Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Senin, 15 Oktober 2007

Catatan Tambahan

>> Surat dari Abu Bakar di New York - USA <<


Untuk Tomo dr. Hewan.
(tambahan catatan terdahulu)

Berkait lomba drama di PSR itu ada lagi soal lain dan bahkan kunci yang kuanggap penting yaitu bahwa kala event itu berlangsung "sebenarnyalah" yang mereka tampilkan bukanlah hasil murni anak-anak SMP-SMA itu . Terlalu mudah untuk diketahui bahwa pelatih di sekolah anu si Utay. Pelatih di SMA B si Jaya, di SMA C Mas Rus, di D si Dadi dsb. Jadi gampangan ditarik kesimpulan bahwa potret drama PSR adalah potret kemampuan Utay-Jaya-Dadi-Mas Rus. Makanya berkait dengan kwalitas drama peserta PSR yang kau review itu sebenarnyalah kau-kita sedang mereview diri kita sendiri, mereview kemampuan teman-teman kita sediri yang kusebut sebagai "kakak-kakak" teater itu. Salah? Tentu tidak. Tetapi adanya keliaran identitas semu "kalau kau butuh orang teater hubungi saja kakak anu" adalah pemahanan gampangan yang dimiliki sekolah-sekolah itu. Dan sayang kekeliruan itupun mereka caplok. Kesusahan teater kita pada hematku berawal dari sini yang kemudian jadi tambah besar lagi oleh adanya resensi-resensi di media yang "maunya" mendidik tetapi hasilnya justru menyesatkan kayak yang dibuat haji Nur itu. Singkat kata yang perlu dididik teater di Bali bukanlah anak SMP-SMA itu tetapi Jajak-Utay-Dadi Resa itu karena merekalah yang selama ini jadi "kakak teater" di sekolah-sekolah itu.

Jika benar begitu bukankah itu berarti mengentengkan kemampuan teman-teman? Ya tidak. Sebagaimana hidup itu sendiri teater pun tak pernah berhenti. Kaseno boleh sakit tetapi pentas monolog jalan terus. Cok Lies pindah Jakarta tapi Dirah jalan terus. Pedagang Keliling mati tapi kau kan nggelinding terus. Bila kupakai kata "perlu dididik" karena ilmu dan pencariannya memang tak pernah berhenti. Maka saranku sebaiknya status prematur itu tundalah dulu. Saatnya akan tiba dimana label ketokohan itu (bila dipandang perlu) orang membawakannya untuk mereka, dan mereka haruslah segera menolaknya karena dikabarkan kebijaksanaan tertinggi pada manusia adalah saat seseorang mampu menghapus ketokohannya, jadi orang biasa sungguh biasa dengan kekayaan bathinnya. Tapi tiada henti terus memberi.

Apa bisa? Nah psykoligis lagi kebutuhannya.
Tapi kuduga dia jadi sebagian soal teater kita.

Salamku Abu.

Tidak ada komentar:

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan