>> Dituliskan oleh Wiwit "Kethel" Subekti <<
Bukanlah sebuah rahasia umum bahwa setiap pertunjukan Creamer Box selalu menjadi penantian yang sangat berarti bagi insan teater
Nama Creamer Box terkenal dengan kekhasannya dalam "mencabik-cabik naskah".
Kali ini mereka mementaskan "Anjing Kudisan" naskah karya Jacob Sumardjo. Yang bercerita tentang perselingkuhan. Bagi siapa saja yang berselingkuh tak ada bedanya dengan anjing kudisan yang memburu dan mengumbar nafsu mereka.
Sebuah kesempatan yang istimewa, kami dapat berdiskusi ngalor-ngidul dengan Bob Teguh, sutradara dari Creamer Bob, eh sorry Creamer box.
Diskusi eklusif kami dengan Creamer Box
Bob Teguh : sutradara Creamer box
Giri Ratomo (Tombro) : pegiat teater bali, Kelompok Satu Kosong Delapan
Maulana Putra Dandiasri (Dias) : pegiat teater Topeng (SMUN 2)
Harris Lawera : mantan ketua dari teater Orok Universitas Udayana
Febrian Niko (Bajuri) : sama kaya Harris
Nur Setyanto : pegiat teater Bali
Wiwit Subekti (Ketel) : notulensi dan teman dari mereka semua.
Tombro :
Bung Bob, melihat
Bob :
Para pemain kami tidak ada yang kami asuransikan. Berbicara tentang proses latihan, mmm (sembari berfikir dengan menggerakan jarinya satu persatu) kami latihan setiap hari yah, namun dalam proses anjing kudisan ini kurang lebih enam bulan.
Untuk masalah latihan mungkin kita semua sama, seperti latihan vocal, gesture, bloking, dan lain sebagainya. Namun tuntutan akrobatif itulah yang membuat kami lebih keras lagi dalam berlatihan. Dan yang penting jangan sampai takut, kita harus berani sakit.
Pada awalnya Anjing Kudisan ini ingin dimainkan dengan 15 orang, namun pada kenyataannya banyak dari mereka yang tidak bisa pentas karena banyak dari mereka yang dfapat dikatakan cedera, jadi yang dapat bertahanlah yang kami bawa ke Bali dan memenuhi undangan GATEL, sekalian reunian dengan tombro, he he he.
Audiens :
wow …….
Tombro :
Saya dengar Creamer Box selain dapat dibilang latihannya berdarah-darah, juga sangat disiplin. Bagaimana itu Bob?
Bob :
Bagi saya teater adalah sebuah pilihan, yang pasti di dalamnya ada konsekuensi yang akan kita alami, untuk itu kita harus berani menghadapinya. Pementasan teater adalah sebuah tropy yang harus kita raih, maka dari itu ya kita harus maksimal melakukannya dan yang penting penonton dapat berkomunikasi dengan kita.
Dias :
Mengapa mas Bob memilih naskah Anjing Kudisan, sedang setahu saya banyak naskah perselingkuhan yang ditulis oleh sastrawan lainnya?
Bob :
Saya memilih naskah Anjing Kudisan karya Yacob Sumardjo karena latar belakang penulisnya, beliau adalah seorang yang sangat religius ( katolik ), saya tertarik karena sangat ingin mengetahui perselingkuhan dari perspektif katolik, secara sekarang banyak orang yang melihat perselingkuhan dari kaca mata gender. Terlebih lagi ketika naskah ini ditulis dari sudut empirik, selain itu beliau pun melakukan riset di masyarakat. Disinilah letak ketertarikan saya untuk mengeksplor karya tersebut.
Tombro :
Dari pementasan Creamer Box yang sudah-sudah, saya melihat ada pergeseran. Bob sekarang tidak seperti Bob yang dulu, yang senantiasa absurd dengan
Bob :
Yang pasti saya akan menggarap naskah realis, mungkin ini dapat disebut masa transisi saya.
Tanpa meninggalkan estetika seni. ( loh kok jadi serius, sih)
Harris :
Setiap seniman khan harus mempunyai cirri khas, tapi Bob malah ingin bergeser memainkan realis, lalu bagaimana menanggapi hal tersebut ?
Bob :
Bagi saya hal tidak berlaku, ( tarik nafas, sembari mengatur posisi dan lalu) jangan mencari ciri khas, saya pun pernah menggarap naskah Blessak, yang mainnya di dalam bak besar yang berisi lumpur, tanpa ada akrobatnya. Dan bagi saya, kita harus mengeksplor naskah walaupun bermain secara akrobatik namun simbol-simbol yang dilahirkan mengenai essensi dari naskah.
Nah, mengenai ciri khas tadi, biarkanlah penonton yang menilai kita dan menginterpretasi permainan kita.
Tombro :
Apapun bentuk yang akan dimainkan, yang pasti, tetep Creamer Bob khan? ( dengan
Audiens meresponnya dengan tertawa, walau ada yang tertawa dengan malu-malu hingga ( titttttttttttttttt, sori disensor)
Ketel :
Melihat pementasan-pementasan Creamer Box yang sangat akrobatik. Apa yang menjadi latar belakang untuk tetap menggunakan
Bob :
Pertunjukan sarat akan akrobatik mungkin bukan hal yang baru, tahun 60-an pertunjukan seperti itu sangatlah lumrah. Senior saya sendiri, Dindon namanya (teater Kubur -red), pementasannya selalu akrobatik. Hal ini dikenal dengan kesenian lqes. Dan hal ini membuat saya dekat dengan penonton saya.
Ketel :
Melihat keliar dari
Bob :
Saya sangat kental dengan idiom tradisi, sebab di
Seperti pada waktu itu kami adakan Creamer Box ketuk rumah, dimana kami bertamu ke rumah para seniman, disana kami pentas, kita pentas diruang tamunya. Hal ini berlangsung di beberapa rumah seniman senior seperti Sarwoko.
Kami ingin memasyarakatkan teater, dimana kita akan menumbuhkan apresiator-apresiator. Dan keberhasilan sebuah pertunjukan tidak terlepas pada kreatornya, namun pada apresiatornya dimana didalamnya terdapat kritikus, penikmatnya.
Saya tidaklah terlalu dibebani oleh aksesoris panggung seperti lampu property lainya, bagi saya pertunjukan seni akan berlangsung ketika ada karya seni, creator dan penikmatnya, sedang untuk masalah panggung dimana saja dapat dijadikan panggung.
Disini yang saya ingin tegaskan adalah bagaimana menumbuhkan para apresiator, khususnya kritikus seni yang berfungsi untuk memberikan sebuah batasan-batasan terhadap seni, hal ini terlihat karena perkembangan seni pertunjukan, dan keliaran dari sang kreator yang pada akhirnya terjadi kompleksitas dalampertunjukan seni teater tersebut. Atau dapat dikatakan over lapping. He he he. Yang kami inginkan adalah terjadinya sebuah sinergitas antara kreator dan apresiatornya.
Ketel :
Satu sisi tentang keekslusifan teater, di sisi lain terdapat televisi yang memberikan sajian lain dan lebih berkembang. Lalu bagaimana menanggapi hal ini seiring tujuan Bob memasyarakatkan teater?
Bob :
Bagi saya televisi adalah ruang seni yang lain, pementasan drama yang ada didalamnya telah masuk dalam kaidah-kaidah film, dimana mereka harus mencari angel gambar, artistic, lighting. Secara sepentas memang sama namun mereka mempunyai permainan sendiri.
Sekarang yang kita harus pikirkan bagaimana teater dapat seperti sinetron atau film yang ditayangkan televisi.
Audien tersenyum, lalu saling tengok sesamanya dengan muka tak bersalah, he he he.
(oke kita teruskan lanjut bob)
Audien tersentak tertawa lepas
Drama dalam bahasa Yunaninya adalah Draum yakni erangan ataupun longlongan anjing pada malam hari, saya berpendapat bahwa yang dihasilkan dari drama adalah suasana, maka dari itu saya berpikir kita mengadakan pementasan yang saya cari adalah suasana, nah balik lagi mengenai tradisi tadi, saya ingin mengajak semua elemen yang ada dalam pementasa pada suasana yang nyaman, terlepas naskah yang dibawakannya sangat sedih, atau keji sekalipun. Yang penting mereka nyaman dengan pementasannya yang dipertunjukkan.
Melihat muka peserta sudah mulai serius berlipet-lipet, tombro pun nyeletuk, “ yang pasti tetep creamer bob” ( suasana serius berubah menjadi gambleh kembali).
Nur :
Menyambung diskusi ini, tadi Bob mengatakan bahwa teater berlaku untuk semua orang, denger-denger Bob pernah bermain bareng dengan temen-temen dari Sekolah Luar Biasa. Bis a diceritakan sedikit tentang prosesnya?
Bob :
Banyak juga boleh, Ok.
Nur :
Lalu dengan orang yang cacat, bagaimana ceritanya?
Bob :
Pada waktu itu saya bekerjasamadengan teman-teman dari teater tutur Lampung menggarap naskah “Sangkuriang”. Pada awalnya kami ingin mengajak teman-teman dari tuna rungu, namun realitanya berkata lain banyak dari temen-temen yang terkena polio, CP yang tertarik pada kami, setelah prosese latihan kami anggap selesai maka saatnya dipentaskanlah naskah tersebut, para penonton yang dating berharap cemas dengan sang tokoh sangkuriang yang harus menendang perahu tersebut, namun hal itu dapat diselesaikan dengan bantuan dua crew kami yang bernama Gepeng (SE Dewantoro -red)dan Yonas Sestrakresna yang membantunya menggendong sang tokoh tersebut lalu sang tokoh dapat menendang perahu tersebut. Semua penonton pada kaget dengan hal itu,
“Sory, minum lagi”, ujar Bob
Cita-cita saya proses bareng dengan teman-teman tuna rungu pun terkabulkan, pada waktu itu saya dibantu oleh Joned Suryatmoko (teater Gardanalla Jogjakarta -red) untuk menggarap naskah “ Nyai Rambut Kasih”. Pada saat itu kami tidak menggunakan naskah, kami lebih fokus pada keseharian mereka, dan kami membuat kesepakatan bersama dalam pementasan. Konsep yang saya tiru adalah konsep film bisu, dimana tidak ada teks dan bahasa isyarat, yang ada adalah sebuah kesepakatan, pemindahan keseharian mereka kedalam panggung. Mereka dalam adegan-adegan ternyata menghitung sendiri dengan ketukan dalam hatinya, hingga pementasan berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Hal serupa juga saya alami dengan teman-teman tuna netra. Pada waktu itu saya namakan sebagai "drama suara”. Saya mementaskan tentang sebuah aktifitas keseharian mereka dalam satu hari. Pada waktu masuk SLB A (sekolah Luar Biasa untuk tuna netra)
Karena waktu yang terbatas, sebab masih harus setting panggung untuk pementasan teater keesokan hari dan Bob bersama pemainnya pun harus istirahat maka diskusi dihentikan, dan ternyata memang pada waktu itu sudah pagi, sekitar jam 3 : 00 WITA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar