Kelompok Teater La-Jose SMUK Santo Yoseph Denpasar pada 16-22 Desember 2003 lalu menyelenggarakan acara bertajuk ''Gelar Teater La-Jose se-Bali 2003'' (Gatel se-Bali) yang dilangsungkan di Aula SMUK Santo Yoseph, Jl. Serma Kawi No. 4 Denpasar. Ada sembilan grup teater yang melibatkan diri tampil dalam acara ini. Masing-masing Cok Sawitri, Kelompok Satu Kosong Delapan, Komunitas Botol Bening, Teater Air Tanah Fapet Unud, Teater Orok, Teater Tanah Air (Tanjung Bungkak), Teater Topeng, Kolaborasi Dapur Teater UKM Dhyana Pura, Teater Matamoe, dan Teater La-Jose.
SELAMA sepekan para penonton telah disuguhi beragam pertunjukan drama dari masing-masing grup teater dengan beragam model pemanggungan drama yang cukup menarik, mulai dari jenis realis, surealis hingga absurd-kontemporer atau drama alternatif yang secara rata-rata memang layak tonton.
Teater Cok Sawitri misalnya, menyuguhkan cerita berjudul "Anjing Perempuanku" karya Cok sendiri. Drama berlatar puisi yang menggambarkan tokoh perempuan (anjing perempuan) yang dijadikan "pemimpin boneka" oleh Lembaga Permusyawaratan Anjing. Kelompok Teater Satu Kosong Delapan pimpinan Giri Ratomo menyuguhkan nomor monolog bertajuk "Ssst... Diam!" karya Giri Ratomo, menghadirkan cerita pergulatan batin seorang yang sedang berjuang untuk membebaskan diri dan memerdekakan keadaan dari segala kungkungan dan aturan-aturan yang tak jelas.
Komunitas Botol Bening menampilkan drama "Langit Runtuh" garapan sutradara Yos, mengisahkan kegelisahan sekelomopok manusia yang merasa tak lagi mampu berbuat banyak untuk mengubah keadaan dan nasibnya menjadi lebih baik lantaran keadaan yang membelenggunya, hingga akhirnya jadi apatis dan pasrah saja pada "takdir" karena pada akhirnya toh langit bakal runtuh juga.
Teater Air Tanah Fapet Unud menyuguhkan "Burung-burung Nyasar" karya Rabindranat Tagore, sebuah drama puitika yang disajikan dalam bentuk teater gerak dengan eksplorasi olah tubuh yang dipadukan dengan dialog-dialog (baca: pelisanan) puisi, atas arahan Cok Sawitri. Teater Orok tampil dengan lakon "Tumirah Sang Mucikari" karya Seno Gumira Adjidarma garapan sutradara Dedy Dwiyanto, yang mengisahkan tentang nasib buram dan duka-lara kehidupan para pelacur dalam mengarungi hidup dan mengadu nasib yang acapkali harus berbenturan dengan berbagai persoalan dan deraan hidup yang menghimpit.
Teater Tanah Air (Tanjung Bungkak) asuhan Dewa Jayendra mempersembahkan "Sang Kala" (Menunggu Waktu), menggambarkan tentang pertarungan dua sisi kehidupan (hitam dan putih), kejahatan-keserakahan-kebiadaban yang senantiasa melingkupi dan mendera kancah kehidupan, sementara pihak yang berada pada posisi kurban yang tertekan mesti berjuang dengan ketidakberdayaannya serta membutuhkan pertolongan. Kekuasaan berdasarkan atas kekerasan dan intrik menjadi bagian dari perang urat syaraf antar-elite yang menghiasi pementasan drama yang disutradarai Dewa Jayendra tersebut.
Teater Topeng SMUN 2 Denpasar menampilkan lakon "Soak" karya/sutradara Giri Ratomo. Sebuah drama surealis-kontemporer yang menyajikan cerita tentang eksperimen sebuah laboratorium manusia yang dijadikan percobaan dengan segala racikan obat untuk menghasilkan manusia baru yang lebih sempurna, yang pada akhirnya justru mengakibatkan bencana dan jatuhnya korban kegagalan, lantaran kesombongan manusia itu sendiri. Sedangkan Kolaborasi Dapur Teater UKM Dhyana Pura dan Teater Matamoe UKM STIE Triatma Mulya menyuguhkan drama bertajuk "Kebebasan Abadi" karya CM Nas. Drama yang disutradarai Hadi Karnia ini dikemas dalam bentuk pemanggungan drama realis-klasikal ala "sandiwara-tujuhbelasan" pada 1970-an. Ceritanya memang terkait dengan kisah perjuangan kemerdekaan, tentang kehidupan sekelompok pejuang yang sedang bersembunyi di sebuah pulau kecil yang akhirnya semuanya mengalami kematian yang tragis akibat konflik antar-mereka sendiri.
Teater La-Jose yang tampil pada malam terakhir menggarap lakon "Lysistrata" karya Aristophanes yang disutradarai Dadi Reza Pujiadi. Naskah dunia-saduran/terjemahan WS Rendra - yang diperkuat sekitar 20 pemain ini tentu sudah tak asing lagi bagi para pecinta teater. Sebuah drama yang mengisahkan tentang "pemberontakan" kaum perempuan Yunani yang berjuang untuk menentang perang antara Athena dan Sparta yang dilakukan oleh para lelaki. Para wanita yang dipimpin oleh Lysistrata itu melakukan protes terhadap para lelaki dengan berbagai cara mulai dari perlawanan secara fisik, diplomatik, hingga mogok melakukan "anu" dengan para suaminya selama sepekan, yang akhirnya berhasil mencegah perang dan ditandatangani kesepakatan damai antara Athena dan Sparta.
Bersungguh-sungguh
Secara keseluruhan, drama-drama yang disuguhkan oleh para grup teater di ajang "Gatel se-Bali 2003" ini cukup menarik. Rata-rata para petampil mampu menyajikan pentas dramanya secara memadai dan menarik untuk ditonton dengan segala kekurangan dan kelebihan dalam kapasitasnya masing-masing. Setidaknya, sebagian besar di antaranya telah menunjukkan kesungguh-sungguhannya dalam menggarap dan menghadirkan dramanya. Grup-grup teater yang tampil sepertinya memang nampak bersungguh-sungguh. Rata-rata grup yang tampil adalah para "pendatang baru" dalam kancah perteateran (modern) di Bali, baik secara grup maupun individu. Hanya Cok Sawitri yang bisa dibilang senior, selebihnya rata-rata orang baru atau pemula.
Namun, sebagian dari mereka justru berhasil tampil dengan garapan pemanggungan drama yang mengagumkan. Sebutlah Teater La-Jose, Kelompok 108, Tanah Air (Tanjung Bungkak), yang berhasil tampil memikat dan mampu bersaing dengan penampilan Cok Sawitri. Kelompok 108 sukses dengan permainan monolog Giri Ratomo, mantan ketua dan pendiri Teater Orok yang sudah punya cukup pengalaman di panggung teater, bahkan pernah terpilih sebagai Aktor Pembantu Terbaik dalam "Festival Teater Mahasiswa Nasional di Kaltim" (2001).
Teater Tanah Air (Tanjung Bungkak) yang sebagian dari anggotanya adalah alumni Teater Antariksa SMUN 7 Denpasar, plus anak-anak dari SMUN 1 Sukawati, berhasil tampil cukup memikat dengan pemanggungan drama surealis yang mengadaptasi unsur-unsur estetika berbagai seni pertunjukan semacam drama tradisional dan tari kontemporer. Namun, drama dengan para pemain pemula ini tentu saja masih memiliki lubang-lubang kelemahan terutama pada vokal yang sering tak terjaga artikulasi dan tempo pengucapannya, kurang pengendalian emosi beberapa tokohnya, serta adegan gerak-dramatika yang sebenarnya sudah sangat simbolik dan estetik masih dijelas-jelaskan lagi dengan ungkapan kalimat verbal.
Pementasan dari Teater La-Jose, misalnya juga, adalah pementasan yang berhasil. Dalam kapasitasnya sebagai teater sekolah yang baru berusia satu tahun, apalagi para pemainnya rata-rata masih kelas 1, tapi berani dan berhasil memainkan lakon kelas dunia seperti "Lysistrata", tentu sungguh mengagumkan. Anak-anak asuhan sutradara muda Dadi Reza Pujiadi ini bahkan berhasil melakonkan drama itu dengan permainan yang cemerlang. Mereka mampu membangun kekompakan, menjaga keutuhan cerita dan pemanggungannya dengan dinamika dramatik sejak awal hingga akhir pementasan dengan baik. Mereka bahkan berhasil "membahasakan" lakon ini secara tepat baik lewat akting, dialog, ekspresi, pengadegan yang variatif dan hidup. Kalau saja acara ini bisa dianggap sebagai festival atau lomba, boleh jadi penampilan Teater La-Jose akan berhasil menempati peringkat atas, dibanding grup-grup lain.
Punya Harapan
Pementasan dari grup-grup yang lain tentu saja tak kalah menarik juga untuk diapresiasi. Sebut saja Teater Air Tanah Fapet Unud yang boleh dibilang "mewakili" model teater gerak yang mengutamakan kemampuan eksplorasi olah tubuh. Ini tentu juga menjadi kekayaan tambahan bagi khazanah perteateran modern di Bali. Namun, perlu dicatat, eksperimen yang dilakukan grup teater ini belum menemukan bentuknya sendiri, "bahasa tubuh" dengan "bahasa ucap"-nya juga masih berjalan sendiri-sendiri.
Penampilan Teater Matamoe dan Teater Dhyana Pura pun menarik dalam gaya dan warnanya sendiri. Drama yang benar-benar tampil dengan "pola lama" ini tentu cukup baik sebagai contoh untuk pembelajaran bagi para pemula. Meski, lantaran saking taatnya mematuhi aturan dalam penerapan bloking dan gerak pemainnya, hingga drama tersebut jadi nampak kaku, klise, bahkan terkesan kedaluwarsa.
Grup-grup teater lainnya seperti Orok, Topeng, Komunitas Botol bening, juga memiliki kemampuan yang layak diharapkan masa depannya. Teater Orok yang berani tampil sepenuhnya dengan anggota barunya yang masih sangat "hijau" tentu memang belum mampu unjuk gigi sekelas seniornya. Pun Teater Topeng yang hadir dengan gaya-warna baru nampak ada tanda-tanda perkembangan yang cukup berarti dengan para pemain berbakat yang belum tergarap lebih maksimal. Komunitas Botol Bening yang selama ini lebih populer sebagai grup musik, toh memiliki semangat tinggi bermain drama.
Ketua Panitia "Gatel se-Bali 2003", AA Ayu Savitri, mengatakan, event seperti yang digelarnya ini memang dimaksudkan sebagai ajang pembelajaran dalam berteater. Apalagi Kepala SMUK Santo Yoseph, Drs. Piet Nengah Suena telah berjanji akan menjadikan event ini sebagai kegiatan rutin tahunan, maka grup-grup teater tersebut bisa bertemu dan saling belajar lagi tahun depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar