Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Rabu, 17 Oktober 2007

Lalu?

Disini sudah jam 2:50.

Saya malah tuli, tak mendengar kabar bila tanggal 13 November ada acara monolog. Setahu saya, bulan Desember emang ada event Gelar teater La Jose (Gatel) di sekolah Santo Josep.
Dadi sekarang lagi di Jakarta sampai taon depan, dulu dia yang menggawangi acara itu. Sekarang kayaknya Elvis. Sedang Andika sudah memutuskan untuk kuliah secara serius di Jogja. Dan Utay serta Jaya?..saya tak mendengar ada apa dengan mereka.

Tahun 2005.
Saat itu kepala taman budaya masih sangat terbuka bagi kegiatan teater dan sejenisnya. Maka kemudian dibikin acara-acara yang nyerempet dan berbau teater. Salah satunya Parade Seni Kontemporer. Terselip di dalamnya ada acara diskusi tentang teater kontemporer. Pembicaranya mr Dibya didampingi Juniartha sebagai Moderator.
Seru. Para peserta - yang semuanya adalah senior saya - nampak bernostalgia.
Sedang saya, yang paling kurus dan muda, saat itu ngomong di kesempatan yang paling akhir. Setelah hampir semua senior saya menyampaikan bla-bla nya.
Saya bilang saat itu: bahwa teater modern bali saat ini sebenarnya telah mati. Kenapa? sebab saya pikir, tak ada aktivitas rutin yang dilakukan oleh para penggiat teater. Semacam latihan rutin oleh masing-masing individu ataupun kelompok kek, ataupun pementasan-pementasan "mandiri" tanpa embel-embel "dalam rangka".
Bahwa ajang tahunan Pekan Seni Remaja bukanlah barometer perkembangan teater modern Bali. Bahwa pementasan tahunan Unit Kegiatan Mahasiswa Teater Orok Universitas Udayana bukanlah acuan perkembangan teater modern.
Bahwa acara rutin yang digelar teman-teman SMA dan Mahasiswa tetap "hanya" sebagai pemberi warna belaka. Lalu siapa yang mestinya diberi warna? Harusnya adalah para penggiat teater yang sudah basah di dunianya.
Toh, apa yang kemudian terjadi?
Reaksi individu.

Saya sepakat, bila semestinya kelompok teater non sekolah lebih giat pentas ataupun sekedar latihan rutin. Ataupun sekedar diskusi-diskusi ringan seputar teater. Saya sepakat bahwa teater takkan sekarat. Bahwa keberadaan "hidup ataupun matinya" teater bukanlah sebuah fenomena yang mesti dibesar-besarkan. Toh teater tidak pernah melonjak-lonjak minta disebut namanya. Lalu?

Sekarang keadaan telah berubah.
Kebijakan baru dari taman budaya adalah menutup gerbang taman budaya untuk aktivitas dari jam 20.00 hingga jam 06.00 pagi. Sehingga, kelelawar teater yang biasanya numpang latihan mesti dirombak total. Latihan ngga boleh lebih dari jam 20.00.
Barangkali koordinasi yang buruk - atau malah tak ada koordinasi - antara pekerja teater dengan instansi pemerintah yang menjadi salah satu faktornya. Latihan-latihan teater yang dilakukan di areal taman budaya sebagian besar tanpa pernah ada koordinasi dengan pihak taman budaya, itu keluhan yang sering dilontarkan pihak taman budaya. Boro-boro memberi surat mohon ijin tempat, ngomong perlisan bahwa ini dari kelompok ini mau latihan saja tak pernah.

Semestinya teater jalan terus.
Latihan jalan terus.
Latihan di gang, selokan, jembatan, pasar, panti pijat, lokalisasi, numpang di kampus, depan ruko, mall atau mau dimana?
Lalu yang jadi pertanyaannya: siapa yang mau latihan? siapa penggiat teater yang mempunyai kesadaran untuk menjaga latihan rutin?
Jangankan olah tubuh, vokal, ataupun rasa yang membutuhkan tenaga banyak. Sekedar untuk ngpbrolin teater saja kayaknya jarang. Masing-masing sibuk dengan anunya sendiri.

Ya sudah. Kalau tak mau latihan rutin yang bikin ngos-ngosan ayo kita ngobrolin teater. Sampai berbusa. Jadi kentut.
Terus ada yang nyeletuk: teater kok diobrolin. Praktek dooong. Pentas.
Lalu saya bilang "om, tante, masih mending ada yang ngobrolin teater sampai berbusa dan jadi kentut. Tapi kentutnya bau teater. Daripada ga bisa kentut sama sekali, apalagi pentas?"



2 komentar:

ira puspitaningsih mengatakan...

Lalu?

Memang sulit menciptakan iklim, kawan...

saya sendiri sering heran, kenapa pergulatan seni yang setiap jam saya temukan di Jogja ternyata sulit sekali dijumpai di Bali - Denpasar khususnya bahkan -, kalau ingin memelopori, nampaknya akan sia-sia saja kalau sendirian, iya kan?...

oya, saya jadi orang Jogja saja deh untuk sementara waktu, he he he...

salam,
komang ira

(saya jadi sering menggunakan nama Komang di Jogja. seolah tak ingin melepas ke-Bali-an saya. padahal saya orang Bali yang tak paham bali, sepaham-pahamnya, hiks..hiks..hiks...)

Anonim mengatakan...

teater bali... kenapa tidak melakukan percobaan bunuh diri saja...

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan