Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Jumat, 14 Desember 2007

Wawancara Ekslusive dengan Bob Teguh

>> Dituliskan oleh Wiwit "Kethel" Subekti <<

email penulis: sasi_ireng@yahoo.co.id


Bukanlah sebuah rahasia umum bahwa setiap pertunjukan Creamer Box selalu menjadi penantian yang sangat berarti bagi insan teater Indonesia khususnya Bali, sebagai pulau yang penuh ekspresi. Tak jarang dari mereka harus merelakan aktivitasnya hanya untuk menonton pertunjukan Creamer Box, setelah itu tau sendirilah, sang sutradara Bob Teguh dan bersama dengan para pemainnya harus rela berpose di tengah ribuan jepretan cahaya blitz yang siap menghujaninya. Tak jarang mereka pun mesti membayar mahal tukang pijit untuk memulihkan otot yang tegang akibat tuntutan menandatangani ribuan tanda tangan dari penggemar berat hingga yang enteng.

Nama Creamer Box terkenal dengan kekhasannya dalam "mencabik-cabik naskah". Gaya akrobatik yang acap memukau penonton, membawa penonton untuk senantiasa dalam posisi tegang dengan mata terbelalak dan mulut yang enggan menutup. Dalam pementasannya Creamer Box sangat simple; mereka tidak terlalu memusingkan panggung, maupun aksesoris pementasan lainnya.

Kali ini mereka mementaskan "Anjing Kudisan" naskah karya Jacob Sumardjo. Yang bercerita tentang perselingkuhan. Bagi siapa saja yang berselingkuh tak ada bedanya dengan anjing kudisan yang memburu dan mengumbar nafsu mereka.


Sebuah kesempatan yang istimewa, kami dapat berdiskusi ngalor-ngidul dengan Bob Teguh, sutradara dari Creamer Bob, eh sorry Creamer box.

Diskusi eklusif kami dengan Creamer Box

Bob Teguh : sutradara Creamer box

Giri Ratomo (Tombro) : pegiat teater bali, Kelompok Satu Kosong Delapan

Maulana Putra Dandiasri (Dias) : pegiat teater Topeng (SMUN 2)

Harris Lawera : mantan ketua dari teater Orok Universitas Udayana

Febrian Niko (Bajuri) : sama kaya Harris

Nur Setyanto : pegiat teater Bali

Wiwit Subekti (Ketel) : notulensi dan teman dari mereka semua.


Tombro
:
Bung Bob, melihat gaya pertunjukan yang sangat akrobatis dan aktraktif, apakah para pemainmu diasuransikan? Trus berapa lama proses latihan naskah anjing kudisan tersebut?


Bob
:
Para pemain kami tidak ada yang kami asuransikan. Berbicara tentang proses latihan, mmm (sembari berfikir dengan menggerakan jarinya satu persatu) kami latihan setiap hari yah, namun dalam proses anjing kudisan ini kurang lebih enam bulan.


Untuk masalah latihan mungkin kita semua sama, seperti latihan vocal, gesture, bloking, dan lain sebagainya. Namun tuntutan akrobatif itulah yang membuat kami lebih keras lagi dalam berlatihan. Dan yang penting jangan sampai takut, kita harus berani sakit.


Pada awalnya Anjing Kudisan ini ingin dimainkan dengan 15 orang, namun pada kenyataannya banyak dari mereka yang tidak bisa pentas karena banyak dari mereka yang dfapat dikatakan cedera, jadi yang dapat bertahanlah yang kami bawa ke Bali dan memenuhi undangan GATEL, sekalian reunian dengan tombro, he he he.

Audiens :

wow …….

Tombro :

Saya dengar Creamer Box selain dapat dibilang latihannya berdarah-darah, juga sangat disiplin. Bagaimana itu Bob?

Bob :

Bagi saya teater adalah sebuah pilihan, yang pasti di dalamnya ada konsekuensi yang akan kita alami, untuk itu kita harus berani menghadapinya. Pementasan teater adalah sebuah tropy yang harus kita raih, maka dari itu ya kita harus maksimal melakukannya dan yang penting penonton dapat berkomunikasi dengan kita.

Dias :

Mengapa mas Bob memilih naskah Anjing Kudisan, sedang setahu saya banyak naskah perselingkuhan yang ditulis oleh sastrawan lainnya?

Bob :

Saya memilih naskah Anjing Kudisan karya Yacob Sumardjo karena latar belakang penulisnya, beliau adalah seorang yang sangat religius ( katolik ), saya tertarik karena sangat ingin mengetahui perselingkuhan dari perspektif katolik, secara sekarang banyak orang yang melihat perselingkuhan dari kaca mata gender. Terlebih lagi ketika naskah ini ditulis dari sudut empirik, selain itu beliau pun melakukan riset di masyarakat. Disinilah letak ketertarikan saya untuk mengeksplor karya tersebut.


Tombro
:

Dari pementasan Creamer Box yang sudah-sudah, saya melihat ada pergeseran. Bob sekarang tidak seperti Bob yang dulu, yang senantiasa absurd dengan gaya aktaktifnya ? apakah itu termasuk kompromi bob dengan naskah atau apa?

Bob :

Yang pasti saya akan menggarap naskah realis, mungkin ini dapat disebut masa transisi saya. Ada banyak faktor yang belakangan ini memenuhi kegelisahan saya, hingga tertarik untuk menggarap realis. Saya juga kini mulai menghitung stamina pemain, dengan gaya akrobatik tersebut. Ke depan saya akan konsen dengan durasi permainan yang cukup, sekitar 45 menit. Di sisi lain dengan waktu segitu, saya yakin permainan akan maksimal. He heh he
Tanpa meninggalkan estetika seni. ( loh kok jadi serius, sih)


Harris :

Setiap seniman khan harus mempunyai cirri khas, tapi Bob malah ingin bergeser memainkan realis, lalu bagaimana menanggapi hal tersebut ?


Bob :
Bagi saya hal tidak berlaku, ( tarik nafas, sembari mengatur posisi dan lalu) jangan mencari ciri khas, saya pun pernah menggarap naskah Blessak, yang mainnya di dalam bak besar yang berisi lumpur, tanpa ada akrobatnya. Dan bagi saya, kita harus mengeksplor naskah walaupun bermain secara akrobatik namun simbol-simbol yang dilahirkan mengenai essensi dari naskah.
Nah, mengenai ciri khas tadi, biarkanlah penonton yang menilai kita dan menginterpretasi permainan kita.


Tombro :

Apapun bentuk yang akan dimainkan, yang pasti, tetep Creamer Bob khan? ( dengan gaya ngegamblehnya)


Audiens meresponnya dengan tertawa, walau ada yang tertawa dengan malu-malu hingga ( titttttttttttttttt, sori disensor)


Ketel :

Melihat pementasan-pementasan Creamer Box yang sangat akrobatik. Apa yang menjadi latar belakang untuk tetap menggunakan gaya tersebut?


Bob :

Pertunjukan sarat akan akrobatik mungkin bukan hal yang baru, tahun 60-an pertunjukan seperti itu sangatlah lumrah. Senior saya sendiri, Dindon namanya (teater Kubur -red), pementasannya selalu akrobatik. Hal ini dikenal dengan kesenian lqes. Dan hal ini membuat saya dekat dengan penonton saya.


Ketel :

Melihat keliar dari gaya akrobatik pementasan Bob, saya teringat akan pertunjukan embleg (kuda lumping) dimana mereka sangat dekat dengan penontonnya, bahkan sangat simple sekali, dan hal itu sangat menarik dapat berkomunikasi dengan penontonnya, terlepas “seni tersebut dijadikan sebagai alat”. Apakah mungkin pementasan Bob pun di ilhami oleh itu? (ce, ilah. pertanyaannya sok gawat)


Bob
:
Saya sangat kental dengan idiom tradisi, sebab di sana terdapat kemerdekaan, kemerdekaan pemainnya dalam mengeksplor estetika seni , penontonnya merdeka dengan segala pilihannya, seperti mereka menonton dengan tiada beban, tidak ada jarak antara penonton dan pemain. Lalu dengan berkembangnya paradigma kesenian maka semua itu hilang, dengan aturan yang harus diperhatikan. Hal inilah yang pada akhirnya teater sebagai seni pertunjukan menjadi sangat eksklusif.


Seperti pada waktu itu kami adakan Creamer Box ketuk rumah, dimana kami bertamu ke rumah para seniman, disana kami pentas, kita pentas diruang tamunya. Hal ini berlangsung di beberapa rumah seniman senior seperti Sarwoko.


Kami ingin memasyarakatkan teater, dimana kita akan menumbuhkan apresiator-apresiator. Dan keberhasilan sebuah pertunjukan tidak terlepas pada kreatornya, namun pada apresiatornya dimana didalamnya terdapat kritikus, penikmatnya.


Saya tidaklah terlalu dibebani oleh aksesoris panggung seperti lampu property lainya, bagi saya pertunjukan seni akan berlangsung ketika ada karya seni, creator dan penikmatnya, sedang untuk masalah panggung dimana saja dapat dijadikan panggung.


Disini yang saya ingin tegaskan adalah bagaimana menumbuhkan para apresiator, khususnya kritikus seni yang berfungsi untuk memberikan sebuah batasan-batasan terhadap seni, hal ini terlihat karena perkembangan seni pertunjukan, dan keliaran dari sang kreator yang pada akhirnya terjadi kompleksitas dalampertunjukan seni teater tersebut. Atau dapat dikatakan over lapping. He he he. Yang kami inginkan adalah terjadinya sebuah sinergitas antara kreator dan apresiatornya.


Ketel :

Satu sisi tentang keekslusifan teater, di sisi lain terdapat televisi yang memberikan sajian lain dan lebih berkembang. Lalu bagaimana menanggapi hal ini seiring tujuan Bob memasyarakatkan teater?


Bob :

Bagi saya televisi adalah ruang seni yang lain, pementasan drama yang ada didalamnya telah masuk dalam kaidah-kaidah film, dimana mereka harus mencari angel gambar, artistic, lighting. Secara sepentas memang sama namun mereka mempunyai permainan sendiri.


Sekarang yang kita harus pikirkan bagaimana teater dapat seperti sinetron atau film yang ditayangkan televisi. Para apresiatornya begitu merdeka, mereka dapat menonton sinetron atau film dengan nyaman, dan terbawa suasananya. Secara jarak mereka sangat jauh namun televise membuat mereka begitu dekat. Siapa saja dapat mengapresiasikannya. ( sebentar saya minum dulu, tak lama kemudian ada panggilan masuk di handphone-nya, “ maaf temen-temen dari nyonya” ujar bob dengan sedikit tersipu malu)

Audien tersenyum, lalu saling tengok sesamanya dengan muka tak bersalah, he he he.

(oke kita teruskan lanjut bob)



Dahulu teater menjadi idola masyarakat dimana setiap pementasannya sangat ditunggu, hal ini tidak dapat dilepaskan dari situasi politik, sebab teater dijadikan sebagai alat kampanye untuk menyuarakan aspirasi masyarakat, bahkan kedekatan teater bukan hanya pada masyarakat namun juga banyak dari elit politik yang pada waktu itu mensupport dan mendanai pementasannya. Nah terlepas dari sikon politik kita harus tetap menjadi idola masyarakat, jangan sampai kedekatan kepada masyarakat harus luntur oleh aturan-aturan yang secara tidak langsung membawa kita pada menara gading ( sudah sok politis belum, seperti para juru kampanye)


Audien tersentak tertawa lepas


Drama dalam bahasa Yunaninya adalah Draum yakni erangan ataupun longlongan anjing pada malam hari, saya berpendapat bahwa yang dihasilkan dari drama adalah suasana, maka dari itu saya berpikir kita mengadakan pementasan yang saya cari adalah suasana, nah balik lagi mengenai tradisi tadi, saya ingin mengajak semua elemen yang ada dalam pementasa pada suasana yang nyaman, terlepas naskah yang dibawakannya sangat sedih, atau keji sekalipun. Yang penting mereka nyaman dengan pementasannya yang dipertunjukkan.

Melihat muka peserta sudah mulai serius berlipet-lipet, tombro pun nyeletuk, “ yang pasti tetep creamer bob” ( suasana serius berubah menjadi gambleh kembali).

Nur :

Menyambung diskusi ini, tadi Bob mengatakan bahwa teater berlaku untuk semua orang, denger-denger Bob pernah bermain bareng dengan temen-temen dari Sekolah Luar Biasa. Bis a diceritakan sedikit tentang prosesnya?


Bob :

Banyak juga boleh, Ok. Ada beberapa pementasan saya dengan teten-temen penyandang cacat dan juga dengan pasien dari Rumah Sakit Jiwa Bandung. Pada waktu itu saya harus riset dan mengklasifikasikan mereka, seperti orang gila dan orang sakit jiwa. Orang gila dapat disembuhkan secara medis, namun orang sakit jiwa dapat disembuhkan oleh terapis teater dengan mengikuti proses latihan teater. Pada waktu orang yang sakit jiwa ada sekitar 15 orang yang saya tangani tuk berproses bareng, lalu dua dari mereka sembuh, namun, satu dari mereka harus mengalah dengan takdir, ia meninggal dunia, entah itu faktor apa yang menjadi penyebabnya. Berproses dengan mereka sangat menyenangkan. Dari saya sendiri punya keyakinan bahwa orang sakit jiwa adalah psikologisnya yang terganggu dengan berkomunikasi dengannya secara intensif pada saat latihan akhirnya mereka dapat menerima kembali kenyataan dan mulai membuka lembaran baru dalam kehidupannya. Memang saya akui 13 orang lainnya stamina menurun dan pada akhirnya mereka tidak lagi berproses bareng dengan kita.

Nur :

Lalu dengan orang yang cacat, bagaimana ceritanya?


Bob :

Pada waktu itu saya bekerjasamadengan teman-teman dari teater tutur Lampung menggarap naskah “Sangkuriang”. Pada awalnya kami ingin mengajak teman-teman dari tuna rungu, namun realitanya berkata lain banyak dari temen-temen yang terkena polio, CP yang tertarik pada kami, setelah prosese latihan kami anggap selesai maka saatnya dipentaskanlah naskah tersebut, para penonton yang dating berharap cemas dengan sang tokoh sangkuriang yang harus menendang perahu tersebut, namun hal itu dapat diselesaikan dengan bantuan dua crew kami yang bernama Gepeng (SE Dewantoro -red)dan Yonas Sestrakresna yang membantunya menggendong sang tokoh tersebut lalu sang tokoh dapat menendang perahu tersebut. Semua penonton pada kaget dengan hal itu,


“Sory, minum lagi”, ujar Bob


Cita-cita saya proses bareng dengan teman-teman tuna rungu pun terkabulkan, pada waktu itu saya dibantu oleh Joned Suryatmoko (teater Gardanalla Jogjakarta -red) untuk menggarap naskah “ Nyai Rambut Kasih”. Pada saat itu kami tidak menggunakan naskah, kami lebih fokus pada keseharian mereka, dan kami membuat kesepakatan bersama dalam pementasan. Konsep yang saya tiru adalah konsep film bisu, dimana tidak ada teks dan bahasa isyarat, yang ada adalah sebuah kesepakatan, pemindahan keseharian mereka kedalam panggung. Mereka dalam adegan-adegan ternyata menghitung sendiri dengan ketukan dalam hatinya, hingga pementasan berjalan dengan sebagaimana mestinya.


Hal serupa juga saya alami dengan teman-teman tuna netra. Pada waktu itu saya namakan sebagai "drama suara”. Saya mementaskan tentang sebuah aktifitas keseharian mereka dalam satu hari. Pada waktu masuk SLB A (sekolah Luar Biasa untuk tuna netra) Bandung, saya heran sebab semua dari mereka melakukan aktivitas keseharian sama dengan kita, mereka menontron televisi, main catur, main gaple, dan lain sebagainya. Pada akhirnya saya menemukan sebuah formula untuk melibatkan mereka dalam pementasan teater. Dalam pementasannya mereka mengandalkan pendengaran dan daya ingatnya yang sangat luar biasa. Pementasan pada waktu itu di dalam gedung, tanpa lighting yang ada hanya sebuah suara kentongan, suara kokok ayam, suara air mendidih, suara siaran televisi tentang pertanian pada pagi hari, suara angin sawah yang sepoi, dan keramaian sawah, suara adzan, suara keramaian anak-anak dan suara lainnya yang menjadi sebuah penanda dari keseharian mereka. dari sinilah saya meyakini bahwa teater adalah atmosfir, sebuah suasana


Karena waktu yang terbatas, sebab masih harus setting panggung untuk pementasan teater keesokan hari dan Bob bersama pemainnya pun harus istirahat maka diskusi dihentikan, dan ternyata memang pada waktu itu sudah pagi, sekitar jam 3 : 00 WITA.


Terima kasih untuk Kang Bob Teguh, sukses selalu.


Tidak ada komentar:

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan