Oleh WAYAN SUNARTA
Saban kali berbincang masalah teater di Bali—baik itu teater kampus, teater sekolah, maupun teater profesional—kita senantiasa akan terjebak dalam romantisme berkepanjangan. Kita hanya bisa mengenang—seringkali tanpa sudi berbuat sesuatu— kejayaan masa lalu teater di Bali, era 1980-an dan 1990-an, di mana kelompok-kelompok teater bermunculan bagai laron di musim penghujan. Dan sebagaimana layaknya laron, teater yang jumlahnya lumayan banyak itu, satu per satu melepas sayapnya, lalu mati dengan mewarisi sekelumit kisah kejayaan.
Sang waktu dan sejarah telah mencatat, ada puluhan teater yang pernah meramaikan dunia perteateran di Bali pada era itu. Kelompok-kelompok teater itu tersebar hampir di semua kabupaten di Bali. Namun yang paling menonjol adalah tiga titik pertumbuhan teater yang sangat pesat, yaitu Denpasar, Singaraja dan Negara dengan para tokohnya yang rata-rata sudah dikenal di tingkat nasional.
Dari kalangan teater kampus, Bali pernah mencatat keberadaan Teater Keliling, Teater Kluster, Sanggar Purbacaraka (Fakultas Sastra Unud), Teater Yusticia Fak. Hukum Unud, Teater Equilibrium Fak. Ekonomi Unud, Teater Hipokrates Fak.Kedokteran Unud, Teater Semar Fak.Pertanian Unud, Teater Orok Unud, Teater Seribu Jendela IKIP Singaraja, Teater Kampus Univ. Warmadewa, Teater Kampus Unhi.
Di kalangan sekolah, muncul Teater Angin SMU 1 Denpasar, Teater Topeng SMU 2 Denpasar, Teater Trisma SMU 3 Denpasar, Teater Blabar SMU 4 Denpasar, Teater SMU 5 Denpasar, Teater SMU 6 Denpasar, Teater Antariksa SMU 7 Denpasar, Teater Ombak, Sanggar Jineng Smasta, Teater Gugat SMU Santo Yosep, Sanggar Cipta Budaya SMP 1 Denpasar, Teater Lingkar SMP 2 Denpasar, Teater SMP 3 Denpasar, Sanggar Yogiswari SMP 10 Denpasar, dan sebagainya.
Bali juga mencatat kehadiran teater profesional, seperti Sanggar Putih, Sanggar Minum Kopi, Teater Agustus, Teater Mini Badung, Teater Poliklinik, Sanggar Binduana Klungkung, Sanggar Posti, Teater Got, Sanggar Seni Banyuning-Buleleng, Teater Kene, Sanggar Susur, Teater GAR, Bali Eksperimental Teater, Sanggar Jukut Ares Tabanan, Teater Mentah, Sanggar Nyuh Gading, Sanggar Arak Api Ubud, Sanggar Pondok Pekak Ubud, Teater Hitam-Putih, Sanggar Bukit Manis Buleleng, Teater Kebun Bayam, Sanggar Kokokan Talang-talang, Sanggar Surabi, Kalangan Rurung Rai, Komunitas Pojok, Komunitas Kembang Lalang, dan beberapa nama yang luput dari perhatian.
Pada mulanya, kemunculan kelompok-kelompok teater itu juga dipicu oleh adanya banyak event, parade, dan lomba teater di Bali saat itu. Sebutlah misalnya event Lomba Drama Modern yang digelar setiap dua tahun sekali oleh Fakultas Sastra Unud, Parade Performance Art oleh Teater Orok Unud, Pesta Kesenian Bali di Art Centre, Pekan Seni Remaja (PSR) Denpasar, pementasan berkala dan event-event yang bersifat insidental.
Sampai saat ini, teater kampus yang masih bertahan dan terdengar gaungnya dalam berbagai aktivitas adalah Teater Orok, Sanggar Purbacaraka dan Teater Seribu Jendela. Selebihnya tenggelam di telan zaman. Padahal di kampus Unud sendiri, pada masa-masa jayanya, hampir setiap fakultas memiliki kelompok teater. Kini tokoh-tokohnya sebagian besar menempati posisi penting, seperti menjadi dosen di alma maternya, peneliti, birokrat, pebisnis, anggota MPR, dan sebagainya.
Selama ini, kelemahan paling mendasar teater kampus di Bali adalah lemahnya manajemen organisasi dan kaderisasi. Banyak para senior teater kampus yang tidak mampu memanajemen organisasi dan para anggotanya, serta tidak sanggup menerapkan sistem kaderisasi yang baik. Karena jangka waktu perkuliahan yang relatif lama, teater kampus sebenarnya memiliki waktu kreatif yang lebih banyak, dibandingkan teater sekolah yang hanya 3 tahun. Semestinya teater kampus mampu menjadi teater yang profesional.
Teater sekolah masih relatif bertahan karena telah menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang formal dan birokratis. Namun teater sekolah yang masih aktif, dalam arti sering menggelar event sastra/teater dan pementasan, adalah Teater Angin, Teater Topeng, Teater Trisma, Teater Antariksa, Teater Blabar, Sanggar Cipta Budaya dan Teater Lingkar. Selebihnya tiada kabar berita lagi.
Sesungguhnya tujuan mulia teater sekolah adalah wadah penumbuhan dan pemeliharaan ji-wa-jiwa kreatif di bidang sastra dan drama. Terlalu berlebihan bila mengharapkan semua lulusan teater sekolah akan menekuni teater seterusnya dan bisa menjadi aktor, aktris atau sutradara. Karena hal itu lebih bersifat pada pilihan hidup dan profesi.
Yang bisa diharapkan dari anggota teater sekolah adalah tumbuhnya karakter, watak yang berguna bagi masyarakat, melalui proses pendidikan budi pekerti, simpati dan empati terhadap penderitaan atau kebahagiaan sesama manusia.
Permasalahan teater sekolah yang paling terasa adalah minimnya pembina (biasanya dari guru bahasa Indonesia) yang memiliki kecintaan berlebih terhadap sastra/teater. Tugas membina anak didik seringkali dikerjakan sambil lalu, sekadar mengejar kredit point, dan honor tambahan. Tidak ada jiwa ngayah (ikhlas) pada mereka untuk ikut menumbuhkan budi pekerti anak didik lewat seni sastra/teater.
Yang parah lagi, ada kepala sekolah yang menganggap ekstrakurikuler sastra/teater adalah sejenis kegiatan kelas kambing, tidak bergengsi, sarang anak-anak bandel yang suka melawan sekolah. Teater menjadi ekstrakurikuler anak tiri di sekolah itu. Ada pula kepala sekolah dan orang tua siswa yang terlalu mementingkan ilmu-ilmu eksakta (fisika, biologi, kimia, matematika), dan memandang remeh ilmu humaniora yang membentuk budi pekerti, macam sastra/teater itu. Padahal mereka tahu bidang sastra pun ada hadiah nobelnya. Pendek kata, sastra/teater adalah ekstrakurikuler paling marginal di sekolah.
Banyak juga teater sekolah yang tidak memiliki pelatih tetap. Bahkan yang tragis lagi, ada beberapa sekolah (terutama swasta) yang tidak mempunyai ekstra sastra/teater sehingga bakat-bakat potensial dari siswa tidak tersalur dengan benar. Biasanya teater sekolah akan mulai menggeliat dan rame-rame mencari pelatih bila ada event lomba sastra/teater. Kalau tidak sedang menghadapi lomba, jarang yang rela latihan serius.
Nasib teater profesional lebih parah lagi. Sebagian besar sudah mati, mewarisi setumpuk kenangan usang. Para pendiri serta tokoh-tokohnya yang sebagian besar masih hidup, layaknya para veteran perang yang nyinyir mengisahkan kejayaan masa silam, ketimbang ikut suntuk memikirkan perjuangan selanjutnya, terutama menumbuhkan dan memelihara bibit-bibit baru di taman teater kita.
Teater profesional yang masih bertahan hingga kini bisa dihitung dengan jari tangan (tanpa jari kaki). Sebutlah misalnya, Teater Agustus (Gus Martin dkk), Teater Got (Agung Eksa Wijaya), Bali Eksperimental Teater (Nanoq da Kansas dkk), Sanggar Seni Banyuning (Putu Satria Kusuma dkk), Sanggar Kukuruyuk (Made Taro), Sanggar Posti (Yonas dkk), Bani Production (Dewa Jayendra dkk), Kalangan Rurung Rai (Rai Sulastra dkk), dan Komunitas Kembang Lalang yang bergerak di bidang sastra, performance art, dan seni rupa.
Bulan Maret tahun ini bisa jadi merupakan bulan terindah bagi pelaku dan pecandu teater di Bali. Ada dua event teater penting yang akan tergelar pada waktu yang hampir bersamaan. Tanggal 16-22 Maret 2003 Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Orok Unud menggelar Parade Performance Art III yang akan diikuti sejumlah grup teater dari beberapa kota di Indonesia. Pada 27 dan 29 Maret 2003 digelar lomba drama modern Pekan Seni Remaja (PSR) XIX oleh Pemkot Denpasar.
Keberanian Teater Orok dengan dana minim menggelar event teater tingkat nasional akan bersanding dengan formalitas Pemkot, yang ditunjang biaya besar menggelar PSR, tapi yang dari tahun ke tahun nyaris tanpa perubahan dan kemajuan berarti. Dalam dua event bergengsi ini, para pecandu teater akan bisa menyaksikan, menikmati dan mengukur kemajuan teater sekolah, teater kampus dan teater profesional di Bali dan beberapa kota di Indonesia.
Dengan penampilan teater-teater dari luar Bali dalam Parade Performance Art III, semoga bisa menjadi pancingan bagi para aktivis teater di Bali untuk kembali menumbuhkan dan memelihara benih-benih teater yang selama ini terlupakan. Sekali lagi, semoga!***
Penulis adalah pecandu teater dan aktivis Komunitas Kembang Lalang
Saban kali berbincang masalah teater di Bali—baik itu teater kampus, teater sekolah, maupun teater profesional—kita senantiasa akan terjebak dalam romantisme berkepanjangan. Kita hanya bisa mengenang—seringkali tanpa sudi berbuat sesuatu— kejayaan masa lalu teater di Bali, era 1980-an dan 1990-an, di mana kelompok-kelompok teater bermunculan bagai laron di musim penghujan. Dan sebagaimana layaknya laron, teater yang jumlahnya lumayan banyak itu, satu per satu melepas sayapnya, lalu mati dengan mewarisi sekelumit kisah kejayaan.
Sang waktu dan sejarah telah mencatat, ada puluhan teater yang pernah meramaikan dunia perteateran di Bali pada era itu. Kelompok-kelompok teater itu tersebar hampir di semua kabupaten di Bali. Namun yang paling menonjol adalah tiga titik pertumbuhan teater yang sangat pesat, yaitu Denpasar, Singaraja dan Negara dengan para tokohnya yang rata-rata sudah dikenal di tingkat nasional.
Dari kalangan teater kampus, Bali pernah mencatat keberadaan Teater Keliling, Teater Kluster, Sanggar Purbacaraka (Fakultas Sastra Unud), Teater Yusticia Fak. Hukum Unud, Teater Equilibrium Fak. Ekonomi Unud, Teater Hipokrates Fak.Kedokteran Unud, Teater Semar Fak.Pertanian Unud, Teater Orok Unud, Teater Seribu Jendela IKIP Singaraja, Teater Kampus Univ. Warmadewa, Teater Kampus Unhi.
Di kalangan sekolah, muncul Teater Angin SMU 1 Denpasar, Teater Topeng SMU 2 Denpasar, Teater Trisma SMU 3 Denpasar, Teater Blabar SMU 4 Denpasar, Teater SMU 5 Denpasar, Teater SMU 6 Denpasar, Teater Antariksa SMU 7 Denpasar, Teater Ombak, Sanggar Jineng Smasta, Teater Gugat SMU Santo Yosep, Sanggar Cipta Budaya SMP 1 Denpasar, Teater Lingkar SMP 2 Denpasar, Teater SMP 3 Denpasar, Sanggar Yogiswari SMP 10 Denpasar, dan sebagainya.
Bali juga mencatat kehadiran teater profesional, seperti Sanggar Putih, Sanggar Minum Kopi, Teater Agustus, Teater Mini Badung, Teater Poliklinik, Sanggar Binduana Klungkung, Sanggar Posti, Teater Got, Sanggar Seni Banyuning-Buleleng, Teater Kene, Sanggar Susur, Teater GAR, Bali Eksperimental Teater, Sanggar Jukut Ares Tabanan, Teater Mentah, Sanggar Nyuh Gading, Sanggar Arak Api Ubud, Sanggar Pondok Pekak Ubud, Teater Hitam-Putih, Sanggar Bukit Manis Buleleng, Teater Kebun Bayam, Sanggar Kokokan Talang-talang, Sanggar Surabi, Kalangan Rurung Rai, Komunitas Pojok, Komunitas Kembang Lalang, dan beberapa nama yang luput dari perhatian.
Pada mulanya, kemunculan kelompok-kelompok teater itu juga dipicu oleh adanya banyak event, parade, dan lomba teater di Bali saat itu. Sebutlah misalnya event Lomba Drama Modern yang digelar setiap dua tahun sekali oleh Fakultas Sastra Unud, Parade Performance Art oleh Teater Orok Unud, Pesta Kesenian Bali di Art Centre, Pekan Seni Remaja (PSR) Denpasar, pementasan berkala dan event-event yang bersifat insidental.
Sampai saat ini, teater kampus yang masih bertahan dan terdengar gaungnya dalam berbagai aktivitas adalah Teater Orok, Sanggar Purbacaraka dan Teater Seribu Jendela. Selebihnya tenggelam di telan zaman. Padahal di kampus Unud sendiri, pada masa-masa jayanya, hampir setiap fakultas memiliki kelompok teater. Kini tokoh-tokohnya sebagian besar menempati posisi penting, seperti menjadi dosen di alma maternya, peneliti, birokrat, pebisnis, anggota MPR, dan sebagainya.
Selama ini, kelemahan paling mendasar teater kampus di Bali adalah lemahnya manajemen organisasi dan kaderisasi. Banyak para senior teater kampus yang tidak mampu memanajemen organisasi dan para anggotanya, serta tidak sanggup menerapkan sistem kaderisasi yang baik. Karena jangka waktu perkuliahan yang relatif lama, teater kampus sebenarnya memiliki waktu kreatif yang lebih banyak, dibandingkan teater sekolah yang hanya 3 tahun. Semestinya teater kampus mampu menjadi teater yang profesional.
Teater sekolah masih relatif bertahan karena telah menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang formal dan birokratis. Namun teater sekolah yang masih aktif, dalam arti sering menggelar event sastra/teater dan pementasan, adalah Teater Angin, Teater Topeng, Teater Trisma, Teater Antariksa, Teater Blabar, Sanggar Cipta Budaya dan Teater Lingkar. Selebihnya tiada kabar berita lagi.
Sesungguhnya tujuan mulia teater sekolah adalah wadah penumbuhan dan pemeliharaan ji-wa-jiwa kreatif di bidang sastra dan drama. Terlalu berlebihan bila mengharapkan semua lulusan teater sekolah akan menekuni teater seterusnya dan bisa menjadi aktor, aktris atau sutradara. Karena hal itu lebih bersifat pada pilihan hidup dan profesi.
Yang bisa diharapkan dari anggota teater sekolah adalah tumbuhnya karakter, watak yang berguna bagi masyarakat, melalui proses pendidikan budi pekerti, simpati dan empati terhadap penderitaan atau kebahagiaan sesama manusia.
Permasalahan teater sekolah yang paling terasa adalah minimnya pembina (biasanya dari guru bahasa Indonesia) yang memiliki kecintaan berlebih terhadap sastra/teater. Tugas membina anak didik seringkali dikerjakan sambil lalu, sekadar mengejar kredit point, dan honor tambahan. Tidak ada jiwa ngayah (ikhlas) pada mereka untuk ikut menumbuhkan budi pekerti anak didik lewat seni sastra/teater.
Yang parah lagi, ada kepala sekolah yang menganggap ekstrakurikuler sastra/teater adalah sejenis kegiatan kelas kambing, tidak bergengsi, sarang anak-anak bandel yang suka melawan sekolah. Teater menjadi ekstrakurikuler anak tiri di sekolah itu. Ada pula kepala sekolah dan orang tua siswa yang terlalu mementingkan ilmu-ilmu eksakta (fisika, biologi, kimia, matematika), dan memandang remeh ilmu humaniora yang membentuk budi pekerti, macam sastra/teater itu. Padahal mereka tahu bidang sastra pun ada hadiah nobelnya. Pendek kata, sastra/teater adalah ekstrakurikuler paling marginal di sekolah.
Banyak juga teater sekolah yang tidak memiliki pelatih tetap. Bahkan yang tragis lagi, ada beberapa sekolah (terutama swasta) yang tidak mempunyai ekstra sastra/teater sehingga bakat-bakat potensial dari siswa tidak tersalur dengan benar. Biasanya teater sekolah akan mulai menggeliat dan rame-rame mencari pelatih bila ada event lomba sastra/teater. Kalau tidak sedang menghadapi lomba, jarang yang rela latihan serius.
Nasib teater profesional lebih parah lagi. Sebagian besar sudah mati, mewarisi setumpuk kenangan usang. Para pendiri serta tokoh-tokohnya yang sebagian besar masih hidup, layaknya para veteran perang yang nyinyir mengisahkan kejayaan masa silam, ketimbang ikut suntuk memikirkan perjuangan selanjutnya, terutama menumbuhkan dan memelihara bibit-bibit baru di taman teater kita.
Teater profesional yang masih bertahan hingga kini bisa dihitung dengan jari tangan (tanpa jari kaki). Sebutlah misalnya, Teater Agustus (Gus Martin dkk), Teater Got (Agung Eksa Wijaya), Bali Eksperimental Teater (Nanoq da Kansas dkk), Sanggar Seni Banyuning (Putu Satria Kusuma dkk), Sanggar Kukuruyuk (Made Taro), Sanggar Posti (Yonas dkk), Bani Production (Dewa Jayendra dkk), Kalangan Rurung Rai (Rai Sulastra dkk), dan Komunitas Kembang Lalang yang bergerak di bidang sastra, performance art, dan seni rupa.
Bulan Maret tahun ini bisa jadi merupakan bulan terindah bagi pelaku dan pecandu teater di Bali. Ada dua event teater penting yang akan tergelar pada waktu yang hampir bersamaan. Tanggal 16-22 Maret 2003 Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Orok Unud menggelar Parade Performance Art III yang akan diikuti sejumlah grup teater dari beberapa kota di Indonesia. Pada 27 dan 29 Maret 2003 digelar lomba drama modern Pekan Seni Remaja (PSR) XIX oleh Pemkot Denpasar.
Keberanian Teater Orok dengan dana minim menggelar event teater tingkat nasional akan bersanding dengan formalitas Pemkot, yang ditunjang biaya besar menggelar PSR, tapi yang dari tahun ke tahun nyaris tanpa perubahan dan kemajuan berarti. Dalam dua event bergengsi ini, para pecandu teater akan bisa menyaksikan, menikmati dan mengukur kemajuan teater sekolah, teater kampus dan teater profesional di Bali dan beberapa kota di Indonesia.
Dengan penampilan teater-teater dari luar Bali dalam Parade Performance Art III, semoga bisa menjadi pancingan bagi para aktivis teater di Bali untuk kembali menumbuhkan dan memelihara benih-benih teater yang selama ini terlupakan. Sekali lagi, semoga!***
Penulis adalah pecandu teater dan aktivis Komunitas Kembang Lalang
1 komentar:
Apa kabar teater modern Bali tahun ini?
Posting Komentar