Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Selasa, 04 Maret 2008

Romantisme Sastra Universitas Udayana

>> Siapa yang akan Lupa?

oleh: jay.geeps@gmail.com


Sastra dalam banyak hal jauh lebih maju dari fakultas - fakultas lainnya di Udayana, sebuah akulturasi dan singkrentisme budaya yang sangat dinamis. Diskriminasi dan etnisitas jelas masih ada, namun menjadi minoritas yang terpenjara oleh kemerdekaan berpikir manusia - manusianya.

Peran senior seperti Wayan Juniartha, Roberto Hutabarat hingga dosen nyentrik Degung canti Karma, serta yang lainnya, telah mendorong terbukanya ruang expresi yang lebih bebas. Anak - anak sastra adalah pengusung kebebasan intelektual yang liberal, hingga mampu mendorong gagasan demokrasi politik yang lebih maju, mereka yang pertama kali memilih ketua senat mahasiswanya secara langsung dan terbuka.

Sastra seperti sebuah republik kecil diambang kemerdekaannya, perkuliahan formal mungkin terasa masih sangat membosankan seperti kampus - kampus orde baru lainnya, tapi warna kebebasan berexpresi tidak mampu dikalahkan oleh system pendidikan orba yang anti kritik.

Terbayang bagaimana seorang Slamet dengan dengan wajahnya yang sangat tradisional, memakai sarung mengikuti perkuliahan, Oktav yang bangga dengan tindikan di alis dan tattoo di kakinya, Tiwi yang tanggannya penuh gelang dan piercingnya, Bowo, Pepeng dan Yudi yang jarang mandi atau Adolf Tapilatu yang yakin bahwa Yesus akan turun membersihkan rambutnya.

Kehidupan di republik Nias yang sesungguhnya baru dimulai ketika siang mulai terkontaminasi temaran warna - warna senja.. Cewek - cewek modis berkerumun dipojokan pintu masuk dekat patung Saraswati (kalo ga salah), berdebat asik tentang diskriminasi gender sambil sesekali mengisap rokok ringan yang tidak pernah lepas dari jari tangan, Perempuan - perempuan sastra adalah kelompok pertama yang telah berdebat jauh tentang Gender dan persamaan hak kaum perempuan. Segerombolan anak - anak sastra lainnya berkumpul di warung Bu Dayu, yang telah lama menjadi media antara kawan - kawan hukum yang prakmatis dengan republik Nias yang dinamis. . . .

Sudut - sudut dan Lorong kampus tua yang diresmikan oleh Bung Karno dan menjadi cikal - bikal Udayana ini, terasa sangat hidup, Aura revolusi yang dulu pernah mewarna serasa begitu membekas, lukisan tua wajah para mantan dekan menambah spritualitas dari sebuah romantisme pemberontakan!

KARENA KEMERDEKAAN ADALAH SEBUAH PERLAWANAN!!!

Ketika gelap mendominasi. . . dan matahari tergantikan oleh temaran lampu 40 watt, suasana semakin semarak, kelompok - kelompok yang ketika sore terpencar, kini telah merapat dan membentuk sebuah lingkaran besar, sebuah panggung disiapkan di tengahnya, semua yang ingin berteriak menumpahkan hasrat dan amarah atau sekedar beronani ria, bebas melakukannya. . .

Puisi - puisi kritis meluncur dari bibir sastrawan Nias yang merdeka, dengan lugas Jengki menuturkan sebuah romance yang berujung pada sebuah pemberontakan tragis. . . kemudian di tutup dengan . . . "perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. . .
Sambil bergulir, Pepeng sibuk menawarkan welcome drink arak Bali yang keras dan menggoda kepada semua yang baru tiba. . . dan saya sangat menikmatinya. . .

Perlahan, petikan gitar Saichu mengalun mengiringi lagu romantis yang begitu memikat gadis - gadis Jepang nan lugu. . mereka tersihir oleh kemampuannya menggabungkan Bob marley dengan Rhoma Irama, sambil bergaya seperti kaka dan bimbim. . .

Pelan tapi pasti, ketika gelas - gelas arak telah mengering, dan tergantikan dinginnya Es teh manis, lintingan ganja kering serta merta menemani setiap debat dan diskusi. Filsafat Hegel, Nietze, teori - teori perlawanan hingga perbincangan tentang Tuhan meluncur dari bibir - bibir idealis sambil menarik dalam setiap hisapan . . . (sekali lagi saya sangat menikmatinya). Malam ini Kita setting aksi . . . . karena besok kita akan turun untuk berdemonstrasi. .

Sex, arak dan lintingan ganja adalah sebuah pemberontakan!

O. . . Bukankah kita semua hanyalah seorang pendosa? So what!!
Apakah mereka yang memakai peci adalah Ulama?
Apakah mereka yang memegang salib adalah Pendeta?
kalian mungkin tidak percaya bahwa setiap nabi yang lahir adalah pemimpin pemberontakan?

Bagi saya ini bukan persoalan identitas biasa, tapi saya jatuh cinta pada rumput tetangga. .
Sastra begitu berwarna, akankah ini hanya menjadi sebuah romantisme?
Seandainya suatu saat saya kembali, sastra mungkin masih ada, sastra mungkin telah mati. . .
Tapi saya tetap kembali, meski hanya untuk sebuah romantisme basi. . .


*Denpasar, Mei 1998

Arie "Gepeng"
Mahasiswa Fakultas Hukum yang biasa saja.


Tidak ada komentar:

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan