Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Selasa, 04 Maret 2008

Teater - PSR - Tempe

>> Catatan Lomba Drama Modern Sekolah 2008 <<

Oleh: dwitra_ariana@yahoo.com


Seorang kawan SMA mengeluh pada saya lewat sms, “Cabang drama modern dalam PSR tahun ini akan dihapuskan, mereka (panitia) sungguh tidak menghargai kreatifitas!”. Begitulah kira-kira inti dari sms-nya. Mereka merasa sangat tidak dihargai berteater karena satu-satunya ajang untuk mengevaluasi hasil proses teater sekolah di Denpasar ditiadakan. PSR yang sudah selama dua dekade digelar memang selalu menampilkan nomor drama modern yang mana selama itu telah dijadikan semacam ukuran kasat mata dalam menilai proses teater sekolah. Meraih juara dalam ajang tersebut mereka anggap sebuah keberhasilan proses mereka.

Saya yang juga pernah mengalami proses berteater sekolah sungguh memahami kondisi yang dialami kawan-kawan teater sekolah. PSR bagi saya adalah pencapaian proses selama satu tahun setelah PSR sebelumnya berakhir. Walaupun ada beberapa ajang lomba sastra yang lain namun drama modern, yang hanya dilombakan saat teater, masih tetap menjadi ajang yang paling bergengsi. Semua teater sekolah mendambakan meraih prestasi tertinggi di ajang tersebut.

Sekali lagi saya sangat paham dengan kondisi tersebut, namun untuk mengobarkan kembali semangat mereka, saya balas dengan: El, kalau kreatifitasmu hanya sebatas PSR lebih baik kamu membeli kedelai lalu olah menjadi tempe kemudian dijual ke pasar atau olah lagi menjadi gorengan untuk dijual.”

Barangkali dia masih bingung dengan apa yang saya maksud. Pesan saya sangat sederhana sebenarnya. Ada pencapaian yang jauh lebih tinggi dari sekedar menjadi juara dalam sebuah lomba, yakni untuk pengembangan diri dimana dalam teater kita belajar hidup atau paling tidak menyiapkan hidup! Bukan semata-mata mengharapkan penghargaan dari orang lain sebagai imbalan proses kita. Sangat sederhana sekali, jauh lebih sederhana dari proses membuat tempe, tak perlu khawatir siapa yang akan membeli atau mampukah kita membeli bahan baku lagi, kedelai mahal sekarang, harus import dari Amerika!
Maaf saya suka ngelantur…

Jika juara adalah pencapaian maka artinya kita lebih mementingkan eksistensi daripada esensi dalam berteater, agak filosofis memang.
Namun bukan berarti saya seorang yang anti eksistensialisme, eksistensi memang penting untuk membangkitkan semangat dalam mengejar esensi. Nanti kita akan bahas hal ini lebih mendalam, maaf, saya ngelantur lagi...

Jadi pada kesimpulannya, bagi saya apapun yang kita lakoni yang terpenting adalah proses. Jika hasil yang kita dapat bukan dari sebuah proses yang mana diri kita terlibat maka bisa dikatakan itu adalah hasil yang semu, tak beresensi!

Saya jadi teringat kalimat Max Havelaar (Multatuli) ketika memimpin sebuah rapat dengan sejumlah pemimpin Lebak: “Petani-petani begitu gembira bukan karena mereka sedang memanen padi tetapi karena mereka memanen padi yang mereka tanam.”



Jeruk Mancingan - Bangli, 240208
*Dwitra "Dadap" Ariana
Videomaker dan Aktifis teater, bergiat di Sanggar Barak. Sewaktu SMA bergiat di Teater Angin SMA 1 Denpasar. Berharap menjadi Max Havelaar pada suatu saat kelak.


2 komentar:

Anonim mengatakan...

jika di PSR ditiadakan Lomba Drama Modern....ya buat saja event atau festival theater SMA se-Bali

Anonim mengatakan...

Teater tu alat paling tepat tuk nyampein pesen...smangat ja terus..meski g da lomba...

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan