Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Sabtu, 01 April 2006

Upaya Mendekatkan Diri Dengan Masyarakat?

Catatan penyelenggaraan pentas seni PSR 2006 di balai banjar

oleh Jauhar Mubarok (jauhar.re@gmail.com)


Pentas seni drama modern antar SMU se-kota Denpasar dalam rangkaian Pekan Seni Remaja [PSR] XXII kembali diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Nasional Kota Denpasar. Untuk tahun 2006 kegiatan ini diadakan di sebuah balai banjar di wilayah Kesiman, Denpasar Timur. Tahun sebelumnya kegiatan ini diadakan di lingkungan sebuah SMU. Kegiatan ini telah menjadi rutinitas yang kehadirannya selalu didamba dan ditunggu, tidak saja oleh SMU-SMU yang memiliki kegiatan ekstrakurikuler atau kelompok teater untuk unjuk kebolehan dalam dunia teater, tapi juga oleh para penggiat dan penikmat seni teater untuk menikmati dan melihat perkembangannya dari tahun ke tahun, baik secara kualitas dan kuantitas.

Cukup menarik ide PSR 2006 yang diselenggarakan di sebuah balai banjar, di mana banjar merupakan ruang sosial yang sudah sangat akrab dan dekat dengan kehidupan masyarakat Bali. Dapat dikata banjar merupakan ruang publik yang keberadaannya sangat vital bagi masyarakat Bali. Banjar merupakan ruang interaksi sosial untuk membentuk dan meneguhkan ikatan solidaritas identitas sekaligus sebagai ruang publik yang vulgar akan akses terhadap kreativitas krama-krama banjar. Maka sebuah langkah yang cukup bagus ketika PSR {SMU] 2006 ini diadakan di sana bila hal ini dimaksudkan guna lebih mendekatkan diri serta mempopulerkan seni drama modern kepada masyarakat umum. Selain itu untuk menepis anggapan bahwa keberadaan seni (drama) modern (men)jauh dari masyarakat tradisi. Para pendukung kesenian modern menjaga jarak dengan masyarakat dan menjadi menara gading. Sebagaimana yang terjadi pada beberapa catatan sejarah kemunculan seni borjuis/elit atau tinggi yang dipengaruhi oleh sistem sosial feodal kerajaan pada masa lampau. Para pendukung kesenian elit menganggap rendah kesenian masyarakat awam.

Selain itu juga menangkis anggapan bila banjar hanya membuka diri khusus pada seni tradisi semata. Seolah-olah banjar tidak memberi ruang-peluang terhadap tumbuh –kembangnya seni modern. Seni drama modern sama halnya dengan seni drama tradisi atau dengan kesenian lainnya yang sama-sama berangkat, dimiliki, dan didukung oleh masyarakat, tanpa ada jeda dan batas yang menimbukan klasifikasi rendah dan tinggi.

***

Tidak berhenti di sini saja. Seni merupakan suatu dunia tersendiri yang punya hak atas kediriannya sendiri, yang menjaga jarak dengan realitas dunia serta etika konvensional kemasyarakatn, misalnya. Begitu pula hak atas ke-ruang-an dan segala prasyarat yang representatif untuk mendukung aktivitas keseniannya di mana dirinya berada/dipentaskan. Dan dalam seni pertunjukan, seperti halnya seni drama modern punya tataran ideal terhadap sarana dan prasarana yang mendukung totalitas penampilan. Proporsi ideal kesenian. Misalnya ruang yang lapang dan tinggi untuk setting ruang dan tata lampu pencahayaan, ruang yang terbebas dari gangguan aktivitas lain di luar dirinya, dan sebagainya. Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah balai banjar cukup representatif untuk pementasan seni drama modern yang ideal? Atau memang sebuah kesengajaan pihak penyelenggara untuk melihat kekuatan dan kecerdasan para penggiat seni drama modern remaja dalam mengatasi keruangan yang ada?

PSR merupakan kegiatan yang telah dan (mungkin) akan selalu diselenggarakan setiap tahunnya, tentu saja para penyelenggara harus mempertimbangkan dan memperhatikan sarana dan prasarana yang representatif guna mendukung tumbuh- kembangnya aktivitas kesenian di kalangan remaja. Hal ini agar PSR tidak menjadi kegiatan rutinitas setengah hati yang malas dan hanya menjalankan program kerja; yang penting diselenggarakan!.

Namun di sisi yang lain Bali mempunyai ruang yang cukup representatif sebagai ruang perhelatan kesenian, yaitu Taman Budaya atau Art Centre. Dari papan nama yang terpampang saja masyarakat telah digiring pada pengertian bahwa art centre adalah ruang publik yang khusus ditujukan untuk kegiatan kesenian/kebudayaan. Bukan sekadar papan nama mainan penuh keisengan. Dan sarana dan prasarana yang tersedia pun cukup menarik dan representatif untuk segala macam perhelatan kesenian. Mengapa PSR sekarang dan tahun kemarin yang merupakan kegiatan tahunan tidak diselenggarakan di Taman Budaya?

Pertanyaan-pertanyaan semacam di atas sering kali terlontar dari antar para pengunjung (publik seni) disela-sela menikmati PSR di Kesiman. Dengan PSR diadakan di balai banjar seolah-olah membiarkan Taman Budaya tidak lagi memiliki arti; membiarkan Taman Budaya tetap lapang dan lengang, tanpa penghuni dan aktivitas keseniannya. Secara tidak langsung “masyarakat” telah menghilangkan nilai fungsionalnya bagi kehidupan manusia itu sendiri, sebagaimana maksud dari pembangunannya yang telah menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Bukankah Taman Budaya dibangun bukan sebatas dijadikan gedung-gedung yang berdiri, setelah itu ditinggal pergi. Menjadi pajangan. Atau memang sudah saatnya Taman Budaya menjadi museum yang tetap berdiri dengan kediriannya yang megah, sendiri, dan mati.

Semoga PSR 2006 ini tidak diselenggarakan di Taman Budaya bukan karena alasan mahalnya harga sewa yang melangit dan elit serta pihak pengelola yang lebih memilih irit (pelit?). Dan bukan pula karena pihak pengelola Taman Budaya takut tempatnya kotor oleh sisa-sisa kegiatan kesenian akibat keengganan penyelenggara membersihkan karena merasa sudah menyewa. Seperti selentingan yang kerap kali mengalir disela-sela menikmati pentas drama modern di balai banjar di Kesiman. Bila selentingan ini benar, maka ini menjadi tanda atas kematian ruangnya.

Taman Budaya bukan lagi menjadi ruang publik yang dapat diakses oleh siapa saja, meskipun dengan tujuan untuk menumbuh-kembangkan kegiatan kreativitas seni. Taman Budaya mungkin suatu saat nanti menjadi ruang kuasi-publik atau malahan ruang privat yang seolah-olah publik. Ruang publik yang hanya dapat diakses oleh pihak-pihak berharta-mampu menyewanya. Taman Budaya akan menjadi sebuah kenangan bagi para penggiat seni dan kesia-siaan maksud para perancang-penggagasnya. Pada akhirnya para penggiat seni (baik modern dan tradisi) harus susah payah mencari ruang-ruang publik lain yang sekiranya dapat diakses dengan keminiman anggaran yang tersedia. Dan beranggapan pentas seni drama modern PSR 2006 diselenggarakan di balai banjar karena alasan untuk mendekatkan seni modern kepada masyarakat, adalah terlalu dini.

Pengalihan ruang pementasan lebih disebabkan oleh “keterpaksaan” yang merugikan para penggiat seni di kalangan remaja. Adalah karena kesadaran untuk membumikan beragam aliran-bentuk seni dalam kehidupan masyarakat. Cukup disayangkan.

Kemudian bagaimana dengan penyelenggaraan PSR tahun depan?.

|re.denpasar.2006

* Jauhar Mubarok, pengamat teater.
Tinggal di Denpasar, berkutat di dunia antropologi. Aktif di pers alternative KONAK. Juga bergiat di pers kampus "Sunari Penjor", majalah antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.



Tidak ada komentar:

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan