''Malam Jahanam'' Teater Orok
18 Januari 2003
Oleh: Iwan Darmawan
Apakah eksisnya Teater Orok bisa dipakai sebagai indikator bahwa teater Bali modern belum mati? Bisa ya, cuma belum kondusif. Kondisi belum kondusif ini dalam arti belum ada sebuah pemicu sehingga bermunculan teater baru yang berlomba-lomba mengejar pencapaian kreatif. Tidak adanya festival teater tentu bisa dijadikan salah satu kambing hitam, tapi bagaimana sebuah festival akan diselenggarakan bila cuma ada dua teater yang masih hidup? Persoalan klasik ini terus menjadi bahan pembicaraan di komunitas sastra di Bali bila sebuah teater muncul atau berproduksi. Sebuah keberanian memang diperlukan, tapi apakah harus berharap pada Teater Orok?
USAI pementasan "Malam Jahanam" karya Motingge Busye di Wantilan Taman Budaya Denpasar, Sabtu (18/1), pertanyaan pertama yang penulis utarakan pada sang sutradara Tomo, adalah kenapa kelompok Teater Orok belum mati. Perkenalan pertama pada teater yang didirikan 17 Oktober 1999 ini terjadi dua tahun lalu, saat melakukan latihan di Wantilan Taman Budaya, persiapan festival teater mahasiswa nasional di Kalimantan Timur (2001).
Setelah itu, Teater Orok terlupakan sampai sebuah billboard sederhana yang dipasang di depan kampus Unud mengabarkan bahwa teater kampus Universitas Udayana ini akan mempertunjukan produksi terbarunya. Mengejutkan tentu. Karenanya, timbul dalam pikiran pertama kali adalah kenapa Teater Orok belum juga mati, sementara teater lainnya di Bali cuma bisa diingat dari "nisan" karya-karyanya saja.
Lalu, masih eksisnya Teater Orok ini apakah bisa dipakai sebagai indikator bahwa teater Bali modern belum mati? Sebelum menjawab ini, orang juga harus mengingat kembali bahwa ada satu teater modern lagi yang masih giat bekerja, yakni teater Komunitas Seni Banyuning (KSB) pimpinan Putu Satria Kusuma yang memiliki home base di Buleleng. Dua teater ini tentu bisa dipakai sebagai tolok ukur bahwa teater modern Bali belum mati, cuma belum kondusif. Kondisi belum kondusif dalam arti belum ada sebuah pemicu sehingga bermunculan teater baru yang berlomba-lomba mengejar pencapaian kreatif. Tidak adanya festival teater tentu bisa dijadikan salah satu kambing hitam, tapi bagaimana sebuah festival akan diselenggarakan bila cuma ada dua teater yang masih hidup? Seperti menanyakan mana yang lebih dulu ayam atau telor jadinya.
Persoalan klasik ini terus menjadi bahan pembicaran di komunitas sastra di Bali bila sebuah teater muncul atau berproduksi, lalu siapa yang harus mengambil alih. Sebuah keberanian diperlukan, tapi apakah harus berharap pada Teater Orok? Tentu masih harus ditunggu.
Agak Kedodoran
Kembali kepada aktivitas Teater Orok yang malam itu langsung "diadili", Tomo sang sutradara jelas-jelas mengakui bahwa produksinya memang agak kedodoran, khususnya dalam vokal pemain yang belum maksimal. Selain itu, yang agak mengejutkan karena Teater Orok yang selama ini selalu menampilkan gaya kontemporer atau malah absurd, malah mengambil "Malam Jahanam" -- sebuah naskah realis.
Pada posisi mana pun teater Orok saat ini, tentu yang patut diacungi jempol adalah keberaniannya melakukan pementasan teater modern Bali di Taman Budaya, yang notabene sepi bila tidak ada pertunjukan atau Pesta Kesenian Bali (PKB). Pun keberhasilannya mengelola penonton (mengundang) sehingga ruang Wantilan penuh sesak, berbeda dengan teater lain yang hanya ditonton "teman-teman" saja akibat tidak mampu mendatangkan penonton.
"Malam Jahanam" yang bercerita tentang perselingkuhan antara Soleman (Agung Hary) dengan Paijah (Ratna Ariyati) istri dari Mat Kontan (Kori). Namun naskah menjadi kehilangan kejahanamannya karena dimainkan rada komedi, entah sengaja atau tidak. Kemampuan vokal yang sedang-sedang saja di tengah keramaian penonton membuat dialog terjadi terpatah-patah sehingga pesan tidak tersampaikan pada penonton. Permainanan teater akhirnya terlihat monoton. Untung ada tokoh Utay si orang sinting (Yosep Maulana) yang malah muncul dengan enteng dan setiap gerakannya mengundang tawa. Sisipan tokoh tukang pijat (Ines) seperti dipaksakan karena hampir tidak mempengaruhi plot. Penonton yang tidak pernah tahu naskah Motingge Busye ini bisa menebak bahwa tokoh tukang pijat itu ada, tapi membingungkan posisinya.
Tomo kembali memberi pembelaan bahwa mereka baru belajar dan sedang bermain-main di wilayah kreatif. Tentu pembelaan ini harus diterima dengan lapang dada. Hanya persoalannya, kalau Teater Orok yang sudah memiliki pengalaman mementaskan banyak karya terus bermain-main, lalu apa yang bisa ditunggu kecuali kematiannya? Maka, harapan besar ditumpukan pada Teater Orok untuk tidak segera lengser, tentu dengan membangun manajemen yang baik dan kaderisasi yang mapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar