisan puisi se Bali. Buku antologi puisi para pemenang lomba penulisan puisi se Bali telah diterbitkan dengan judul "Tuhan Langit Begitu Kosong". Sedang buku antologi karya beliau telah pula diterbitkan dengan judul "/KENAL-kan sebuah ruang teks.

Menurut buku acara yang terdiri dari 2 lembar kertas A4 fotocopy-an bolak balik ini, saya jadi mengetahui bila beliau sudah aktif berpameran sejak tahun 2003. Beliau sering mengadakan pameran bersama teman-teman beliau maupun pameran tunggal. Di Jawa dan Bali. Terakhir kali, tahun 2006 beliau berpameran tunggal "/KENAL-kan sebuah ruang teks" di Galeri Surabaya.

Pameran beliau kali ini merupakan seri II dari /KENAL-kan. Beliau mengambil judul untuk pameran ini adalah "PAMERandTUNGGAL /KENAL-kan II Matinya Orang Mati. Barangkali beliau sengaja mengambil judul panjang karena disesuaikan dengan nama beliau yang juga panjang.

Pemilihan tempat pameran di Amphiteater ISI Denpasar menjadi daya tarik tersendiri. Langit cerah, bulan penuh dan udara terbuka yang sejuk. Saya sangat menikmati. Pukul 19.00 wita, 27 Oktober 2007. Seperti biasa acara pembukaan "acara", selalu dihiruk pikuki dengan sambutan-sambutan. Pun acara pembukaan pameran Raden Prakiyul ini. Sambutan dari ketua panitia, sambutan dari pihak institusi de el el de el el. Saya masih bisa memaklumi.

Acara yang resminya dibuka oleh Rektor ISI Denpasar, dialih tugaskan kepada Dekan FSRD. Menurut MC dan digaris bawahi juga oleh mr Dekan, ketidak hadiran mr Rektor dikarenakan kesibukan beliau yang teramat sangat. Maklum, ciri khas pejabat di Indonesia.

Selesai pameran dibuka secara resmi, acara dilanjutkan dengan pertunjukan tunggal dari Raden Prakiyul. Beliau mengawali pertunjukan dengan meneriakkan salah satu sajak ciptaannya. Lumayan. Kemudian beliau bergerak ke kanan ke kiri membisukan diri. Satu persatu jacket dan celananya beliau lepaskan hingga beliau hanya mengenakan second skin. Setelah itu beliau bergerak lagi ke kanan ke kiri, ke depan, ke belakang. Saya menerka-nerka apa yang ingin beliau sampaikan? Menit berlalu. Raden Prakiyul tetap bersemangat bergerak ke kanan ke kiri ke depan ke belakang dengan diiringi ilustrasi musik. Sekian menit berlalu, saya masih belum mengerti. Raden Prakiyul masih tetap percaya diri bergerak, bergerak dan bergerak. Dan tetap: bisu. Sudah lewat satu jam. Apa yang ingin disampaikan beliau? satu persatu penonton pergi.

Saya sengaja tak membaca sinopsis dari pertunjukan ini. Tapi, menurut buku acara yang tipis ini, durasi pertunjukan Body Penting #2 ini kurang lebih 160 menit. Dan Raden Prakiyul menepati janji. Setelah beliau bergerak ke kiri kanan depan belakang berputar, bertepuk tangan, naik level, mendorong level, membalik level selama 160 menit, baru beliau mengakhiri pertunjukan. Syukur, penonton yang duduk di amphiteater masih ada yang tersisa. Selanjutnya para penonton dipersilahkan oleh beliau untuk melihat karya belau yang di pamerkan. Harga lukisannya = 2 tiket Ongkos Naik Haji plus.

PamerandTunggal Raden Prakiyul ini benar-benar tunggal. Karya yang di pamerkan cuma satu biji, Pertunjukannya yang main juga satu orang, ya Raden Pakyul itu sendiri. Penonton yang sudah dua jam-an menunggu sebab pengin melihat karya Raden Prakiiyul manggut-manggut.

Seusai orang-orang menonton karya yang dipamerkan, Raden Prakiyul meminta kritik dan saran dari penonton atas pertunjukan dan karya beliau. Tak ada yang bisa diungkapkan. untuk mewakili kata: Jelek.

Waaah...katanya besok malem ada lagi pertunjukan. Kata buku acara durasinya juga 160 menit. Seperti malam tadi,..ada (kah) yang mau datang?

Kamis, 25 Oktober 2007

Copy Paste Up Load

>> 14.14 waktu Bali <<

Apa yang bisa dilakukan setiap hari oleh kita -ehm, calon aktor-?

Dimulai dari bangun pagi.
Kita bisa melakukan latihan kecil saat bangun pagi. Ya atau semisal setiap harinya bangun setelah jam 12 siang ya ga papa lah..pokoknya "latihan kecil saat bangun tidur".
Bila posisi tidur anda telentang, di ruangan yang agak luas dan sendirian, anda bisa angkat kedua kaki anda lurus, tempelkan lutut anda ke hidung kemudian hentakkan kaki anda sehingga badan anda terangkat. Jaga keseimbangan dan kesadaran agar anda tidak terjatuh. Setelah itu jalanlah pelan menuju tempat air terdekat untuk cuci muka. Gosok pelan muka anda dengan tangan pelan-pelan. Pakai sabun bila perlu. Perhatikan posisi kaki. Anda bisa mengangkat tungkai anda dan berdiri dengan jari-jari kaki sebagai tumpuan layaknya penari balet.

Ambil sikat gigi ples pasta gigi dan gosoklah gigi anda dengan lembut. Buka mulut lebar-lebar, hidung dan mata juga dibuka dengan lebar. Hati-hati jangan sampai tersedak. Rasakan seluruh otot di wajah anda mengencang mengendor, mengencang mengendor dan seterusnya.
Jangan lupa perhatikan posisi kaki. Jari-jari kaki masih sebagai tumpuan dan usahakan lutut anda agak ditekuk. Bila kemudian anda merasa ingin buang air -besar maupun kecil- silahkan cepat-cepat anda buang saja itu air besar maupun air kecil.

Saat buang air, perhatikan juga posisi kaki. Sebaiknya dalam posisi jongkok maupun duduk atau berdiri, jari-jari kaki diusahakan tetap digunakan sebagai tumpuan.
Selesai anda melakukan "ritual-ritual bangun tidur" anda bisa mengambil segelas air putih. Anda bisa meminumnya langsung atau bisa juga dibikin kopi atau teh anget. Terserah selera anda.
Anda harus memastikan seluruh alat gerak anda benar-benar telah anda gerakkan saat bangun tidur. Sambil minum air, anda bisa setel lagu-lagu kesukaan anda lewat radio, tape, vcd/dvd player, ipod atau komputer. Terserah anda. Atau anda tidak suka mendengarkan lagu orang lain? Tidak masalah. Anda bisa menyanyikan lagu anda sendiri.

Akan mengasyikkan bila sambil minum air, menyanyi atau mendengarkan lagu, anda ambil kertas dan ballpoin dan menuliskan hal-hal yang ingin anda kerjakan hari ini misalnya. Atau mungkin ingin menuliskan sesuatu untuk dikirimkan ke blog ini misalnya. Terserah anda, anda ingin menulis apa. Tapi, tidakkah anda kasihan melihat isi blog ini? Bila anda kasihan dan ingin menuliskan sesuatu yang berkenaan dengan teater, silahkan. Dengan senang hati tentu saja saya akan mengup loadnya.

Terus bila anda tidak tidur telentang, bagaimana latihan kecil yang bisa dilakukan?
Yang pertama, ubahlah tubuh anda hingga posisi anda menjadi telentang. Kemudian copy pastekan proses latihan kecil seperti diatas hingga kata "akan mengup loadnya".
Apakah nasib blog ini akan demikian juga: copy paste dan up load?

Duuh Lambatnya...

>> Kenapa koneksi netku melambat?<<

Lalu, apa hubungannya dengan teater Bali? modern balinese theatre?
whooohohohoho..ga nyambung deeeeh

eloooh meski ga nyambung kalo mau disambung-sambungin bisa ajaaaah..

Maksudna?

Begini ceritanya.
Menurut tradisi lisan yang diceritakan dari mulut ke mulut yang keabsahan ceritanya tak bisa dipertanggungjawabkan, bahwa nasib teater Bali dari jaman ke jaman ya seperti inilah adanya. Pasang surut seperti air laut.
Sayangnya, lebih banyak surutnya ketimbang pasangnya.

Maksudna?

Maksudnya, ya lambat. Koneknya lambat. Kenapa ya? pa perlu ganti proxy ya? Pa sistemnya ada yang error ya? Pa malah kompiku yang makin ancur ya? Duuuh gimana dooong...

Wah, makin ga jelas nih omongannya. Situ lagi ngomongin teater pa komputer seeeh?



Rabu, 24 Oktober 2007

Jadi...

>> Adakah yang ngobrolin teater (di denpasar) hari ini? <<

Berhubung beberapa pihak mengatakan bahwa teater hendaknya tidak diobrolin ataupun diobralin, maka wajar kiranya bila hari ini tak ada dua orang atau lebih yang bercakap tentang teater.

ehm..brarti ga da yang lagi proses produksi dooooong....

Senin, 22 Oktober 2007

Aya Naon?

>>12 siang waktu Denpasar<<

Kenapa tiba-tiba Creamer Box melintas di otak? aya naon dengan Bob Teguh?
>> tiga kali Creamer Box - grup teater olah body cinta dari Bandung - memamerkan karyanya di Bali.

Tahun 2002
>> Creamer Box mementaskan naskah Waiting for Godot nya Samuel Beckett. Satu kali lawatan pentas, mereka main di dua tempat. Yang pertama di Wantilan Taman Budaya Denpasar. Yang kedua main di Galeri Mas Yanniek Ubud.
Luar biasa. Kata itu yang terucap dari para penonton seusai menyaksikan pertunjukan mereka. Dengan mengandalkan gerakan-gerakan sirkus yang atraktif, penonton dibikin terpesona. Kalimat-kalimat percakapan antar aktor yang diucapkanpun wuswuswuswus....Sungguh perlu stamina yang luar biasa.

Tahun 2003
>> Satu tahun setelah memainkan Waiting for Godot, Bob Teguh kembali membawa teaternya ke Bali. Dengan naskah Hamlet nya William Shakespeare,
Creamer Box kembali membikin dagdigdug jantung penonton.

Creamer Box datang atas undangan Sanggar Posti bekerjasama dengan Komunitas Seni di Denpasar untuk pentas di "Performa 3 Pertunjukan". Acara tersebut berlangsung tanggal 6-7 Nopember 2003 di Taman Budaya Denpasar
Selain Creamer Box, Kelompok teater dari luar Bali yang turut berpartisipasi adalah kolaborasi antara Kelompok Kaki Langit dan Komunitas Belok Kiri Jalan Terus (BKJT) dari Malang.

Dan, penonton banyak yang bilang: Anjriiittt!! kok bisa aktornya "jumpalitan" kayak gitu ya? latihannya gimana ya? ini teater pa akrobat ya? Aktornya bekas atlet senam kalee yaaa..

Ada juga fans-fans Creamer Box yang selalu mengikuti perkembangan "artistik" Creamer Box berkomentar: Payah. Ni maennya kurang maksimal. Vokalnya ga keluar. Monoton. Kurang greget, ngga kayak Waiting for Godot dulu.

ehm, susah ya kalau sudah punya patokan "nilai" artistik yang bagus?

Tahun 2006
>> Creamer datang lagi ke Bali, nyiramin penonton dengan pertunjukan Lawan Catur. Mereka pentas tak lagi di Denpasar. Mereka lebih memilih maen di Sanggar Bona Alit Gianyar dan Singaraja.

ehm, si Bob kayaknya sudah pe de abiiis bila Creamer Box sudah punya penggemar fanatik di Bali.

Benar! meski pertunjukannya di dua kota yang jauh dari pusat ibukota Bali, namun pertunjukan Lawan Catur tetap didatangi penonton-penonton lawas dari Denpasar. Ya bolehlaaaah...

Apa komentar penonton?
Creamer Box masih tetap mempesona di wilayah olah body cintanya. Namun teteeep..kedodoran di bagian pengucapannya....wuhuhuhuhuhu..

Apa komentar Creamer BOb?
>> Manusia teh nte aya yang sempurna. Yang sempurna mah milikna mild ajaaaah. Tapi paling ngga khan aya yang manonjol getuuu...
Nah, sebab itu latihaaaaan ajaaaah deeeeh aaaaah

Lantas, kenapa tiba-tiba Creamer Box melintas di otak?



What?

>> Denpasar <<


Ada yang lagi bingung milih naskah. Muter-muter nyari naskah. Tanya sini tanya sana. Gara-gara mau pentas "dalam rangka".
xixixixixixixixi

Ada yang mau bantu nyariin naskah?

Sabtu, 20 Oktober 2007

Pelantikan Anggota Baru

>>Bukit Jimbaran<<

Semalam, Teater Orok Universitas Udayana melakukan ritual pelantikan anggota baru. Prosesi pelantikan yang dilakukan dengan sederhana tersebut dimulai dari pukul 19.00 wita hingga pukul 05.00 wita.

Dari 50-an mahasiswa baru dari berbagai fakultas yang mendaftarkan diri untuk menjadi anggota, akhirnya "cuma" 1 (satu) orang saja yang berhasil lolos untuk dilantik.
Waaaaaaah gilaaaaaaa beneeeeeeeeer...
Bagaimana tuh ceritanya?

Kata Niko Wijanarko, sang ketua umum, proses seleksi bagi calon anggota Teater Orok tahun ini lumayan ketat. Setiap calon anggota wajib mengikuti tahap demi tahap seleksi. Ada 4 tahap seleksi calon anggota yakni wawancara, penugasan 1, penugasan 2 dan latihan dasar teater. Bila calon anggota tak bisa mengikuti satu tahap tersebut maka, calon anggota tersebut dinyatakan gugur.
Wuhhuhuuuuuuu susyaaaaaaah bangGettttt..

Masih kata Niko, ini semua dilakukan semata-mata dilakukan "demi" menyelamatkan keberlangsungan Teater Orok.
Beeeeeh heroik bangggeeet...pake "Saving Private Orok" segala..

Masih kata Niko juga, tujuan pengetatan seleksi anggota ini adalah untuk mencari orang-orang yang bener-bener memiliki loyalitas dan keseriusan untuk belajar teater. Seandainya sistem seleksi tak diperketat dikhawatirkan Teater Orok akan pupus.
Looooooh kok bisa sih maaas?

Pengen tahu sekarang anggota Teater Orok yang aktif ada berapa? ada Niko Wijanarko, Ni Kadek Lia Gautama, Wahyu Anggoro dan Muh. Harris.
hiks..menyedihkaaan...trus yang laen pada kemanaaaaaa?

Entah.

Meski hanya melantik satu orang anggota, toh prosesi tetap jalan terus.
Sebagai "kewajiban" setiap pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa, regenerasi anggota dan pengurus mesti dilakukan meski apapun yang terjadi.
Selamat!

Kamis, 18 Oktober 2007

Batas Akhir Naskah

>> GATEL bikin gatel<<

Dari yang saya dengar, batas akhir pengumpulan naskah untuk diseleksi oleh panitia adalah hari Sabtu, 20 Oktober 2007.

Hayoo...bagi siapa yang mau ikutan pentas di Gelar Teater La jose mesti cepet-cepet ngumpulin naskah
(...xixixixi..kaya' lagi ujian di kelas ja ya: ayooo anak-anak...naskahnya dikumpulin..kalo ga ntar dijewer ma ibu guru :p ...)

Sepertinya, Kualitas GATEL pengin dinaikkan. Makanya, panitia bikin sistem penyeleksian pilihan naskah dan juga peserta yang akan pentas.
Plokplokplokplok.....

Rabu, 17 Oktober 2007

Lalu?

Disini sudah jam 2:50.

Saya malah tuli, tak mendengar kabar bila tanggal 13 November ada acara monolog. Setahu saya, bulan Desember emang ada event Gelar teater La Jose (Gatel) di sekolah Santo Josep.
Dadi sekarang lagi di Jakarta sampai taon depan, dulu dia yang menggawangi acara itu. Sekarang kayaknya Elvis. Sedang Andika sudah memutuskan untuk kuliah secara serius di Jogja. Dan Utay serta Jaya?..saya tak mendengar ada apa dengan mereka.

Tahun 2005.
Saat itu kepala taman budaya masih sangat terbuka bagi kegiatan teater dan sejenisnya. Maka kemudian dibikin acara-acara yang nyerempet dan berbau teater. Salah satunya Parade Seni Kontemporer. Terselip di dalamnya ada acara diskusi tentang teater kontemporer. Pembicaranya mr Dibya didampingi Juniartha sebagai Moderator.
Seru. Para peserta - yang semuanya adalah senior saya - nampak bernostalgia.
Sedang saya, yang paling kurus dan muda, saat itu ngomong di kesempatan yang paling akhir. Setelah hampir semua senior saya menyampaikan bla-bla nya.
Saya bilang saat itu: bahwa teater modern bali saat ini sebenarnya telah mati. Kenapa? sebab saya pikir, tak ada aktivitas rutin yang dilakukan oleh para penggiat teater. Semacam latihan rutin oleh masing-masing individu ataupun kelompok kek, ataupun pementasan-pementasan "mandiri" tanpa embel-embel "dalam rangka".
Bahwa ajang tahunan Pekan Seni Remaja bukanlah barometer perkembangan teater modern Bali. Bahwa pementasan tahunan Unit Kegiatan Mahasiswa Teater Orok Universitas Udayana bukanlah acuan perkembangan teater modern.
Bahwa acara rutin yang digelar teman-teman SMA dan Mahasiswa tetap "hanya" sebagai pemberi warna belaka. Lalu siapa yang mestinya diberi warna? Harusnya adalah para penggiat teater yang sudah basah di dunianya.
Toh, apa yang kemudian terjadi?
Reaksi individu.

Saya sepakat, bila semestinya kelompok teater non sekolah lebih giat pentas ataupun sekedar latihan rutin. Ataupun sekedar diskusi-diskusi ringan seputar teater. Saya sepakat bahwa teater takkan sekarat. Bahwa keberadaan "hidup ataupun matinya" teater bukanlah sebuah fenomena yang mesti dibesar-besarkan. Toh teater tidak pernah melonjak-lonjak minta disebut namanya. Lalu?

Sekarang keadaan telah berubah.
Kebijakan baru dari taman budaya adalah menutup gerbang taman budaya untuk aktivitas dari jam 20.00 hingga jam 06.00 pagi. Sehingga, kelelawar teater yang biasanya numpang latihan mesti dirombak total. Latihan ngga boleh lebih dari jam 20.00.
Barangkali koordinasi yang buruk - atau malah tak ada koordinasi - antara pekerja teater dengan instansi pemerintah yang menjadi salah satu faktornya. Latihan-latihan teater yang dilakukan di areal taman budaya sebagian besar tanpa pernah ada koordinasi dengan pihak taman budaya, itu keluhan yang sering dilontarkan pihak taman budaya. Boro-boro memberi surat mohon ijin tempat, ngomong perlisan bahwa ini dari kelompok ini mau latihan saja tak pernah.

Semestinya teater jalan terus.
Latihan jalan terus.
Latihan di gang, selokan, jembatan, pasar, panti pijat, lokalisasi, numpang di kampus, depan ruko, mall atau mau dimana?
Lalu yang jadi pertanyaannya: siapa yang mau latihan? siapa penggiat teater yang mempunyai kesadaran untuk menjaga latihan rutin?
Jangankan olah tubuh, vokal, ataupun rasa yang membutuhkan tenaga banyak. Sekedar untuk ngpbrolin teater saja kayaknya jarang. Masing-masing sibuk dengan anunya sendiri.

Ya sudah. Kalau tak mau latihan rutin yang bikin ngos-ngosan ayo kita ngobrolin teater. Sampai berbusa. Jadi kentut.
Terus ada yang nyeletuk: teater kok diobrolin. Praktek dooong. Pentas.
Lalu saya bilang "om, tante, masih mending ada yang ngobrolin teater sampai berbusa dan jadi kentut. Tapi kentutnya bau teater. Daripada ga bisa kentut sama sekali, apalagi pentas?"



Senin, 15 Oktober 2007

Catatan Tambahan

>> Surat dari Abu Bakar di New York - USA <<


Untuk Tomo dr. Hewan.
(tambahan catatan terdahulu)

Berkait lomba drama di PSR itu ada lagi soal lain dan bahkan kunci yang kuanggap penting yaitu bahwa kala event itu berlangsung "sebenarnyalah" yang mereka tampilkan bukanlah hasil murni anak-anak SMP-SMA itu . Terlalu mudah untuk diketahui bahwa pelatih di sekolah anu si Utay. Pelatih di SMA B si Jaya, di SMA C Mas Rus, di D si Dadi dsb. Jadi gampangan ditarik kesimpulan bahwa potret drama PSR adalah potret kemampuan Utay-Jaya-Dadi-Mas Rus. Makanya berkait dengan kwalitas drama peserta PSR yang kau review itu sebenarnyalah kau-kita sedang mereview diri kita sendiri, mereview kemampuan teman-teman kita sediri yang kusebut sebagai "kakak-kakak" teater itu. Salah? Tentu tidak. Tetapi adanya keliaran identitas semu "kalau kau butuh orang teater hubungi saja kakak anu" adalah pemahanan gampangan yang dimiliki sekolah-sekolah itu. Dan sayang kekeliruan itupun mereka caplok. Kesusahan teater kita pada hematku berawal dari sini yang kemudian jadi tambah besar lagi oleh adanya resensi-resensi di media yang "maunya" mendidik tetapi hasilnya justru menyesatkan kayak yang dibuat haji Nur itu. Singkat kata yang perlu dididik teater di Bali bukanlah anak SMP-SMA itu tetapi Jajak-Utay-Dadi Resa itu karena merekalah yang selama ini jadi "kakak teater" di sekolah-sekolah itu.

Jika benar begitu bukankah itu berarti mengentengkan kemampuan teman-teman? Ya tidak. Sebagaimana hidup itu sendiri teater pun tak pernah berhenti. Kaseno boleh sakit tetapi pentas monolog jalan terus. Cok Lies pindah Jakarta tapi Dirah jalan terus. Pedagang Keliling mati tapi kau kan nggelinding terus. Bila kupakai kata "perlu dididik" karena ilmu dan pencariannya memang tak pernah berhenti. Maka saranku sebaiknya status prematur itu tundalah dulu. Saatnya akan tiba dimana label ketokohan itu (bila dipandang perlu) orang membawakannya untuk mereka, dan mereka haruslah segera menolaknya karena dikabarkan kebijaksanaan tertinggi pada manusia adalah saat seseorang mampu menghapus ketokohannya, jadi orang biasa sungguh biasa dengan kekayaan bathinnya. Tapi tiada henti terus memberi.

Apa bisa? Nah psykoligis lagi kebutuhannya.
Tapi kuduga dia jadi sebagian soal teater kita.

Salamku Abu.

Lebaran Kakak Teater

>>Surat dari Abu Bakar di USA<<


Tomo.
Karena kupikir kau Islam maka kepadamu ucapan Lebaran itu kukirim. Setidaknya dalam dugaanku kau bukan Hindhu bukan Kristiani apalagi Budha maka "gebyah uyah" meleset juga tak apa. Artinya melihat tingkah polahmu prosentase Atheis juga tinggi ada padamu, seperti aku. Jelas dari pengamatan Google Earth kurusmu tak terlihat di lapangan Puputan itu dalam jajaran mereka yang ikut solad Ied. Jadi sekali lagi selamat Lebaran maaf lahir bathin. Kepada teman-teman lain yang juga punya nama "bau-bau" aku minta maaf, sekalipun sejujurnya aku amat meragukan efektifitas greeting macam begitu. Khawatir jatuhnya cuman basa-basi. Sebab bertumpuk dan menggunungnya kesalahan dan kejahatanku tak bisa diselesaikan hanya dengan satu uluran tangan, tak selesai dengan seribu maaf seribu lebaran seribu bathin. (baca baik-baik nyelenehku ini. Saat beragama hanya jadi hiasan mulut belaka gitu kurang lebih hasilnya. Dan aku bagian dari kerusakan itu).

PSR.Tulisanmu tentang aktifitas teater di PSR itu aku baca. Bagus. Kau memang kakak yang baik, ngemong. Runut kau catat kegiatan demi kegiatan, waktu, nama grup, kekurangan dan keunggulan. Dan sebagai kakak yang baik pastilah macam basa-basi Lebaran di atas, dalam posisi "kakak" kepada mereka kau ucapkan selamat "jika adik-adik bisa bergiat terus, kakak yakin dalam waktu yang tak lama pulau kita ini akan jadi pulau teater."

Aku tak ikut tanggungjawab atas harapan besar itu. Harapan besar itu hanya ada dalam kepala pemimpi, pemimpi teater. Artinya begini. Teater dalam arti sebenarnya tak bisa direka begitu enteng atau sebaliknya dibuat seram sebagai sesuatu target yang sukar dicapai. Tetapi aku melihat kecendrungan formulasi (dan yang ini dibuat oleh generasi kalian para kakak-kakak anak-anak SMP-SMA itu) bahwa teater kita mengarah ke mimpi mereka, ke khayal mereka, kegagalan hidup mereka ke arah identitas ketokohan mereka. Mereka itu siapa maka bongkarlah isi kepala mereka, lihat isinya. Isi itulah yang mereka mainkan yang kita tonton yang tiada lain tiada bukan adalah wajah kemelaratan teater kegamangan teater "yang" tak mampu menggapai langit tapi berpijak di bumi pun tidak. Setidaknya kepada pak Bandem (untuk kebutuhan bukunya) yang kebetulan juga sedang berada di Massachusetts aku bilang begitu sekalipun tak persis begitu. Gemas dan putusasa itulah perasaanku tiap kali nonton pementasan kalian. Maka sungguh aku terheran-heran membaca tulisanmu yang mengesankan perkembangan teater remaja di Bali, baik-baik saja adanya bahkan sedang ngetrend ke arah kemajuan. Pemilihan naskahnya kek, kreatifitasnya kek, keberaniannya kek amat benderang. Artinya haruslah ditafsirkan bahwa bukanlah aku orang pertama yang berpendapat begitu. Sebabnya jelas basa-basi Lebaran itu punya nuansa juga untuk ...... nah macam Nuryana itulah contohnya.

Resensi-resensi teaternya selalu menampailkan wajah baik seorang kakak yang mendidik. Dia menghindari kata "buruk" sebab pilihan kata "ada harapan" lebih bersifat mendidik. "Gagal" belum berhasil, "kurus" belum gemuk. Hasilnya adalah duka nestapa kesesatan. Aku tidak. Buruk ya buruk. Gagal ya gagal, kurus ya kurang makan, begitu jelas "seharusnya" sikap yang kita pilih untuk membuat adik-adik kita tak tambah jadi tersesat. Kita boleh tak sependapat. Dan mungkin itu baik agar kompetisi pencarian bisa berlangsung terus.

Tetapi diluar penyakit identitas itu kapankah kita kau Hendra-Warih Jajak GM, Mas Rus, Cok Lies Andika P. Satria Nanoq dll. berhenti menjadi kakak capek muak sebagai kakek dan mengubah diri jadi ...... nah, kukira itu yang seharusnya kita buat. Saat kita masing-masing belum bisa membuktikan kebagusan teater kita, lalu hak apa yang kita punya "mengajari anak-anak sekolahan itu ABC-nya teater sementara yang menyelinap dalam diri kita adalah sekali lagi identitas diri?

Jelasnya basa-basi Lebaran itu lepaskan. Kalau perlu didorong ke neraka, dorong saja teater Bali masuk neraka. Posisi kakak copot, mulut kunci, mulailah merayap dari nol untuk teater kita. Itu lebih bagus ketimbang masturbasi kayak sekarang.

Sakitku ini silahkan upload ke Blog http://modernbalineseteater.blogspot.com/ kau punya. Siapa tahu amarah teater bisa kita mulai dari sini.

Selamat jadi dokter ayam Veterinary.
Hormatku padamu.
Abu.

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan