---------------
ADALAH lomba drama modern (LDM), salah satu cabang perlombaan seni modern yang selalu diikutkan dalam PSR. Mengutip pernyataan Ketua Panitia PSR 2006 bahwa ajang ini merupakan program pencarian bibit-bibit potensi dalam bidang seni, maka selayaknya pelaksanaan LDM PSR ini segera dievaluasi ulang.
Secara kuantitas, peserta LDM dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang menyegarkan bagi iklim perteateran sekolah. Betapa tidak, tahun 2006 ini saja ada sembilan SMA dan enam SMP yang mengirimkan dutanya. Dibandingkan dengan peserta LDM tahun 2000, tentu ini adalah indikator yang bagus bagi penggalian bakat dan minat siswa terhadap teater. Sebelum tahun 2000, peserta LDM amat minim. Paling-paling hanya diikuti oleh Teater Angin SMAN 1 Denpasar, Teater Topeng SMAN 2 Denpasar, Teater Tiga SMAN 3 Denpasar dan Teater Antariksa SMAN 7 Denpasar. Sementara Teater Blabar SMAN 4 Denpasar, Teater Wayang SMAN 5 Denpasar dan Teater Enam SMAN 6 Denpasar terkadang turut berpartisipasi dan kadang tidak.
Baru setelah tahun 2001, LDM diikuti hampir semua kelompok teater SMA. Bahkan pada 2003, bertambah satu peserta dari sekolah swasta yaitu Teater La Jose dari SMAK Santo Yoseph. Hal yang mengejutkan terjadi pada 2004, bertambah pesertanya dari SMA Dharma Praja -- meski disayangkan pada tahun berikutnya sekolah ini tidak lagi mengirimkan dutanya.
Hampir sepanjang tahun 2000 hingga 2006, pementasan-pementasan yang disajikan saat LDM menunjukkan gejala kreativitas anak muda yang sangat berbakat. Keliaran-keliaran serta kenakalan positif di usia remaja yang tengah bergejolak tercurah habis dalam bentuk pementasan. Tidak heran, bila orang harus terhenyak saat menyaksikan pementasan dalam LDM ini. Betapa ide kreatif mereka sangat hebat dan pementasan yang disajikannya sangat menarik untuk dikaji.
Berbeda dengan LDM sebelum tahun 2000-an, di mana lakon-lakon yang dipentaskan terus-menerus sama dan terkesan itu-itu saja, maka sejak 2003 peserta boleh memainkan naskah bebas. Adanya kebijakan panitia membebaskan peserta memilih naskah dan tidak terpaku kepada naskah yang disediakan panitia membuat teater sekolah makin berani mencoba ide-ide baru. Seiring dengan hal tersebut, beberapa teater sekolah bahkan berani menampilkan naskah-naskah yang tergolong berat dan biasanya hanya dimainkan kelompok profesional. Pilihan mereka memainkan naskah-naskah baku, misalnya "Kisah Cinta dan Lain-lain" karya Arifin C. Noor, "Pelangi" karya Nano Riantiarno, "Tumirah Sang Mucikari" karya Seno Gumira Ajidarma ternyata bukan pilihan yang sekadar sok-sokan.
Teater Angin SMAN 1 Denpasar dan Teater Tiga SMAN 3 Denpasar dari tahun ke tahun terus bersaing secara ketat untuk mempertahankan gelar terbaik. Tak heran bila kedua kelompok teater ini terus-menerus menjaga kualitas pementasan dan berusaha untuk menyuguhkan pementasan terbaiknya. Beruntungnya ketotalan mereka dalam berteater dan tentu dengan harapan dapat menghasilkan emas, mendapatkan dukungan penuh dari pihak sekolah.
Justru yang mengagetkan adalah kemunculan Teater Blabar yang kurang intens menjadi peserta, tiba-tiba pada 2001 berhasil menjadi Penyaji Terbaik I. Sebut juga Teater Antariksa yang sempat mendominasi perolehan emas untuk kategori pemeran pria terbaik selama tahun 2000 hingga 2002. Begitu pula dengan Teater La Jose yang baru pada 2003 menjadi peserta LDM dan pada tahun yang sama menjadi Penyaji Terbaik I dan mendapatkan emas dari Pemeran Wanita Terbaik. Tahun-tahun berikutnya, Teater La Jose tumbuh menjadi grup teater sekolah yang layak diperhitungkan. Tahun 2005, Teater Topeng SMAN 2 Denpasar, yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan dalam perolehan penghargaan terbaik nyatanya juga menggebrak.
***
KEMUNCULAN bakat atau potensi keaktoran dan garapan pemain muda dalam LDM ini tak dibantah lagi memang silih berganti, tidak dapat diprediksikan sebelumnya dan makin meningkat. Meski disayangkan potensi keaktoran mereka yang sangat menonjol, sekarang raib entah ke mana dan susah dilacak seiring lulusnya mereka dari bangku sekolah. Pun kualitas pementasan di tahun 2006 kali ini, dari sembilan peserta lomba hampir keseluruhan kelompok teater terlihat berusaha keras menyajikan pementasan terbaiknya. Keberagaman bentuk penyajian menunjukkan betapa sebenarnya semua kelompok teater sekolah mempunyai kelebihan yang menonjol satu dengan yang lainnya.
Pementasan Teater Tiga misalnya, yang memainkan lakon "Tumirah Sang Mucikari" mencoba menawarkan penyajian dengan kekuatan artistik lighting yang memukau. Teater La Jose yang mengangkat lakon "Pelangi" karya Nano Riantiaro lebih mengedepankan kekuatan artistik realis yang sangat detail. Beberapa pementasan teater yang lain memang masih kukuh pada konvensi dramaturgi normatif, meski tidak terlalu didukung oleh penawaran konsep artistik yang matang. Sebutlah Teater Topeng yang memainkan naskah "Tamu Muntaber" atau Teater Angin yang mementaskan "Basur''. Keduanya menggunakan setting artistik dan tata cahaya yang minimalis.
Harus diakui bahwa mereka punya potensi-potensi yang sangat berbakat di keaktoran dan merata dimiliki oleh setiap aktornya. Ibarat batu permata, mereka adalah intan yang belum digosok dengan cermat. Hampir sama juga dialami Teater Wayang yang setia dengan naskah "Raib" karya Gus Martin, potensi besar yang dimiliki para aktornya mesti dikandaskan oleh konvensi baku pemanggungan dengan setting yang kaku. Selebihnya, tetap saja kita pantas memuji mereka yang telah berusaha keras mengolah naskah, mengasah keaktoran dan mencoba menawarkan gagasan artistik maupun tata cahaya. Bahkan, keberanian Teater Antariksa yang mencoba memainkan naskah buatan sendiri adalah hal yang selayaknya tidak dipandang sebelah mata.
***
MENEMPATKAN LDM PSR sebagai ladang persemaian munculnya seniman-seniman teater di masa depan adalah hal yang sangat berlebihan. Bahkan, bermimpi yang paling sederhana pun, misalnya menggugah semangat generasi muda pada seni pertunjukan atau sekurang-kurangnya menjadikan mereka publik penonton teater modern di Bali adalah sebuah mimpi yang tetap susah terbeli. Sebab, untuk menuju cita-cita yang mulia tersebut jelas membutuhkan banyak komponen yang harus dilibatkan.
Sebagai sebuah ekstrakurikuler, teater sekolah memang banyak mengalami kendala yang bertumpuk. Dari masalah regenerasi, waktu dan tempat latihan hingga perizinan kepada orangtua. Belum lagi tuntutan proses belajar mengajar yang mengharuskan siswa berkonsentrasi penuh terhadap mata pelajaran wajib. Bila benar cita-cita mulia PSR adalah untuk mencari bibit-bibit aktor potensial, selayaknya pihak-pihak yang berkompeten segera duduk bersama untuk mencarikan saluran terbaik bagi bibit yang telah ditemukan. Sehingga para aktor berbakat, aktris berpotensi besar dan sutradara hebat yang telah dihasilkan lewat PSR ini benar-benar akan terbina dan akan menjadi manusia yang profesional di bidangnya.
Bila segenap komponen yang ada bisa bersinergi, bukan tidak mungkin, suatu hari akan ada pementasan teater di Pesta Kesenian Bali (PKB) dengan pemain, sutradara dan tim produksi hasil LDM PSR, misalnya. Melihat kemungkinan-kemungkinan yang paling realistis untuk dikerjakan, sepantasnya para pekerja teater modern Bali optimis dapat mendapat regenerasi teater yang berpotensi. Sudah seyogianya program tahunan Pemkot Denpasar yang sudah berjalan selama 22 tahun ini terus diprbaiki hingga iklim perteateran modern Bali makin bagus dan corak teater modern Bali makin terlihat jelas.
* giri ratomo,
Mahasiswa FKH Unud,
pendiri UKM Teater Orok Unud