Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Sabtu, 30 September 2006

Nyanyian Datar Wanita Batu

Oleh: Jayakumara, alumni Fakultas Filsafat UGM, Yogya

Tokoh teater senior Bali, Abu Bakar, menampilkan Wanita Batu. Secara artistik monolog ini terasa kedodoran dan paralel secara tematik dengan Nyanyian Angsa Rendra.

Wanita Batu adalah karya monolog yang bercerita tentang luka pelacur. “Nama saya Sarimin. Asal Muntilan,” ujar Indrawati, mengawali pementasan monolog itu. Kalimat ini mengingatkan kita pada bait awal sajak Nyanyian Angsa karya dramawan-penyair WS Rendra, “Maria Zaitun namaku. Pelacur yang sengsara.” Selanjutnya, melalui Indrawati, cerita Sarimin berlanjut.
Sarimin telah kehilangan kedua orangtuanya. Ibunya pulang tanpa kepala dan bapaknya mati dibunuh, entah oleh siapa. Sarimin bagaikan selembar daun yang jatuh dari pohon lalu membatu di dasar sungai.
Derita Sarimin masih berlanjut. Ia dituduh PKI. Sempat berontak tapi sia-sia, karena petugas negara memerlukan laporan administrasi untuk kenaikan pangkat, untuk melanjutkan hidup. Sarimin berontak, mempertanyakan segala sesuatu. Ia menghadapi yang disebut oleh filsuf Kalr Jaspers “situasi batas”, terutama kematian.

Sampai di sini, penulis naskah agaknya enggan berpikir berbelit-belit. Ia enggan mensublimasikan derita fisik ke tataran infrahuman. Lalu, tema yang dibangun sejak awal pun patah begitu saja. Persoalan lalu kembali pada derita fisik Sarimin: luka sebagai pelacur. Sebagai pelacur Sarimin mesti melayani anak sekolah, mahasiswa, sopir, hingga seorang kakek. “Kelamin saya tidak berbentuk kelamin lagi. Ia sudah menjadi mesin,” desah Sarimin dalam ritme orang bersenggama. Dari kelamin Sarimin keluar benda-benda, seperti rantai, bayi mati, plastik yang dilemparkan begitu saja ke arah penonton. Adegan ini berhasil memberi efek kejut pada penonton, tetapi mementahkan pemberontakan eksistensial Sarimin yang sudah mulai terbangun.
Maka, resep Hollywood pun berlaku di sini. Cerita begulir secara linier: Sarimin kawin dengan Doel sembari tetap menjalani profesi sebagai pelacur. Sampai pada suatu titik, ia bertemu seorang wanita tua yang membungkuk dan menyembahnya. Keduanya bersenggama dan Sarimin merasa menikmati dengan sungguh. “Aku orgasmus”, teriaknya. Adegan ini terasa sebangun dengan persetubuhan Maria Zaitun dengan seorang lelaki ‘tegap dan elok wajahnya’ dalam Nyanyian Angsa. Sang suami, Doel, tahu dan cemburu. Lalu ia mati. Sarimin sedih dan— lagi-lagi—pemberontakan eksistensial Sarimin muncul: ia bertanya, mengapa? Tiba-tiba saja Sarimin berubah menjadi tua, beruban. Monolog yang disampaikan selama hampir satu jam pun berakhir.
Monolog ini dipentaskan di tempat pertunjukan Geok milik seniman Wayan Dibia, di Banjar Sengguan, Desa Singapadu, Kabupaten Gianyar, pertengahan Agustus lalu. Penataan panggung, pencahayaan, dan kostum bisa dikatakan minimalis. Panggung didominasi kursi kayu ukuran besar dan sebuah balok kayu yang digantung—entah untuk apa. Sementara selama pertunjukan hanya satu-dua jenis lampu sorot digunakan. Demikian juga kostum sangat sederhana. Indrawati hanya mengenakan baju kebaya warna merah dan celana sebatas lutut. “Saya memang suka yang minimalis”, ujar sang sutradara, Abu Bakar.

Hanya saja pernik-pernik properti yang digunakan selama pertunjukan sangat terasa mengganggu. Uang receh yang ditebarkan, rantai, dan bayi yang dikeluarkan dari liang kelamin sampai dengan sosok patung yang terbuat dari kayu yang digunakan berhubungan kelamin sangat mengganggu konsentrasi penonton fokus pada persoalan yang ditawarkan: pemberontakan eksistesialis Sarimin atau sekadar pamer luka.
Pementasan semakin menjadi terganggu dengan vokal Indrawati yang datar. Selama pertunjukan ritme vokal Indrawati tidak pernah mengambil nada rendah. Pola ritme vokal Indrawati terasa konstan dengan diselingi hentakan vokal meninggi. Justru dengan pola ritme vokal seperti itu pertunjukan terasa lebih hambar. Indrawati lebih menonjolkan sisi kemarahan orang kalah, yaitu pelacur, bukan pengolahan luka demi peningkatan kadar eksistensial. Ekspresi energi feminin seorang pelacur yang mendayu-dayu untuk mencari pelanggan bisa dikatakan nihil. Singkat kata, Indrawati belum mengolah yang disebut pemonolog Bali Cok Sawitri ‘eksplorasi diam’.
Abu Bakar mengakui itu. Menurutnya, ia terlalu banyak menjejalkan ide kepada sang aktris, sehingga Indrawati menjadi kedodoran. Ini merupakan pengakuan ironis bagi sutradara sekelas Abu Bakar, karena kritik sama pernah disampaikan Abu pada penampilan Ida Ayu Kade Tresna pada Parade Monolog, di Taman Budaya Denpasar, Mei 1999 silam. Bila ditelusuri lebih jauh, pementasan Wanita Batu bukan saja mengalami kegagapan dalam mengungkapan ide secara artisitik, tetapi juga membuahkan pertanyaan lanjutan: ide apa di balik naskah yang bolak-balik mengalami revisi itu, paralelitasnya dengan Nyanyian Angsa? Sebagaimana Sarimin, Maria Zaitun pun mengalami derita fisik yang bertubi-tubi akibat sipilis yang menggerogoti tubuhnya. Bedanya, derita fisik Maria Zaitun bertransformasi menjadi kenikmatan metafisik setelah ia melakukan persetubuhan mistik dengan sosok lelaki yang dalam interpretasi kritikus sastra A Teeuw diidentifikasi sebagai Kristus.

Sajak Nyanyian Angsa dimulai dengan diusirnya Maria Zaitun oleh Majikan Rumah Pelacuran, “Ini biaya melulu. Aku tak kuat lagi. Hari ini kamu musti pergi.” Maria Zaitun mengunjungi dokter langganannya dan hanya mendapatkan injeksi vitamin C. Ia juga ke gereja tetapi terbentur birokrasi. Maria Zaitun berjalan di tengah terik matahari. Kulitnya mengelupas di aspal jalan. Ia mencoba mengobati diri dengan mengingat masa mudanya. Sampai akhirnya ia bertemu seorang lelaki, ‘Rambutnya ikal dan matanya lebar’ dengan luka ‘di kedua telapak tangan’ dan ‘di kedua telapak kaki’. Mereka bersenggama, dan Maria Zaitun pun ‘berlayar ke samodra yang belum dikenalnya’. Lelaki menyebut dirinya dengan ‘mempelai’. Klimaks sajak itu adalah teriakan yang kini dijadikan judul sebuah buku: “Pelacur dan pengantin adalah saya !!!” Abu Bakar sendiri mengernyitkan kening, angkat bahu, ketika dimintai konfirmasi atas kesamaan tema antara Wanita Batu dengan Nyanyian Angsa. Sejurus kemudian, “Begini, saya tidak suka menjiplak ataupun menyontek karya siapa pun. Ini adalah karya seni. Biarkan dia begitu,” tandasnya singkat.

Lepas dari ragam persoalan demikian, sebagai sutradara senior Abu Bakar masih menyisakan sedikit ‘kebesaran’-nya. Kehadiran M Katib (60) sebagai peran pembantu sangat menghidupkan panggung yang terasa mati. Warga Pemogan, Denpasar, ini terasa alami. Ini mengingatkan kita pada kesuksesan Abu dalam menangani Kaseno saat membawakan naskah Anton Chekov, Bahaya Racun Nikotin, beberapa tahun lalu.

Tidak ada komentar:

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan