Kami menerima tulisan maupun foto pertunjukan. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com

Minggu, 28 November 2004

Death of a Salesman

Kunci Rahasia Bernama ''Stocking''
Pementasan Teater 108 Minggu Wage, 28 Nopember 2004
Oleh: Endra Efendi

KELOMPOK Teater Satu Kosong Delapan (108) pada Selasa (23/11) malam mementaskan "Matinya Pedagang Keliling" (Death of a Salesman) karya Arthur Miller di Wantilan Taman Budaya Denpasar. Pementasan yang dimulai pukul 19.30 wita itu cukup mendapat perhatian dari masyarakat -- kalangan siswa, mahasiswa, pelaku dan pecinta teater, serta para akademisi. Pementasan ini berdurasi empat jam.

Pementasan ini merupakan ajang "pemanasan" sebelum kelompok Teater 108 mementaskannya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Menurut Giri ratomo, sang sutradara, ini merupakan gladi resik sebelum dibawa ke acara "Panggung Realis Indonesia" yang akan diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 26 November-2 Desember 2004 mendatang.

Naskah "Matinya Pedagang Keliling" bertutur soal tragedi. Tragedi ini berawal ketika Biff Lowman menemui bapaknya (Willy Loman) yang sedang beristirahat di sebuah kamar hotel setelah seharian penuh bekerja menawarkan barang-barang dagangannya. Biff tak sabar untuk berkeluh kesah mengenai nilai ujian matematikanya yang tidak lulus. Biff yakin gurunya itu sangat hormat dan mau memenuhi permintaan Willy. Karena itu, Biff ingin agar Willy bersedia berbicara kepada guru matematikanya mengenai ujian perbaikan, sebab jika tidak, maka Biff tidak akan pernah menamatkan sekolah lanjutan kemudian bersekolah di sebuah universitas yang selama ini ia dambakan.

Kehadiran Biff yang tiba-tiba membuat Willy kalang kabut. Untung saja sebelum Biff membuka pintu kamar, Willy telah menyembunyikan perempuan simpanannya ke dalam kamar mandi. Namun sepandai apapun orang menyembunyikan kebusukan pada akhirnya akan tercium juga, begitupun rahasia "panas" yang disembunyikan oleh Willy terhadap Biff. Dengan perasaan malu, Willy mencoba membela diri dan mengatakan bahwa perempuan yang berada bersamanya itu hanyalah seorang pelanggan setia dan ia kebetulan sedang meminjam toilet di kamarnya karena toilet di rumah perempuan itu sedang direnovasi. Ketika mendengar kata-kata Willy, kontan saja perempuan itu merasa terhina dan diremehkan. Namun akhirnya, perempuan itu meminta Willy agar secepatnya memberikan hadiah stocking baru yang telah dijanjikannya. Willy pun segera mengabulkan permintaannya agar perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan kamar hotel.

Apakah Biff percaya dengan semua keterangan Willy? Tentu saja tidak. Lihat saja bagaimana Willy begitu mudahnya memberikan beberapa buah stocking baru. Padahal ibunya (Linda Lowman) hanya memiliki satu stocking saja, itupun sudah beberapa kali sobek dan penuh tambalan di mana-mana. Padahal selama ini Linda begitu sabar, setia dan tidak banyak menuntut apa-apa dari Willy karena sebagai seorang istri dan ibu dari kedua anaknya membuatnya kasihan kepada Willy yang saban hari sibuk bekerja sebagai sales -- penjual barang-barang rumah tangga dari pintu ke pintu. Inikah balasan atas kesetiaan dan pengertian?

Semua yang didengar dan dilihat Biff terasa seperti bara api yang akan menghanguskan tubuhnya. Perasaan marah dan kecewa menghilangkan semua rasa hormat Biff kepada Willy. Padahal selama ini Biff selalu menganggap Willy sebagai sosok pria yang terpuji dan sangat dicintainya. Tetapi sekarang, Willy tak jauh beda seperti ular yang licik, jahat dan menjijikkan.

Begitulah perseteruan antara anak dan bapak ini dikemas dalam dialog-dialog yang panjang dan terjalin dengan rapi. Namun sampai Willy tewas, karena kecelakaan saat berusaha mengejar Ben (adik Willy yang sukses), sosok pria yang kerap muncul dalam benak Willy, rahasia "panas" ini tak pernah diungkapkan keduanya.

Naskah ini penuh dengan persoalan, ketegangan yang benar-benar bisa kita lihat dan rasakan sehari-hari di lingkungan kita. Misalnya tentang nasib Willy Lowman yang sudah bekerja selama 36 tahun sebagai salesman pada sebuah perusahaan. Dengan usia yang terus bertambah, mobilitas Willy agak sedikit berkurang sehingga grafik penjualannya makin menurun -- masalah inilah yang kemudian menyebabkan ia dicampakkan, di-PHK, oleh perusahaannya tanpa diberikan penghargaan atau bintang jasa atas pengabdiannya.

Selain pekerjaan, persoalan menyempitnya lahan hijau yang disebabkan oleh pembangunan yang membabi buta menjadi persoalan lain yang diangkat dalam naskah ini. Jika kita flashback 20 tahun ke belakang, mungkin Desa Kuta atau Ubud tidak sesesak ini. Masih banyak sawah dan hutan lindung yang bisa kita lihat. Namun sekarang, pembangunan yang membabi buta itu menjadikan mata kita terasa sakit sebab tak ada lagi warna hijau yang bisa kita lihat, tak ada lagi hawa sejuk dan sinar matahari yang biasanya menyiram hangat tubuh kita. Semua lahan sudah terkepung oleh tembok-tembok beton, sudah terpendar oleh bening kaca dan bayangan apa jadinya Kuta atau Ubud 20 tahun ke depan?

Persoalan-persoalan modernitas pembangunan sangat berkait dengan persoalan sumber daya manusia. Maka dalam naskah ini pula disinggung mengenai persoalan pendidikan sebagai cara untuk meningkatkan sumber daya itu. Pendidikan nonformal, terutama yang biasa terjadi dalam sebuah rumah tangga. Lebih banyak disorot dalam naskah ini seperti Biff (anak Willy), misalnya. Sejak kecil Biff diajarkan untuk selalu menuruti semua perintah orangtua, padahal belum tentu setiap perintah itu mengandung kebenaran. Biff sering diperintah oleh Willy untuk mencuri beberapa batang kayu di sebuah proyek bangunan atau ketika Biff mencuri sebuah bola di gudang sekolahnya. Willy tak pernah menasihati Biff. Dia terlalu memanjakan dan memenuhi semua permintaan anak-anaknya.

Rahasia pendidikan keluarga yang kurang beres ini terungkap ketika Biff dan Willy cekcok, saling menyalahkan dan saling menghujat, "Lihat apa yang telah engkau tanamkan dalam kepalaku, sering sekali aku mengambil barang-barang milik orang lain yang sesungguhnya tidak aku inginkan. Ayah telah berhasil mencetak aku menjadi pencuri!'' kata Biff berusaha menyudahi pertengkarannya dengan Willy sebab ia yakin Willy tak akan terima jika ia dikatakan salah dalam mendidik.

Begitulah Arthur Miller, lewat tokoh Biff secara keras mengkritik sistem pendidikan dalam sebuah keluarga yang notabene masih menganggap tabu atau masih menganggap bahwa seorang anak yang mengkritik orang tuanya adalah anak yang durhaka dan terkutuk. Bukankah seorang anak adalah "titipan" Tuhan? Seorang anak bukan boneka yang bisa dimiliki dan diapakan saja. Jadi, nilai kebebasan untuk memilih harus terus ditanamkan, maka ketika orangtua salah atau kurang benar maka si anak tidak merasa takut untuk menolak perintah orangtuanya dan orangtua pun jangan terlalu ringan untuk memvonis si anak sebagai anak yang tidak berbakti.

Merespons dan Menghidupkan
Percakapan-percakapan yang panjang antartokoh dalam naskah ini, selama pementasan, terasa tidak membosankan. Itulah kehebatan naskah ini. Kejenuhan itu menjadi tidak terasa karena metode dialektis antara pemain dengan penonton terjadi secara harmonis. Dialektis yang saya maksudkan adalah penggambaran secara nyata apa yang dibayangkan atau sedang digelisahkan oleh para tokohnya, terutama oleh Willy.

Penggambaran-penggambaran ini memang tidak terlalu vulgar terlihat, sebab tidak ada tokoh pengganti dalam adegan antara masa lalu dan masa kini. Semuanya diperankan oleh orang yang sama dan setting yang sama. Namun, lewat musik dan lighting, penonton bisa merasakan dan membedakannya. Pada pementasan ini, anggota Teater 108 telah menunjukkan sebuah tim kerja yang sehat dan harmonis -- semuanya saling mendukung dan saling berdialog untuk saling melengkapi walaupun suara musik sesekali memang terdengar terlalu keras dan nyaris menenggelamkan vokal para aktornya.

Lalu, bagaimana dengan para aktor? Tentu saja kekurangannya akan selalu ada, walaupun sangat kecil. Misalnya saja ketika adegan pertama di mana Biff dan Willy secara tidak sengaja mendengar percakapan kedua orangtuanya dari dalam kamar mereka. Dalam kamar itu (di atas tempat tidur) vokal Happy sering timbul-tenggelam -- terkadang jelas terdengar, terkadang tidak.

Konsistensi pada intonasi dan volume suara perlu lebih diperhatikan oleh Happy dan terkadang Happy kurang aktif menanggapi lawan bicaranya. Happy terlihat selalu menunggu, bengong tanpa bahasa tubuh sehingga terkesan masih menghapal dialog dan belum menikmati dialog tersebut. Sebenarnya hal tersebut bisa diingatkan dengan cara meminjam dialog lawan bicara atau bisa juga dengan lebih memaksimalkan gerakan-gerakan tubuh sehingga aktor yang lupa itu bisa teringat kembali dengan dialognya. Paman Ben, misalnya, beberapa kali terlihat mendahului, padahal adegan ilusi belum terjadi sehingga secara tidak langsung kehadirannya memecah konsentrasi penonton dan akibatnya lagi penonton kehilangan beberapa kata atau kalimat dari tokoh yang belum menyelesaikan dialognya. Bukankah para aktor dan sutradara memiliki maksud yang ingin disampaikan kepada penonton?

Selain dialog, eksplorasi dengan properti seperti tempat tidur (adegan Biff dan Happy) yang masih belum digunakan secara maksimal. Bisa saja Biff dan Happy melakukan dialog dengan berganti tempat duduk, berganti ranjang atau memain-mainkan bantal dan selimut yang ada di atas tempat tidur itu. Mungkin, benda-benda itu akan lebih hidup dan mampu menggambarkan sebuah makna bahasa (simbol) yang notabene bukan hanya berfungsi sebagai hiasan pelengkap saja.


Sabtu, 13 November 2004

Melacak Kembali Seni Pertunjukan

Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) akan menyelenggarakan "Panggung Teater Realis Indonesia", 26 November hingga 2 Desember 2004 di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM). Acara meliputi pertunjukan, diskusi, dan pemutaran film dokumentasi teater realis dari dalam dan luar negeri.

Sejumlah kelompok teater dari beberapa kota, termasuk beberapa yang paling awal berdiri di Indonesia, yang dikenal memiliki persentuhan dengan realisme, diundang untuk berpentas.

Mereka antara lain Studi-klub Teater Bandung (Bandung), Teater Populer dan Teater Aristokrat (Jakarta), Teater Makassar (Makassar), Teater Gapit dan Teater Gidag-Gidig (Solo), serta Kelompok Satu Kosong Delapan (Denpasar).

Mereka akan membawakan naskah-naskah realis yang telah teruji dan diakui memiliki standar kualitas karya penulis-penulis seperti Arthur Miller, Henrik Ibsen, Anton Chekhov, Achdiat Kartamihardja, dan sebagainya.

Apresiasi

"Melalui Panggung Teater Realis Indonesia juga diharapkan dapat dilacak kembali perkembangan seni pertunjukan, khususnya teater di Indonesia. Selain itu, acara ini dimaksudkan sebagai sarana apresiasi bagi penikmat, peminat, dan pelaku teater dari generasi yang kemudian," ujar Ags Arya Dipayana selaku seksi publikasi DKJ.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif perihal perjalanan atau perkembangan realisme di panggung teater di Indonesia, diundang sejumlah pembicara yang selama ini dikenal sebagai pelaku, pengamat dan tokoh-tokoh yang memiliki kompetensi untuk berbicara perihal realisme. Mereka akan berbicara dalam dua sesi diskusi, yaitu "Realisme dan Pemaknaan dalam Teater di Indonesia" dan "Realisme dalam Seni Pemeranan di Indonesia".

Para pembicara adalah Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Bakdi Sumanto, A Kasim Achmad, Benny Johanes, Landung Simatupang dan Arthur S Nalan. Akan bertindak sebagai moderator dalam diskusi adalah N Riantiarno dan Niniek L Karim.

Untuk melengkapi "Panggung Teater Realis Indonesia" akan diputar dokumentasi video pertunjukan teater realis dari kelompok teater di Indonesia dan beberapa negara lain, sebagai bahan perbandingan.
"Dengan penyelenggaraan Panggung Teater Realis Indonesia barangkali akan dapat ditinjau kembali pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada lagi aktor dalam jagad seni pertunjukan di Indonesia. Acara ini terbuka untuk umum. Kecuali tanda masuk untuk pertunjukan Rp 20.000 dan Rp.10.000, seluruh acara dapat diikuti tanpa dipungut biaya," papar Ags Arya Dipayana.

General Rehearseal

General Rehearseal
a Time between Us by Teater Satu Kosong Delapan

Exercise

Exercise
Teater Satu Kosong Delapan