Kampus Universitas Udayana Denpasar-Bali 16-22 Maret 2003
Mungkin sebelumnya saya minta maaf dulu buat kawan-kawan yang nilai pelajaran bahasa Indonesia-nya di bawah 7, cuma kalo mo belajar soal sastra ya nggak papa sih. Sebelum tahun ’50 kita, kita kenal nama-nama tokoh teater seperti : Usmar Ismail, Asrul Sani, Idrus, Trisno Sumardjo. Sedang tahun di tahun ’50 an kita kenal Utuy Tatang Sontani, Sitor Situmorang, Rustandi Kartakusuma dkk. Di tahun ’60 an buku pelajaran sekolah kita mencatat nama-nama seperti Motinggo Bosye, Kirjomulyo, WS Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Iwan Simatupang dll. Sehingga nggak heran kita sempat punya sutradara-sutradara film yang handal di tahun 60 an hingga awal 80 an, setelah itu kita punya nama-nama sutradara film-film ranjang yang nggak pantes di bangga kan.
Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta, Cau Bau Kan harus diakui adalah film yang jadi kebangkitan dunia perfilman nasional. Dengan didukung semangat, kematangan penyutradaraan, kuatnya karakter para aktor dan aktris dan sokongan tim marketing membuat fim ini jadi tren setter (sorry buat mas Garin dan Harry, abis film anda nggak terlalu ditonton orang sih). Kemunculan kedua film ini lalu di ikuti oleh beberapa film yang lain seperti Joshua oh Joshua, Jailangkung, Andai Dia Tahu, Rumah Ke Tujuh de el el yang sayangnya kurang didukung oleh kemampuan dalam oleh vokal, gesture tubuh, intonasi dialog, mimik dan akting para pemeran. Selain itu rasa keinginan sutradara untuk secepatnya menyelesaikan film membuat naskah, penonton, alur film dan si aktor menjadi tidak menyatu (bahasa gue film-nya basi).
Tak heran kadang kita bisa dengan mudahnya menebak kemampuan seorang pemeran fim dari ketidakmampuannya memerankan sang tokoh dalam naskah, yang ada adalah kemunculan individu pemeran tersebut mempengaruhi sang tokoh dalam film tersebut. Ya, karena emang untuk saat ini bintang-bintang sinetron atau film tersebut tidak memiliki bekal kemampuan dalam bidang teater, ya jangan salahkan mereka kalo kadang akting mereka ya gitu-gitu aja meski sutradaranya atau penulis naskahnya lulusan dari luar negeri sana. Dan herannya kenapa sih yang jadi artis Indonesia wajib bertampang indo jarang banget yang face-nya eksotis paling Lola Amaria, nggak seperti industri film di luar negeri yah kiblat kita Hollywood. Di sana bukan hal yang aneh kalo kadang kita nemu in tampang-tampang negro ruwet yang diliat aja ogah tapi aktingnya top punya.
Kemapanan versus Kemauan
Di tengah geliat teater tradisional di kancah nasional seperti wayang, ketoprak, ludruk, srimulat, lenong. Kawan-kawan Teater Orok Noceng Universitas Udayana yang dengan gagah berani mengadakan (dengan minim biaya) event teater tingkat nasional mendahului Pekan Seni Remaja XIX tingkat Bali yang diadakan oleh Pemkot Denpasar dengan segala kemapanannya.
Romantisme, itu kata pertama kita kalo ngomongin tentang dunia teater di Bali. Kenapa ?, karena sempat pada era ’80 an dan ’90 an di Bali (tepatnya Denpasar, Negara dan Singaraja) beberapa komunitas teater mucul di kalangan mahasiswa, pelajar dan profesional. Contoh aja Teater Keliling, Teater Kluster, Sanggar Purbacaraka (Fak Sastra Unud); Teater Yusticia (Fak hukum Unud); Teater Equilibrium (Fak ekonomi Unud); Teater Hipocrates (Fak Kedokteran Unud); Teater Semar (Fak Pertanian Unud); Teater Orok (Unud); Teater Seribu Jendela (IKIP Singaraja); Teater Kampus (Univ Marwadewa) dan Teater Univ Hindu Indonesia.
Di kalangan sekolah, ada Teater Angin (SMU 1 Denpasar); Teater Topeng (SMU 2 Denpasar); Teater Trisma (SMU 3 Denpasar); Teater Blabar (SMU 4 Denpasar); Teater SMU 5 Denpasar; Teater SMU 6 Denpasar; Teater Antariksa (SMU 7 Denpasar); Teater Ombak, Sanggar Jineng Smasta, Teater Gugat (SMU Santo Yosep); Sanggar Cipta Budaya (SMP 1 Denpasar), Teater Lingkar (SMP 2 Denpasar), Teater SMP 3 Denpasar; Sanggar Yogiswari (SMP 10 Denpasar) dst.
Di kalangan profesional ada Sanggar Putih, Sanggar Minum Kopi, Teater Agustus, Teater Mini (Badung); Teater Poliklinik, Sanggar Binduana (Klungkung); Sanggar Posti, Teater Got, Sanggar Seni Banyuning (Buleleng); Teater Kene, Sangar Susur, Teater GAR, Bali Eksperimental Teater, Sanggar Jukut Ares (Tabanan); Teater Mentah, Sanggar Nyuh Gading, Sanggar Arak Api, Sanggar Pondok Pekak (Ubud-Gianyar); Teater Hitam-Putih, Sanggar Bukit Manis (Buleleng) de el el.
Awal kemuculan mereka gara-gara booming event, parade kesenian dan lomba kesenian. Hingga saat ini hanya 3 kelompok teater kampus yang masih terdengar seperti Teater Orok, Sanggar Purbacaraka dan Teater Seribu Jendela, lainnya entah kemana. Padahal kini para veteran teater kampus sudah menjelma menjadi dosen di almamaternya, birokrat, peneliti, bisnisman, anggota MPR dst. Kelemahan mendasar dari mereka adalah rendahnya mutu manajemen dan sistem kaderasisasi.
Sedang untuk kelompok Teater Sekolah hanya Teater Angin, Teater Topeng, Teater Trisma, Teater Antariksa, Teater Blabar, Sanggar Cipta Budaya dan Teater Lingkar yang masih eksis. Permasalahan terkrusial dari teater sekolah adalah bejibunnya birokrat sekolah yang mata duitan sehingga menganggap kegiatan teater cuma sarang anak-anak pemberontak, kegiatan kelas kampung, kurang pintar. Hal ini wajib dimaklumi karena secara umum kalangan orang tua hanya memandang sebelah mata pada ilmu-ilmu humaniora (bahasa dan ilmu sosial) yang didalamnya adalah pembentukan budi pekerti bagi kehidupan sosial mereka nanti. Anak-anak sekolah hanya dipaksa untuk belajar ilmu eksata (Fisika, Matematika, Biologi dll), akibatnya generasi Indonesia kering budi pekerti, kasar, anti sosial, tukang korupsi dll.
Nah untuk kelompok teater profesional yang masih berkibar hanya Teater Agustus (Gus Martin dkk), Teater Got (Agung Eksa Wijaya), Bali Eksperimental Teater (Nanoq da Kansas dkk), Sanggar Seni Banyuning (Putu Satria Kusuma dkk), Sanggar Kukuruyuk (Made Taro), Sanggar Posti (Yonas dkk), Bani Production (Dewa Jayendra dkk), Kalangan Rurung Rai (Rai Sulastra dkk) dan Komunitas Kembang Lanang yang bergerak di bidang sastra, performance art dan seni rupa.
Dari Seluruh Nusantara mereka berkumpul
Pementasan teater ini didukung oleh seluruh teater kampus dan beberapa teater sekolah seperti Teater Sianak (Unsoed Purwokerto), Teater Gabi (Unsri Palembang), Teater Pagupon (UI Jakarta), Teater Putih (Unram Mataram), Teater Kampus (Unhas Makasar), Teater Himasindo (Unlam Banjarmasin), Bengkel Sastra Indonesia (Unhalu Kendari), Sanggar Purbacaraka (Unud Bali), Teater Titik Dua (UNM Makasar), Teater Hampa (Univ Malang), Teater Bening (STKIP Hamzan Wadi NTB), Teater Talas (UMM Makasar), Teater Institut (Unesa Surabaya), Sanggar Bahana Antasari (IAIN Antasari Banjarmasin), Studi Teater (IKJ Jakarta), Forum Apresiasi Sastra (Unlam Banjarmasin), Teater Kampus (UNM Makasar), Teater Yupa (Unmul Samarinda), Teater Satu Mei (Stimik Handayani Makasar), UPKSBS (UMI Makasar), Sanggar Seni (STIEM Makasar), Sang Dipa ( Stimik Dipanagara Makasar), UKM Seni Budaya Esa (IAIN Alaudin Makasar), Bengkel Sastra (UNM Makasar), Teater Halouleo (Unhalu Kendari), Teater Topeng (SMU 2 Denpasar), Teater Blabar (SMU 4 Denpasar), Teater Syahkuala (Nanggroe Aceh Darrusalam), Teater Nol (Nanggroe Aceh Darrusalam) dan Teater Rongsokan (Nanggroe Aceh Darrusalam). Ditambah pementasan Cok Sawitri, Yuanita Ramadhani dan W.S Rendra.
Total selama sepekan seluruh pecandu sastra dan orang-orang gila di kampus Universitas Udayana terpuaskan oleh segala cerita dan tingkah polah manusia-manusia aneh tersebut. Nggak tanggung kalo boleh dibilang, contoh aja demi sebuah setting sumur khas kampung-kampung di indonesia. Anak-anak Sanggar Bahana Antasari sampe beneran bikin sumur plus air (bener-bener nih) untuk adegan MCK (Mandi Cuci dan Kumur-kumur) di sumur. Menarik sih menarik cuma bikin gue yang punya tanggung jawab sound sytem deg-deg an. Nggak Cuma performing art aja kawan-kawan teater juga pada kompakan untuk aksi solidaritas anti perang, wujudnya aksi diam karena toh mo teriak-teriak Bush dan Saddam tetep aja cuek bebek maen perang-perangan.
Mungkin sebelumnya saya minta maaf dulu buat kawan-kawan yang nilai pelajaran bahasa Indonesia-nya di bawah 7, cuma kalo mo belajar soal sastra ya nggak papa sih. Sebelum tahun ’50 kita, kita kenal nama-nama tokoh teater seperti : Usmar Ismail, Asrul Sani, Idrus, Trisno Sumardjo. Sedang tahun di tahun ’50 an kita kenal Utuy Tatang Sontani, Sitor Situmorang, Rustandi Kartakusuma dkk. Di tahun ’60 an buku pelajaran sekolah kita mencatat nama-nama seperti Motinggo Bosye, Kirjomulyo, WS Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Iwan Simatupang dll. Sehingga nggak heran kita sempat punya sutradara-sutradara film yang handal di tahun 60 an hingga awal 80 an, setelah itu kita punya nama-nama sutradara film-film ranjang yang nggak pantes di bangga kan.
Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta, Cau Bau Kan harus diakui adalah film yang jadi kebangkitan dunia perfilman nasional. Dengan didukung semangat, kematangan penyutradaraan, kuatnya karakter para aktor dan aktris dan sokongan tim marketing membuat fim ini jadi tren setter (sorry buat mas Garin dan Harry, abis film anda nggak terlalu ditonton orang sih). Kemunculan kedua film ini lalu di ikuti oleh beberapa film yang lain seperti Joshua oh Joshua, Jailangkung, Andai Dia Tahu, Rumah Ke Tujuh de el el yang sayangnya kurang didukung oleh kemampuan dalam oleh vokal, gesture tubuh, intonasi dialog, mimik dan akting para pemeran. Selain itu rasa keinginan sutradara untuk secepatnya menyelesaikan film membuat naskah, penonton, alur film dan si aktor menjadi tidak menyatu (bahasa gue film-nya basi).
Tak heran kadang kita bisa dengan mudahnya menebak kemampuan seorang pemeran fim dari ketidakmampuannya memerankan sang tokoh dalam naskah, yang ada adalah kemunculan individu pemeran tersebut mempengaruhi sang tokoh dalam film tersebut. Ya, karena emang untuk saat ini bintang-bintang sinetron atau film tersebut tidak memiliki bekal kemampuan dalam bidang teater, ya jangan salahkan mereka kalo kadang akting mereka ya gitu-gitu aja meski sutradaranya atau penulis naskahnya lulusan dari luar negeri sana. Dan herannya kenapa sih yang jadi artis Indonesia wajib bertampang indo jarang banget yang face-nya eksotis paling Lola Amaria, nggak seperti industri film di luar negeri yah kiblat kita Hollywood. Di sana bukan hal yang aneh kalo kadang kita nemu in tampang-tampang negro ruwet yang diliat aja ogah tapi aktingnya top punya.
Kemapanan versus Kemauan
Di tengah geliat teater tradisional di kancah nasional seperti wayang, ketoprak, ludruk, srimulat, lenong. Kawan-kawan Teater Orok Noceng Universitas Udayana yang dengan gagah berani mengadakan (dengan minim biaya) event teater tingkat nasional mendahului Pekan Seni Remaja XIX tingkat Bali yang diadakan oleh Pemkot Denpasar dengan segala kemapanannya.
Romantisme, itu kata pertama kita kalo ngomongin tentang dunia teater di Bali. Kenapa ?, karena sempat pada era ’80 an dan ’90 an di Bali (tepatnya Denpasar, Negara dan Singaraja) beberapa komunitas teater mucul di kalangan mahasiswa, pelajar dan profesional. Contoh aja Teater Keliling, Teater Kluster, Sanggar Purbacaraka (Fak Sastra Unud); Teater Yusticia (Fak hukum Unud); Teater Equilibrium (Fak ekonomi Unud); Teater Hipocrates (Fak Kedokteran Unud); Teater Semar (Fak Pertanian Unud); Teater Orok (Unud); Teater Seribu Jendela (IKIP Singaraja); Teater Kampus (Univ Marwadewa) dan Teater Univ Hindu Indonesia.
Di kalangan sekolah, ada Teater Angin (SMU 1 Denpasar); Teater Topeng (SMU 2 Denpasar); Teater Trisma (SMU 3 Denpasar); Teater Blabar (SMU 4 Denpasar); Teater SMU 5 Denpasar; Teater SMU 6 Denpasar; Teater Antariksa (SMU 7 Denpasar); Teater Ombak, Sanggar Jineng Smasta, Teater Gugat (SMU Santo Yosep); Sanggar Cipta Budaya (SMP 1 Denpasar), Teater Lingkar (SMP 2 Denpasar), Teater SMP 3 Denpasar; Sanggar Yogiswari (SMP 10 Denpasar) dst.
Di kalangan profesional ada Sanggar Putih, Sanggar Minum Kopi, Teater Agustus, Teater Mini (Badung); Teater Poliklinik, Sanggar Binduana (Klungkung); Sanggar Posti, Teater Got, Sanggar Seni Banyuning (Buleleng); Teater Kene, Sangar Susur, Teater GAR, Bali Eksperimental Teater, Sanggar Jukut Ares (Tabanan); Teater Mentah, Sanggar Nyuh Gading, Sanggar Arak Api, Sanggar Pondok Pekak (Ubud-Gianyar); Teater Hitam-Putih, Sanggar Bukit Manis (Buleleng) de el el.
Awal kemuculan mereka gara-gara booming event, parade kesenian dan lomba kesenian. Hingga saat ini hanya 3 kelompok teater kampus yang masih terdengar seperti Teater Orok, Sanggar Purbacaraka dan Teater Seribu Jendela, lainnya entah kemana. Padahal kini para veteran teater kampus sudah menjelma menjadi dosen di almamaternya, birokrat, peneliti, bisnisman, anggota MPR dst. Kelemahan mendasar dari mereka adalah rendahnya mutu manajemen dan sistem kaderasisasi.
Sedang untuk kelompok Teater Sekolah hanya Teater Angin, Teater Topeng, Teater Trisma, Teater Antariksa, Teater Blabar, Sanggar Cipta Budaya dan Teater Lingkar yang masih eksis. Permasalahan terkrusial dari teater sekolah adalah bejibunnya birokrat sekolah yang mata duitan sehingga menganggap kegiatan teater cuma sarang anak-anak pemberontak, kegiatan kelas kampung, kurang pintar. Hal ini wajib dimaklumi karena secara umum kalangan orang tua hanya memandang sebelah mata pada ilmu-ilmu humaniora (bahasa dan ilmu sosial) yang didalamnya adalah pembentukan budi pekerti bagi kehidupan sosial mereka nanti. Anak-anak sekolah hanya dipaksa untuk belajar ilmu eksata (Fisika, Matematika, Biologi dll), akibatnya generasi Indonesia kering budi pekerti, kasar, anti sosial, tukang korupsi dll.
Nah untuk kelompok teater profesional yang masih berkibar hanya Teater Agustus (Gus Martin dkk), Teater Got (Agung Eksa Wijaya), Bali Eksperimental Teater (Nanoq da Kansas dkk), Sanggar Seni Banyuning (Putu Satria Kusuma dkk), Sanggar Kukuruyuk (Made Taro), Sanggar Posti (Yonas dkk), Bani Production (Dewa Jayendra dkk), Kalangan Rurung Rai (Rai Sulastra dkk) dan Komunitas Kembang Lanang yang bergerak di bidang sastra, performance art dan seni rupa.
Dari Seluruh Nusantara mereka berkumpul
Pementasan teater ini didukung oleh seluruh teater kampus dan beberapa teater sekolah seperti Teater Sianak (Unsoed Purwokerto), Teater Gabi (Unsri Palembang), Teater Pagupon (UI Jakarta), Teater Putih (Unram Mataram), Teater Kampus (Unhas Makasar), Teater Himasindo (Unlam Banjarmasin), Bengkel Sastra Indonesia (Unhalu Kendari), Sanggar Purbacaraka (Unud Bali), Teater Titik Dua (UNM Makasar), Teater Hampa (Univ Malang), Teater Bening (STKIP Hamzan Wadi NTB), Teater Talas (UMM Makasar), Teater Institut (Unesa Surabaya), Sanggar Bahana Antasari (IAIN Antasari Banjarmasin), Studi Teater (IKJ Jakarta), Forum Apresiasi Sastra (Unlam Banjarmasin), Teater Kampus (UNM Makasar), Teater Yupa (Unmul Samarinda), Teater Satu Mei (Stimik Handayani Makasar), UPKSBS (UMI Makasar), Sanggar Seni (STIEM Makasar), Sang Dipa ( Stimik Dipanagara Makasar), UKM Seni Budaya Esa (IAIN Alaudin Makasar), Bengkel Sastra (UNM Makasar), Teater Halouleo (Unhalu Kendari), Teater Topeng (SMU 2 Denpasar), Teater Blabar (SMU 4 Denpasar), Teater Syahkuala (Nanggroe Aceh Darrusalam), Teater Nol (Nanggroe Aceh Darrusalam) dan Teater Rongsokan (Nanggroe Aceh Darrusalam). Ditambah pementasan Cok Sawitri, Yuanita Ramadhani dan W.S Rendra.
Total selama sepekan seluruh pecandu sastra dan orang-orang gila di kampus Universitas Udayana terpuaskan oleh segala cerita dan tingkah polah manusia-manusia aneh tersebut. Nggak tanggung kalo boleh dibilang, contoh aja demi sebuah setting sumur khas kampung-kampung di indonesia. Anak-anak Sanggar Bahana Antasari sampe beneran bikin sumur plus air (bener-bener nih) untuk adegan MCK (Mandi Cuci dan Kumur-kumur) di sumur. Menarik sih menarik cuma bikin gue yang punya tanggung jawab sound sytem deg-deg an. Nggak Cuma performing art aja kawan-kawan teater juga pada kompakan untuk aksi solidaritas anti perang, wujudnya aksi diam karena toh mo teriak-teriak Bush dan Saddam tetep aja cuek bebek maen perang-perangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar