Membaca kembali komentar oleh Dayu Kinanti untuk tulisan "duuuh Lambatnya Koneksiku"
Lambat, renta, ngga berdaya.
Persis kayak nenek ato perempuan Jawa yang habis diperkosa.
Ngga ada yang bilang bahwa dia kehabisan tenaga, karena dia perempuan, maka wajar kalo dia ditakdirkan untuk tetap berjalan pelan.
Tapi apakah ini bukan perjalanan yang konstan?
Sebuah perjalan yang stabil, yang tetap dijaga iramanya agar dapat beraturan.
Tapi teater bukan sebuah koneksi.
teater hanya sebuah server yang menampung berbagai macam data yang diupload, dipampang, dan disombongkan oleh pelakunya.
[setelah itu -terkadang- dicampakkan]
Persis kayak cerita Perempuan Jawa yang telah lelah diperkosa.
Jangan berpikir ttg perawan, karena teater ternyata bukan perempuan. Dirias, dipercantiek , lalu dipersembahkan.
Koneksi hanyalah masalah kecepatan akses. Tapi yang lebih penting adalah user-nya.
Kalo belum butuh ngapain dipaksakan, tapi kalo udah perlu colong konesi itu meski harus pasang antena abal-abal.
kayak Kost-an mewah + fasilitas online.
Teater,
GILA!
Saya jadi berpikir, opini Dayu ada benarnya juga. Barangkali sekarang ini - dimana teater modern Bali lagi lambat - malah adalah sesuatu yang konstan. Lebih teratur. Beraturan.
Bila tiba-tiba di Denpasar setiap bulan ramai dengan pementasan-pementasan teater, bukankah itu malah mengganggu "kestabilan" teater modern Bali? Bukankah lebih nyaman seperti kondisi sekarang ini - tiga kali dalam setahun belum tentu ada pentas? Bukankah lebih asyik menunggu ada event baru bikin produksi?
Waaaaah....
(temen disampingku - oncep - menghela napas..ehm, hari gini kok masih ngomongin teater? trus kapan maennya?)
Tapi benarkah bahwa teater hanyalah sebuah server, yang dibikin untuk nampung data, diup load dan dipampang lalu dibanggakan oleh pelakunya?
Bila begitu adanya, sungguh luar biasa. Teater digunakan untuk menampung data-data memperbanyak isi curicullum vitae, bercerita kepada orang-orang bila dulu tahun anu saya pernah mentasin anu. Duluuu sekali.
Terus tiga tahun terakhir kemana aja om, tante? Lima tahun terakhir ngapain aja?
Benar juga kata temenku, si oncep, hari gini kok masih ngomongin teater. Ya udahlah biar aja. Lakuin aja apa yang masih bisa dilakuin. Yang masih bisa ngejaga latihan rutin, lakuin. Yang masih bisa produksi en pentas tunggal, lakuin. Yang masih bisa komentar, lakuin. Yang masih bisa nulis, tulisin. Yang masih bisa ngomong, ya ngomong aja.
Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com
Minggu, 28 Oktober 2007
ngomentari Komentar Dayu Kinanti
Diposting oleh
tomo
di
03.56
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blognya Sahabat
Aksi minimalis Blackfogs Andy Padang the motivator! aRya Gothic Ayip Matamera Bilal Furqoni Bintang Bermusik Bonekanya Dian Car Insurance Dedi Dolrosyed Craig Says Digital Polaroid Dr Dree Spesialis Mata Fanty as Drama Queen Free Tips for You Kata Heru Live lovenya Oecan love-dollar mas ncEp Mangkok Bali Mediax Yonas Sestrakresna the videomaker Tatiana Browniestone Rais Blajar Terus Slugger skater Satya Natherland Rumah Tulisan Plinplan n cute Penyair Wayan "Jenki" Sunarta Pak cik Teranung di Jiran Ratih Indrihapsari Dayu Cute Puisi Selaksa Jiwa Bams Rendesvouse Penyair Riki Damparan Putra Saichu Soulidaritas Dadap Blog Learning English Pojok Waroeng Kopi Tenggarong23 Etavasi Blogkita-Bandungblog Civil Engineering Bagus Batam Hidup Belajar Nara Chill Lounge Music Neo Kid on the Blog Love-sex and Marriage New Music Update Retchel 1980 Craig Says Marilyn Kate Soraya City Adek Campur Campur Pinay Mom in Czech Hideout Gateway Gles Moch Satrio Welang
Teater Topeng SMAN 2 Denpasar
Intan Ivanna John
Teater Rumput SMKN 1 Denpasar
Robby
1 komentar:
Mementaskan sesuatu yang Pantas
Makan bukan Nasi, Minum bukan air.
Jalan bukan kaki.
Ngga selalu seperti yang kita duga, meski terkadang otak selalu menghukum harus itu.
Kalo makan ya, harus nasi.....
kalu minum, harus air....
kalo jalan, harus kaki....
itulah hukum yang ada di otak kita, hukum sosial yang jika ketidakberterimaannya dipaksakan pada setiap individu, aku yakin tidak hanya aku bahkan kamu pun pasti akan menolaknya. Memberontaknya [i always hate using this word].
Kembali ke masalah logika formal tadi, aku coba mengatakan bahwa pentas bukan hanya teater [bukan berarti teater ngga penting].
Pentas bisa berarti lighting, bisa berarti properti, atau apa-saja yang aku kira kalian juga paham.
Nah, mungkin tajemnya gini [kayak pisau]
Pelaku teater bukan berarti aktor, tapi tukang dimmer, ato dekorator.
Kenapa begitu,
Dalam berbagai pentas teater apa yang selalu sama dan apa yang berbeda.
Setiap selesai pentas masalah konsep/naskah,aktor dan bentuk pertunjukkan itu sendiri yang selalu jadi perdebatan.
yang miris lagi ketika ditanya tentang properti dan setting panggung jawabannya selalu sama.
"Pentas kali ini dikonsep dalam bentuk minimalis, makanya properti dan latar yang ada ya seperti itu."
- Sungguh statement yang minimalis juga.-
Kayaknya tukang setting panggung dan dekorasi tidak pernah ada atau tidak diadakan dalam sebuah pentas teater.
jangan buru-2 menyanggah!
Siapa yang yang paling senang dan mengajukan diri untuk jadi tukang non-popular tersebut, kalo bukan Dedy DoelRosid (108) ama Elvis.
Padahal Kota aja butuh Dinas penerangan ama Dinas tata kota, masak teater ngga ada divisi tata lampu dan tata panggung yang statusnya disamakan dengan aktor protagonis ato sutradara.
Kalo pun diakui, paling2 namanya dicantumin dalam urutan yang paling buncit [tidak lupa] itupun kalo tukang ketiknya dia sendiri [dekorator ato Setting Panggung-er.]
N' last.
Kalo makan aja bukan nasi...
kalo minum aja bukan air....
kalo jalan aja bukan kaki...
kalo pentas aja bukan teater...
pasti pengamat juga belum tentu kritikus.
Teater,
SIAL!
Posting Komentar