Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Senin, 24 Desember 2007

Mencari panggung, aktor, penonton, pengamat dalam pentas teater malam mingguan

>> Tulisan oleh Sudarmoko <<

email penulis
bunyirantau@yahoo.com


Seburuk-buruknya sepak bola, masih ada suporter yang setia.

Seburuk-buruknya suporter sepak bola, masih ada pembeli tiket di tribun utama.
Seburuk-buruknya stadion dan tribun utama, masih ada managemen dan penyandang dana.
Seburuk-buruknya manager dan penyandang dana, masih saja ada komentator yang mengkritiknya.
seburuk-buruknya apapun dalam sepak bola, setiap minggu sore tetap saja ada yang ditandingkan.
Sedangkan seburuk-buruknya teater....?

Bulan-bulan ini memang acara teater banyak sekali diadakan di kota Denpasar. Namun sayang gebyarnya masih kalah sama acara tahunan menyambut tahun baru. Jika dihubungkan dengan tahun baru, apakah pentas teater bulan ini juga merupakan salah satu acara penyambutannya. Saya harap tidak.

Ngomongin pentas teater, saya jadi tertarik untuk ngomongin bola. Mungkin karena saya penyuka olah raga tersebut. Ada hal yang menarik dalam dunia sepak bola jika kita lihat dari sudut kacamata sebuah tontonan atau panggung pertunjukkan. Udah keok, suka berantem, olah raga kelas pinggiran, ngga ada yang berbakat, ngga ada sentuhan bisnis dan intertaimen, ngga pernah juara, banyak komentator, stadion rusuh, jarang ada yang cantik, cowok gondrong, uang cekak, tapi anehnya sepak bola tetap saja menjadi suguhan tontonan yang menarik meski dengan berbagai sisi keburukannya. Apa yang menjadi sepak bola begitu stabil dan konsisten sebagai sebuah tontonan ?

Saya pikir jawabannya adalah loyalitas orang yang terlibat di dalamnya. Loyalitas yang begitu besar, hingga terlalu sayang seorang pemain untuk tidak bermain. Terlalu sayang seorang penonton untuk tidak menonton. Terlalu sayang seorang komentator untuk tidak komentar.

Sebuah proporsi loyalitas yang sangat proposional. Semua tidak diharapkan untuk menjadi pemain. Semua tidak diharapkan menjadi pelatih, penonton tugasnya hanya menonton, yang rusuh tugasnya hanya tawuran, yang suka nimpuk hajar wasit. Komentator bebas megkritik apa saja dan siapa saja. Kritik managemen, kritik gaya permainan, kritik penonton, kirik wasit, kritik pelatih, bahkan mengomentatori para komentator sendiri.

Tapi apa yang membuat semua itu tetap berjalan?

Yang membuatnya tetap berjalan adalah pertandingan itu sendiri. Pertandingan yang setiap minggu sore sudah ditentukan tempat mainnya. Di mana lagi kalo bukan di lapangan stadion.
Pertandingan sepak bola tidak berubah jadwal dan tempat pertandingannya. Ngga pernah berubah di lapangan tenis seumpama. Atau di sirkuit sentul misalnya. Kalo masalah waktu, kadang memang ada yang bermain di hari rabu sore. Namun tidak ada yang bermain setiap hari.Coba bayangkan jika bermain setiap hari. Fisik pemain, stamina wasit, otak pelatih, uang dan waktu penonton, bahan kritikkan komentator akan terkuras dan tidak akan menjadi suguhan tontonan yang menarik.

Saya pikir teater juga sama seperti itu. Dia hanya tumbuh seperti jamur dimusim hujan yang tiba tiba hilang ketika musim kemarau datang. Ngga bisa disalahkan jika akhirnya para pelaku, penonton, dan pengkritik lenyap begitu saja ketika musimnya sudah mulai reda.

Andai saja ada jadwal rutin minggun sore, (semoga malem minggu)
Andai saja ada stadion khusus pertandingan.

Teater, jaga ritme!

*moko,
penonton keliling yang males keliling

Tidak ada komentar:

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan