Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Rabu, 19 Desember 2007

Threesome* Estetis: Teater, Tari, dan Sulap (bag. 2)

>> Tulisan oleh Heru Gutomo <<

Sambungan



Dedy yang memiliki nama besar dalam jagat ilusi Indonesia, kenyataannya tak memiliki kemampuan dalam olah tubuh (tari). Kalaupun dia melakukannya, tak memberi nilai estetis lebih pada pertunjukannya. Demikian halnya Romy, tak jauh berbeda. Damien, yang terang-terangan mengaku menduplikasi total gaya David kenyataannya lemah baik dalam bidang tari maupun teater. Padahal ia menyebut gaya pertunjukannya adalah sulap teatrikal. Damien tak mampu mengolah dengan baik antara alur cerita, penokohan, dan karakter yang harus dibangun. Pada tari, ia nampak begitu lemah karena tubuhnya tak mampu berbicara. Hanya mata yang nampak ia tekan maksimal untuk membangun karakter. Sayang, usaha ini pun sering gagal. Dalam pertunjukannya, Damien memiliki penari khusus. Ya namanya penari, tentu gerakannya begitu indah. Tapi, ketika Damien masuk dalam cerita, justru tarian dari penari menjadi tidak indah lagi. Di titik ini, karena tidak menarik lagi maka boleh mengalihkan perhatian sebentar, sambil menunggu ilusi apa yang menjadi eksekusi. Secara teatrikal dan tari, menurut saya, ketiga pesulap kita gagal!

Kelemahan ini menunjukkan diskriminasi dalam threesome yang mereka mainkan. Jika David mampu menggabungkan ketiganya. Mampu memberikan porsi yang seimbang antara tari, teater dan sulap menjadi satu kesatuan pertunjukkan. Tidak demikian dengan ketiga ilusionis Indonesia. Bahwa mereka berangkat dari sulap, ternyata menjadikan porsi estetis yang tidak seimbang. Bahwa parameter keberhasilan pertunjukkan nampaknya sebatas pada bagian melakukan trik ilusi. Sementara yang lain hanya pelengkap.

Sementara dalam pertunjukkan David Copperfield keberhasilan pertunjukkan adalah gabungan ketiganya. Baik unsur tari, haruslah benar-benar menari. Unsur teater adalah benar-benar mengolah cerita, tokoh, maupun karakter. Dan unsur ilusi yang membuat penonton berdecak kagum. Dan ini tidak dilakukan para ilusionis Indonesia.

Saat menyaksikan penampilan teatrikal ala Damien di KickAndy, pikiran usil saya pun tiba-tiba bekerja. Bahwa sering para pesulap berusaha menjadikan teater dan tari dalam pertunjukkan mereka. Gagal sih, tapi setidaknya mereka sudah mencoba. Namun saya belum melihat ada orang yang berangkat dari dunia tari, kemudian menjadikan teater dan sulap sebagai pelengkap pertunjukkan. Dari kelompok teater pun demikian (sepanjang yang saya pernah saksikan, dan saya tau), belum ada pesulap yang mengaku bahwa sebenarnya dia awalnya adalah pemain teater. Ya, pada titik ini para pesulap sudah mendahului ide threesome ini. Sementara respon yang datang dari kelompok tari dan teater umumnya terhadap pentas threesome dari pesulap adalah kritik negatif. Padahal, bukankah iri tanda tak mampu?

Maaf kalau saya semena-mena memasukkan sulap sebagai bagian seni pertunjukkan. Karena bagi saya sebuah pertunjukkan sulap tanpa menyertakan wilayah estetis tak akan menarik untuk dinikmati. Kesannya pun garing, layaknya menyaksikan orang yang baru belajar. Sayangnya, sulap di Indonesia belum dimasukkan sebagai bagian dari pendidikan akademis. Padahal, sebagaimana kita tahu Romy Raffael menghabiskan waktu studi magister sulap genre ilusi-hipnosis selama 2 tahun di Amerika. Ia pun kerap bertutur bahwa sulap sudah menjadi bagian akademis layaknya studi keilmuan lain. Kenyataan sejarah pun membuktikan bahwa keberadaan sulap telah ada begitu lama. Yang tentunya telah melahirkan berbagai macam teori, ideologi, dan berbagai macam genre dalam dunia sulap sendiri.

Saya pun tinggal menunggu waktu. Tetap ada dalam keinginan bahwa ada orang-orang yang ber-threesome semacam ini. Namun mereka berangkat dari dunia teater, ataupun dari dunia tari. Pasti akan menjadi seru, bahwa David Coperfield ala Indonesia ternyata asal muasalnya adalah aktivis teater,hehehe... Namanya juga ngayal!(*)

*Threesome dalam makna umum diartikan sebagai kegiatan persetubuhan yang dilakukan 3 orang dalam waktu bersamaan. Disini saya mengambil istilah threesome untuk menunjuk pada persetubuhan antara teater, tari dan sulap.

HABIS


--------------------------------------------------
Klik di http://kataheru.blogspot.com
--------------------------------------------------


4 komentar:

Unknown mengatakan...

Ide kreatifnya menarik untuk dikembangkan. Semoga teater akan menjadi suguhan yang populer, semakin meng-idol.
Soal threesome, menurut saya teater harus mengakomodir dan memainkan tiga karakter dalam pementasaanya;
karakter pelaku, karakter penonton, dan kritikusnya.
Mungkin ngga ketiganya bermain mesra dalam ranjang malam pertama?

heru gutomo mengatakan...

"teater harus mengakomodir dan memainkan tiga karakter dalam pementasaanya; karakter pelaku, karakter penonton, dan kritikusnya"

menurut saya mungkin saja. yang sulit kan bagian penonton dan kritikus menjadi satu dengan pementasannya. salah satunya mengidentifikasi dinamika penonton dan kritikus dalam pementasan. dinamika penonton dan kritikus itu yang dimaksimalkan atau dipaksa agar muncul dalam sebuah pementasan. gitu kali ya? maklum, saya cuma bagian dari penonton, hehehe...

tapi kalo cuma malam pertama, malam selanjutnya gimana dong? masak gak mungkin threesome lagi? hehehe...

tomo mengatakan...

mas heru..naaah ini masalahnya: penonton, pelaku dan kritikus...
1. mengelola penonton
2. mental pelaku teater
3. wanted! kritikus teater..
hayooo...

heru gutomo mengatakan...

3. wanted! kritikus teater..
hayooo...


wah, kayaknya sulit aku menjadi bagian itu, hahaha....!!! wong teater masih menjadi hiburan sekaligus tempat ketemu temen buatku.

hmm, kalo kritikus teater gak ada. kayaknya orang ISI dan sejenisnya harus bertanggung jawab. percuma sekolah seni tapi cuma menghasilkan tukang seni... hehehe...
bukan begitu?

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan