>>Surat dari Abu Bakar di USA<<
Tomo.
Karena kupikir kau Islam maka kepadamu ucapan Lebaran itu kukirim. Setidaknya dalam dugaanku kau bukan Hindhu bukan Kristiani apalagi Budha maka "gebyah uyah" meleset juga tak apa. Artinya melihat tingkah polahmu prosentase Atheis juga tinggi ada padamu, seperti aku. Jelas dari pengamatan Google Earth kurusmu tak terlihat di lapangan Puputan itu dalam jajaran mereka yang ikut solad Ied. Jadi sekali lagi selamat Lebaran maaf lahir bathin. Kepada teman-teman lain yang juga punya nama "bau-bau" aku minta maaf, sekalipun sejujurnya aku amat meragukan efektifitas greeting macam begitu. Khawatir jatuhnya cuman basa-basi. Sebab bertumpuk dan menggunungnya kesalahan dan kejahatanku tak bisa diselesaikan hanya dengan satu uluran tangan, tak selesai dengan seribu maaf seribu lebaran seribu bathin. (baca baik-baik nyelenehku ini. Saat beragama hanya jadi hiasan mulut belaka gitu kurang lebih hasilnya. Dan aku bagian dari kerusakan itu).
PSR.Tulisanmu tentang aktifitas teater di PSR itu aku baca. Bagus. Kau memang kakak yang baik, ngemong. Runut kau catat kegiatan demi kegiatan, waktu, nama grup, kekurangan dan keunggulan. Dan sebagai kakak yang baik pastilah macam basa-basi Lebaran di atas, dalam posisi "kakak" kepada mereka kau ucapkan selamat "jika adik-adik bisa bergiat terus, kakak yakin dalam waktu yang tak lama pulau kita ini akan jadi pulau teater."
Aku tak ikut tanggungjawab atas harapan besar itu. Harapan besar itu hanya ada dalam kepala pemimpi, pemimpi teater. Artinya begini. Teater dalam arti sebenarnya tak bisa direka begitu enteng atau sebaliknya dibuat seram sebagai sesuatu target yang sukar dicapai. Tetapi aku melihat kecendrungan formulasi (dan yang ini dibuat oleh generasi kalian para kakak-kakak anak-anak SMP-SMA itu) bahwa teater kita mengarah ke mimpi mereka, ke khayal mereka, kegagalan hidup mereka ke arah identitas ketokohan mereka. Mereka itu siapa maka bongkarlah isi kepala mereka, lihat isinya. Isi itulah yang mereka mainkan yang kita tonton yang tiada lain tiada bukan adalah wajah kemelaratan teater kegamangan teater "yang" tak mampu menggapai langit tapi berpijak di bumi pun tidak. Setidaknya kepada pak Bandem (untuk kebutuhan bukunya) yang kebetulan juga sedang berada di Massachusetts aku bilang begitu sekalipun tak persis begitu. Gemas dan putusasa itulah perasaanku tiap kali nonton pementasan kalian. Maka sungguh aku terheran-heran membaca tulisanmu yang mengesankan perkembangan teater remaja di Bali, baik-baik saja adanya bahkan sedang ngetrend ke arah kemajuan. Pemilihan naskahnya kek, kreatifitasnya kek, keberaniannya kek amat benderang. Artinya haruslah ditafsirkan bahwa bukanlah aku orang pertama yang berpendapat begitu. Sebabnya jelas basa-basi Lebaran itu punya nuansa juga untuk ...... nah macam Nuryana itulah contohnya.
Resensi-resensi teaternya selalu menampailkan wajah baik seorang kakak yang mendidik. Dia menghindari kata "buruk" sebab pilihan kata "ada harapan" lebih bersifat mendidik. "Gagal" belum berhasil, "kurus" belum gemuk. Hasilnya adalah duka nestapa kesesatan. Aku tidak. Buruk ya buruk. Gagal ya gagal, kurus ya kurang makan, begitu jelas "seharusnya" sikap yang kita pilih untuk membuat adik-adik kita tak tambah jadi tersesat. Kita boleh tak sependapat. Dan mungkin itu baik agar kompetisi pencarian bisa berlangsung terus.
Tetapi diluar penyakit identitas itu kapankah kita kau Hendra-Warih Jajak GM, Mas Rus, Cok Lies Andika P. Satria Nanoq dll. berhenti menjadi kakak capek muak sebagai kakek dan mengubah diri jadi ...... nah, kukira itu yang seharusnya kita buat. Saat kita masing-masing belum bisa membuktikan kebagusan teater kita, lalu hak apa yang kita punya "mengajari anak-anak sekolahan itu ABC-nya teater sementara yang menyelinap dalam diri kita adalah sekali lagi identitas diri?
Jelasnya basa-basi Lebaran itu lepaskan. Kalau perlu didorong ke neraka, dorong saja teater Bali masuk neraka. Posisi kakak copot, mulut kunci, mulailah merayap dari nol untuk teater kita. Itu lebih bagus ketimbang masturbasi kayak sekarang.
Sakitku ini silahkan upload ke Blog http://modernbalineseteater.blogspot.com/ kau punya. Siapa tahu amarah teater bisa kita mulai dari sini.
Selamat jadi dokter ayam Veterinary.
Hormatku padamu.
Abu.
Tomo.
Karena kupikir kau Islam maka kepadamu ucapan Lebaran itu kukirim. Setidaknya dalam dugaanku kau bukan Hindhu bukan Kristiani apalagi Budha maka "gebyah uyah" meleset juga tak apa. Artinya melihat tingkah polahmu prosentase Atheis juga tinggi ada padamu, seperti aku. Jelas dari pengamatan Google Earth kurusmu tak terlihat di lapangan Puputan itu dalam jajaran mereka yang ikut solad Ied. Jadi sekali lagi selamat Lebaran maaf lahir bathin. Kepada teman-teman lain yang juga punya nama "bau-bau" aku minta maaf, sekalipun sejujurnya aku amat meragukan efektifitas greeting macam begitu. Khawatir jatuhnya cuman basa-basi. Sebab bertumpuk dan menggunungnya kesalahan dan kejahatanku tak bisa diselesaikan hanya dengan satu uluran tangan, tak selesai dengan seribu maaf seribu lebaran seribu bathin. (baca baik-baik nyelenehku ini. Saat beragama hanya jadi hiasan mulut belaka gitu kurang lebih hasilnya. Dan aku bagian dari kerusakan itu).
PSR.Tulisanmu tentang aktifitas teater di PSR itu aku baca. Bagus. Kau memang kakak yang baik, ngemong. Runut kau catat kegiatan demi kegiatan, waktu, nama grup, kekurangan dan keunggulan. Dan sebagai kakak yang baik pastilah macam basa-basi Lebaran di atas, dalam posisi "kakak" kepada mereka kau ucapkan selamat "jika adik-adik bisa bergiat terus, kakak yakin dalam waktu yang tak lama pulau kita ini akan jadi pulau teater."
Aku tak ikut tanggungjawab atas harapan besar itu. Harapan besar itu hanya ada dalam kepala pemimpi, pemimpi teater. Artinya begini. Teater dalam arti sebenarnya tak bisa direka begitu enteng atau sebaliknya dibuat seram sebagai sesuatu target yang sukar dicapai. Tetapi aku melihat kecendrungan formulasi (dan yang ini dibuat oleh generasi kalian para kakak-kakak anak-anak SMP-SMA itu) bahwa teater kita mengarah ke mimpi mereka, ke khayal mereka, kegagalan hidup mereka ke arah identitas ketokohan mereka. Mereka itu siapa maka bongkarlah isi kepala mereka, lihat isinya. Isi itulah yang mereka mainkan yang kita tonton yang tiada lain tiada bukan adalah wajah kemelaratan teater kegamangan teater "yang" tak mampu menggapai langit tapi berpijak di bumi pun tidak. Setidaknya kepada pak Bandem (untuk kebutuhan bukunya) yang kebetulan juga sedang berada di Massachusetts aku bilang begitu sekalipun tak persis begitu. Gemas dan putusasa itulah perasaanku tiap kali nonton pementasan kalian. Maka sungguh aku terheran-heran membaca tulisanmu yang mengesankan perkembangan teater remaja di Bali, baik-baik saja adanya bahkan sedang ngetrend ke arah kemajuan. Pemilihan naskahnya kek, kreatifitasnya kek, keberaniannya kek amat benderang. Artinya haruslah ditafsirkan bahwa bukanlah aku orang pertama yang berpendapat begitu. Sebabnya jelas basa-basi Lebaran itu punya nuansa juga untuk ...... nah macam Nuryana itulah contohnya.
Resensi-resensi teaternya selalu menampailkan wajah baik seorang kakak yang mendidik. Dia menghindari kata "buruk" sebab pilihan kata "ada harapan" lebih bersifat mendidik. "Gagal" belum berhasil, "kurus" belum gemuk. Hasilnya adalah duka nestapa kesesatan. Aku tidak. Buruk ya buruk. Gagal ya gagal, kurus ya kurang makan, begitu jelas "seharusnya" sikap yang kita pilih untuk membuat adik-adik kita tak tambah jadi tersesat. Kita boleh tak sependapat. Dan mungkin itu baik agar kompetisi pencarian bisa berlangsung terus.
Tetapi diluar penyakit identitas itu kapankah kita kau Hendra-Warih Jajak GM, Mas Rus, Cok Lies Andika P. Satria Nanoq dll. berhenti menjadi kakak capek muak sebagai kakek dan mengubah diri jadi ...... nah, kukira itu yang seharusnya kita buat. Saat kita masing-masing belum bisa membuktikan kebagusan teater kita, lalu hak apa yang kita punya "mengajari anak-anak sekolahan itu ABC-nya teater sementara yang menyelinap dalam diri kita adalah sekali lagi identitas diri?
Jelasnya basa-basi Lebaran itu lepaskan. Kalau perlu didorong ke neraka, dorong saja teater Bali masuk neraka. Posisi kakak copot, mulut kunci, mulailah merayap dari nol untuk teater kita. Itu lebih bagus ketimbang masturbasi kayak sekarang.
Sakitku ini silahkan upload ke Blog http://modernbalineseteater.blogspot.com/ kau punya. Siapa tahu amarah teater bisa kita mulai dari sini.
Selamat jadi dokter ayam Veterinary.
Hormatku padamu.
Abu.
2 komentar:
hallo teaterwan teaterwati bali...gmana kabar?
tetap smangat!!!
Kepada P. Abu
Menjadi miris di hati, ketika membaca sebuah tulisan pesan Lebaran berisikan keluhan. Apalagi dari seorang kakak yang sudah tentu berarti lebih tua, lebih dulu mengetahui apa yang adiknya belom sepenuhnya ketahui.
Semoga aku bisa menjadi adik dalam pengertian itu. Tapi sayangnya aku bukanlah seorang adik yang ada dalam ruang itu. Mungkin terdengar sama. Tapi sakitnya, dalam ruang yang aku anggap, aku tidak menemukan siapa kakakku dan seperti apa keluhannya.
Sehingga aku berindak telalu santun [pelan?] untuk menolak, apalagi menggantikanya.
Sesatun basa-basi di bawah ini
[sebelumnya mohon maaf atas keturut-sertaannya dalam surat yang pivasi -semoga postingan di blog ini menjadikannya milik bersama]
moko
Posting Komentar